Delapan [Jalan Keluar]

167 16 0
                                    

SPP pesantren bulan Sya'ban sudah lunas. Sekarang saatnya memikirkan untuk biaya semester. Ternyata dunia sekeras ini. Jahat. Jika sudah seperti ini, di manakah letak Allah yang katanya Maha Baik? Katanya Allah bersama orang-orang yang sabar. Saya kurang sabar bagaimana?

Sejak dua tahun yang lalu, masalah terus saja berdatangan silih berganti. Seandainya tidak ada kesabaran sedikit saja tertanam dalam hati, mungkin saya memilih untuk mati. Setidaknya saya tidak merasakan pedihnya ujian dunia.

Astagfirullah!

Istigfar, Tommy!

Setan benar-benar hebat dalam mencari celah. Lalai sedikit, dia langsung masuk dan menyebarkan racun.

Husnudzon, Tom! Husnudzon.

Saya mengembuskan napas kasar. Langkah tak tentu arah menyusuri selasar. Asrama sepi karena santri pasti sudah memenuhi rumah Allah.

Langkah membawa saya ke ke lantai paling atas, di mana di tempat itu saya bisa melihat gedung menjulang tinggi, hamparan rumah berdempetan, kerlip lampu dari berbagai penjuru, serta sinar orange yang begitu jelas ada di atas saya. Jakarta benar-benar indah.

Namun, segala keindahan itu tidak membuat hati saya tenang. Malah pikiran saya semakin kacau setelah membuka buku tabungan. Saldo yang tertulis di sana kurang dari dua ratus ribu. Untuk memenuhi kebutuhan sebulan di pesantren saja tidak cukup. Apalagi untuk membayar biaya semester.

"Ke mana saya harus mencari uang?"

Saya berada di ujung keputus asaan. Pemikiran sudah sempit, pengharapan kepada Allah mulai terguncang.

Memang tidak ada jalan lain. Saya harus berhenti kuliah sementara waktu.

Tapi ....

Saya harus mempertimbangkan lagi.

Setelah terkumandang adzan, saya turun dengan fisik mulai lelah dan hati masih gelisah. Bismillah, berharap dengan wudhu dan sujud semuanya menjadi ringan.

<<>>

"Lo mau berhenti kuliah?!"

"Sementara," jawab saya. "Terkejutnya biasa aja. Nggak usah lebay gitu."

Sega berdecak sebal, tangannya menjambak rambut sendiri. Jus alpukat yang ada di hadapannya ditegak habis dalam waktu singkat. "Kenapa harus berhentiii?" geramnya setelah menekan gelas kosong ke meja. "Gue bakal ngomong sama bokap buat biayain kuliah lo. Dia pasti bantu, percaya deh."

Saya menggelengkan kepala. "Nggak."

"Kenapa nggak mau?" tanyanya dengan nada frustasi. Sebenarnya bukan tidak mau menerima kebaikan Sega, hanya saja saya tidak mau merepotkan keluarganya lagi. Saat awal-awal menjalani hidup sendiri, saya sudah cukup merepotkan mereka.

"Saya udah besar. 20 tahun." Jari telunjuk dan jari tengah saya angkat. "Saya bukan anak kecil lagi, Ga.... Saya bisa memutuskan mana yang baik dan tidak untuk ke depannya. Dan ini pilihan saya."

"Tapi nggak harus berhenti kuliah."

"Saya sudah melamar kerja jadi guru di sekolah swasta. Doain semoga diterima, ya." Sebelum dia berucap lagi, saya menepuk pundaknya sebelum beranjak. Saya harus bergegas ke tempat bimbel.

Seusai semester 4 selesai, saya tidak akan lagi menginjakkan kaki di universitas ini. Saatnya mandiri, mengeluh saja tidak cukup. Saya harus sadar, bahwa di dunia ini saya hidup sendiri di luasnya dunia yang Allah ciptakan. Jadi, stop! Stop berleha-leha menunggu rezeki datang. Semuanya harus ada usaha, usaha untuk menjemput.

Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang