Semalam gerbang asrama putri sudah dikunci, dan Rara menjalani malam di rumah Ustadzah Habibah. Yang saya harapkan di sepertiga akhir malam ini melihat dia. Akan ada menit di mana Rara akan keluar dari rumah Ustadzah Habibah, oleh sebab itu saya menunggunya di jarak beberapa meter dari rumah ustadzah itu. Harusnya saya tetap di masjid, berdzikir sampai menjelang subuh.
Tapi saya ingin bertemu Rara.
Rumah Ustadzah Habibah berjarak sekitar empat meter dari samping gedung asrama putra, memudahkan saya untuk menunggunya di selasar asrama lantai satu paling ujung. Orang lain tidak akan curiga saya menunggu seorang gadis keluar, karena mereka pasti berpikir bahwa kamar paling ujung di belakang saya ini adalah kamar saya.
Kejadian semalam melintasi ingatan. Jatuh berdua, tangis meluruh di pipinya, wajah takut yang terkesan lucu, juga obrolan singkat di mobil terputar di otak saya.
Ketika telinga menangkap bukaan pintu, saya langsung bersiap diri, semoga pertemuan kali ini dia tidak menangis. Saat mengintip di balik tembok, hati seolah terhempas, saya seolah dijatuhkan dari ketinggaan ribuan kaki. Yang kaluar adalah Ustadz Danu, suami dari Ustadzah Habibah.
Saya langsung meloncat untuk menghampiri beliau, ingin menanyakan keadaan Rara. Saya takut terjadi apa-apa sama dia, karena kejadian semalam pasti membuat dia menangis tanpa henti. "Assalamuaikum, Ustadz," salam saya seraya mencium tangannya.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa antum ke sini?"
Saya bingung ingin menjawab apa, karena terus terang ingin menanyakan kabar Rara rasanya malu. "Rara baik-baik saja, kan? Saya takut kenapa-napa karena semalaman dia terus menangis." Dada saya bergemuruh hebat, malu menyebabkan pipi panas. Dan sekarang tidak ada daya lagi menatap Ustadz Danu karena malu.
Ustadz Danu tertawa, membuat saya terheran. Apa ada yang lucu?
"Antum khawatir? Tenang saja, dia baik-baik saja walau tidak tidur semalam. Sekarang dia sedang mengaji bersama gurunya."
"Rara sudah kembali ke asrana putri?"
"Belum. Maksud ana sedang mengaji bersama istri ana." Ustadz Danu mengajak saya ke masjid, dengan berat hati sekali saya ikut dengannya, jika tidak mau dicurigai.
"Antum tahu keistimewaan berdoa malam hari? Terlebih seperti akhir malam seperti sekarang." Ustadz Danu memicingkan matanya kepada saya.
"Doa yang tidak tertolak?"
"Iya. Cocok untuk menikung seseorang di waktu itu," jawabnya membuat saya curiga. Ada tatapan aneh dari Ustadz Danu kepada saya, tapi saya tidak mampu menjabarkannya, takut salah mengartikan. "Tikung menikung dalam doa maksudnya."
Ustadz Danu kembali tertawa, sedangkan otak saya dipenuhi kebingungan.
<<>>
Saya segera bergegas untuk mengajar, tapi saat di belokan, saya menabrak seseorang. Dia terjatuh, setumpuk buku yang dibawanya berserakan. Dengan cekatan saya membatu menumpuk buku itu lagi, lalu mata kami tidak sengaja bertemu.
"Astagfirullah." Dia segera berdiri dengan beberapa buku yang di tangannya. "Maaf, Pak. Rara tidak sengaja." Dia menunduk semakin dalam, seolah tidak sudi melihat saya.
Pak? Di tempat bimbel biasanya saya dipanggil 'Kak', bukan 'Pak'. Tidakkah dia lihat saya masih muda dan masih terlihat segar? Panggilan 'Pak' rasanya tidak pantas saya dapatkan. "Saya yang harus minta maaf. Saya terlalu buru-buru."
"Rara pamit, assalamuaikum." Dia bergegas pergi sebelum saya jawab salamnya. Gadis aneh.
Pertemuan kali ini dia tidak menangis, hanya saja saya sulit melihat wajahnya. Menunduk terus. Saya mendengkus, sebagian buku paket dia masih ada di tangan saya. Ketika berbalik, dia sudah tidak ada. Saya sudah telat mengajar, ditambah harus mencari dia, jatuhnya ke korupsi waktu, jika ditelusuri lebih dalam bisa merembet ke uang yang saya dapat. Uang hasil dari korupsi, tidak ada satu ulama pun yang mengatakan halal.
Saya langsung mengambil langkah panjang menuju kelasnya, sepertinya dia sadar setelah di kelas bahwa sebagian bukunya masih ada di saya. Saya berdiri di depannya, membuat saya ingin sombong dengan ketinggian. Dia hanya sebatas dada saya, dan Bunga sebatas bahu saat dua tahun yang lalu. Saya berusaha menuadarkan diri bahwa Rara dan Bunga tidaklah sama. "Saya ingin mengembalikan ini."
Masih dalam tunduk, dia mengambil buku itu. "Makasih, Pak."
"Panggil kak saja. Saya belum setua itu untuk dipanggil pak." Karena diburu waktu, saya segera meninggalkannya. Beruntunglah kelas 10 IPA 1 tidak terlalu jauh dari kelas Rara.
Seusai mengajar, saya tidak langsung pulang ke asrama. Di kursi dekat tangga madrasah saya terduduk, menunggu dia yang daritadi. Namun, sampai waktu menujukkan jam pulang dia tidak melintas. Karena takut dicurigai, ditambah malu karena yang berlalu lalang akhwat semua, saya bergegas ke asrama.
Allah Maha Kuasa, Dia mempertemukan saya dan dia di gerbang sekolah. Ada yang aneh pada jantung saya ketika melihat dia melebarkan senyum. Meski senyum itu tidak mengarah ke saya. Dia bercakap-cakap dengan temannya sampai ditelan gerbang asrama santri putri. Hati tidak bisa dibohongi, kecewa itu pasti. Dia melewati saya begitu saja, tanpa ada penghormatan sedikit pun. Padahal saya adalah gurunya.
Setidaknya saya melihat senyum dia. Itu sudah cukup. Saya kembali melanjutkan langkah, berusaha sampai ke kamar dengan cepat. Karena sore ini ada jadwal bimbel.
Jarak pesantren Ali Imran dengan bimbel yang tidak begitu jauh, sedikit menghemat pengeluaran. Saya tidak perlu repot-repot naik angkutan umum atau ojek, cukup jalan kaki, sampai.
"Woy, Tom!"
Kaki yang hendak menginjak teras langsung terhenti. Tanpa menoleh pun saya tahu siapa dia. Dari SMA sudah dekat, selalu bersama sampai sekarang, membuat saya hafal banyak tentang dia.
"Apa, Ga?" Ketika kami berjalan di selasar gedung bimbel.
"Biaya semester lo udah dibayar bokap. Lo bisa kuliah lagi, dong," katanya dambil menyenggol bahu saya. "Semester empat bentar lagi akhir lho."
Jelas saya terkejut dengan pernyataannya. Ditatapnya dia dengan serius untuk mencari kebohongan, tapi hasilnya nihil. "Jangan bercanda."
"Buat kali ini, gue beneran serius. Besok gue jemput ke pesantren, ya!" ujarnya lalu menepuk pundak saya. "Gue mau cabut."
"Eh, Ga! Tungggu! Kan saya sudah bilang nggak usaah!" Percuma juga teriak, Sega tetap berlari. Rasanya jadi tidak enak kepada papanya yang sudah membayar kuliah saya. Dari dulu saya selalu menyusahkan keluarga anak itu.
Sebelum kembali melanjutkan langkah, saya menggelengkan kepala dengan tatapan tak lepas dari punggung yang semakin lama semakin mengecil. Tentang uang dari papanya Sega, saya anggap hutang. Cepat atau lambat, setelah saya punya, akan segera dikembalikan.
"Assalamuaikum."
Kehadiran sosok Silvi di samping saya mengagetkan. Setelah bisa menetralkan ekspresi, barulah menjawab salamnya.
"Kak, untuk jadwal mengaji besok bisa agak siang, nggak? Soalnya aku ada acara sore harinya."
"Boleh. Pulang dari kampus saya akan langsung ke sana." Merasa tidak perlu lagi bicara, saya cepat-cepat melangkah untuk meninggalkannya.
Samar-samar saya mendengar entakkan kaki dan geraman seseorang, hanya saja seolah tidak mendengar. Kenapa dia?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]
Espiritual"Muslimah hight class mana mau diajak pacaran, Ga." Saya mengembuskan napas gusar, lalu mengusap wajah dengan kasar. "Sekalinya langsung khitbah, dia mana mau sama saya." Gadis itu laksana Aisyah yang cerdas juga cantik. Lembut tutur katanya bagaika...