Tujuh [Sebuah Ujian]

186 17 1
                                    

Penghasilan saya dari mengajar tidak seberapa. Masukan dan pemgeluaran sekarang tidak seimbang. Jualan online yang saya lakukan sebelum masuk pesantren sudah hampir satu bulan ini sepi. Berbagai promosi sudah dilakukan diberbagai media sosial, tapi hasilnya mengecewakan.

Satu tahun ini saya hidup seorang diri. Semua beban saya tanggung sendiri. Di dunia yang luas ini saya berusaha kuat, menghadap kejamnya kehidupan yang penuh duri. Saya harus kerja, pontang-panting mencari lembaran uang untuk mencukupi hidup, biaya kuliah, juga biaya pesantren. Kadang saya lelah, butuh tempat bersandar, menumpahkan semua keluh untuk mengurangi beban. Tapi pada siapa?

Sega?

Tidak. Saya tidak mau bersandar pada manusia. Jika suatu saat manusia itu pergi, saya akan kembali jatuh.

Pada Allah.

Ya. Memang Dia tempat sandaran yang tebaik. Meski tidak semua keinginan saya Dia wujudkan, tapi setelah mencurahkan keluh kesah kepada-Nya, hati ini diselimuti ketenangan.

Uang di dompet saya tersisa sembilan ribu. Hanya cukup untuk membeli nasi dengan menu sederhana. Setidaknya ada untuk makan hari ini. Saya tersenyum simpul, apakah santri di sini pernah ada yang merasakan apa yang saya rasa?

Saya mengeluarkan uang itu, lalu dompetnya saya simpan lagi di laci lemari yang tingginya 1,5 meter. Langkah terburu membawa saya ke sebelah timur pondok, ke kantin yang kini sudah dipenuhi ratusan santriwan. Saya membeli sebungkus nasi dengan tempe goreng, ditambah air mineral gelas. Total semuanya delapan ribu, tinggallah seribu lagi uang saya.

Alhamdulillah, setidaknya saya masih bisa makan.

Bersyukur itu perlu, meski dalam keadaan susah dan tertekan. Karena syukur adalah kunci kebahagiaan. Juga, Allah akan menambah nikmat bagi mereka hamba-Nya yang bersyukur. Itu kata Al-Quran, surah Ibrahim ayat tujuh.

Jadi, tidak ada alasan untuk tidak bersyukur dalam setiap keadaan.

Baru saja saya mau bergabung dengan sekumpulan santriwan, mata saya menangkap sosok anak kecil di depan pintu kantin. Dia berdiri, diam, menatap orang-orang yang sedang makan di lantai tanpa alas. Jangan heran kenapa tidak makan di meja dan duduk di kursi. Karena pesantren ini mengajarkan kita untuk qona'ah.

Saya membungkukkan badan untuk menyetarakan tinggi dengan anak ini. "Dek, sudah makan belum?"

"Belum," jawabnya diikuti gelengan kepala.

"Makan sama kakak, yuk." Saya mengangkat satu bungkus nasi itu. "Satu untuk berdua."

Dia menggeleng lagi. "Syukron, Kak. Tapi Fahri mau beli, kok."

Saya mengangkat sebelah alis ketika melihat uang yang dipegangnya. Dua lembar uang berwarna abu itu mana cukup untuk membeli sebungkus nasi.

Lihat, ternyata ada orang yang lebih menderita dari saya. Kufur sekali saya jika tidak bersyukur. Memang, hidup itu harus pandang ke bawah.

"Dengan empat ribu?"

Dia menunduk, membuat saya berdiri tegak. Direngkuhnya tubuh kecil itu lalu saya bawa ke dalam. Saya buka bungkus nasi itu, kemudian kami makan berdua.

Indahnya berbagi, meski dalam keadaan susah. Saya tidak akan lupa, jika sedekah terbaik itu di saat kita sedang susah. Akan saya ingat kajian kitab tempo hari yang lalu. Orang kaya bersedekah, itu baik. Namun, orang fakir bersedekah, itu lebih baik.

<<>>

Akun facebook dan instagram tempat berjualan online saya tutup. Sepertinya memang itu yang terbaik. Meski barang masih ada yang belum laku, biarlah nanti saya menyuruh Sega untuk membagikan kepada teman fakultas. Daripada mubazir.

Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang