Dua puluh sembilan [Cita-Cita]

123 12 0
                                    

Sakit perut sudah biasa menyerang saya belakangan ini. Mungkin karena seringnya puasa dan lelahnya kegiatan yang menyebabkan saya sering jatuh sakit dalam beberapa minggu ini. Tidak sekali pun saya periksa ke dokter, karena nantinya juga sembuh sendiri.

Dengan jalan terpincang-pincang, saya memaksakan diri untuk berjamaah subuh di masjid. Perut sebelah kanan rasanya seperti ditusuk-tusuk.

"Kak, Yusuf bantuin jalan, ya?"

Saya menggeleng, enggan merepotkan. "Saya jalannya lama, kamu duluan aja, Suf."

"" Yang artinya tidak. "Yusuf bantuin, aja!" Dia mengambil tangan saya yang sedang meremas perut lalu dikalungkan ke lehernya. Saya berhutang budi kepada anak yang satu ini, dia memapah saya sampai masjid.

Saya belajar anak itu, tentang bagaimana selalu berbuat baik tanpa pandang orang. Yusuf adalah santri yang banyak digemari, lembut dalam lisannya, sempurna akhlaknya, dan pribadi penolongnya.

Di sini, di pesantren ini saya merenung baik-baik. Saya harus seperti Yusuf, yang suka menolong. Saya harus seperti Fatih, yang tekun dalam segala hal untuk mengolah keterampilan. Saya harus seperti santri lainnya, yang halus dalam budi pekerti.

Tekad saya yang kuat itu semakin kuadrat ketika mengingat gadis yang selalu saya kagumi belakangan ini. Siapa lagi kalau bukan Rara. Anak itu telah menyuntikkan semangat dalam diri saya untuk memperbaiki diri.

"Makasih, Suf ...." Saya menumpukan sebelah tangan ke tiang selasar masjid. Setelah itu kami berpisah, Yusuf langsung ke masjid dan saya mengambil wudhu.

"Assalamuaikum." Saya menoleh dan mendapati Fatih. Gerakan saya menaikkan lengan baju terhenti, saya tersenyum dan menjawab salamnya.

Sekarang saya tidak akan menyebutnya aneh lagi kepada dia yang selalu mengucapkan salam ketika kami bertemu. Hobinya memang seperti itu, bukan pada saya saja, tapi dengan orang yang tidak di kenal pun akan dia akan doakan dengan salam tersebut. MasyaAllah, tidak saya duga bahwa Fatih seshaleh itu. Semoga saya bisa nyusul.

Jika bertemu dia, melihat wajahnya yang bercahaya, seolah setengah cahaya matahari berkumpul di wajahnya, itu yang membuat saya down. Mana mungkin saya bisa bersaing mempertaruhkan Rara dengan laki-laki yang ilmunya saja sudah berkali-kali lipat dari saya.

Saya segera wudhu, Fatih juga. Hanya saja sepertinya wudhu Fatih sempurna, komplit dengan sunah-sunahnya. Saya sudah selesai, Fatih baru mengusap rambut.

Fatih, saya iri denganmu!

Saya berlalu, malu pada Allah, malu pada umur, malu pada diri sendiri.

🍃🍃🍃🍃

Saya harus bisa lebih baik!

Istiqomah itu berat. Tertancapnya kata hijrah bukan berarti itu adalah akhir, tapi gerbang awal. Setelah membulatkan tekad untuk menjadi lebih baik, semangat saya menggebu, Namun, ketika ujian mulai berdatangan, saya jadi berpikir. 'Kok hijrah itu capek, saya lanjutkan atau berhenti di sini, ya?'

Hasrat mengatakan, "Berhentilah, kamu masih muda, masih banyak kesempatan di lain waktu untuk memperbaiki diri lagi. Sekarang, gunakanlah waktumu untuk kesenangan."

Namun, hati nurani berkata, "Lanjutkan terus. Waktu siapa yang tahu, hiduplah seolah-olah besok kamu mati! Jika bukan sekarang mengumpulkan bekal, kapan lagi?"

Saya bingung sendiri. Saya yakini bahwa hati nurani sangat benar sekali, tapi hasrat selalu berdalih ketika saya menolak idenya. Dasar jahannam!

"Suf, lebih penting nuntut ilmu agama atau ilmu umum?"

Karena saya gencar fokus ke pesantren, nilai kuliah saya jadi menurun. Inilah pilihan yang sangat sulit untuk dipilih. Saya bisa saja keluar pesantren, fokus dulu untuk lulus dengan IPK tertinggi, lalu jadi matematikawan. Saya ubah dunia dengan ilmu yang saya punya itu, setelah sukses, barulah kembali melanjutkan menggali ilmu agama. Namun, di satu sisi, jika saya mati dalam keadaan mengejar dunia, kan bisa celaka.

"Jadilah manusia yang mampu menundukkan dunia dengan ilmunya. Ibnu Sina contohnya, seorang muslim yang menundukkan dunia kedokteran. Al-Khawarizmi, muslim berpengatahuan luas yang keahliannya bukan dalam bidang syariat saja, tapi dalam bidang falsafah, aritmatika, logika, geometri, ilmu hitung, sejarah Islam, dan kimia. Ibnu Haitsam, muslim pertama ahli fisika. Al-Batani, seorang ilmuwan muslim yang menemukan gnomon, yang kemudian dikembangkan lagi menjadi sebuah jam.

"Di samping ilmu agama, Allah memerintahkan kita menuntut ilmu umum. Di samping beribadah, Allah memerintahkan kita untuk beramal."

Maknanya dalam sekali. Saya tercengang dengan pemaparan anak berusia empat belas tahun itu.

Dulu, saya memandang sebelah mata kepada anak pesantren yang melulu ngaji. Temannya tidak jauh dari Al Quran dan kitab, hidupnya monoton dan kesehariannya beribadah, tidak ada hal yang lain. Pertama masuk pesantren, anggapan itu belum hilang. Namun, semakin hari semakin saya melihat, bahwa jadi santri itu is the best!

"Hebat, Suf. Nanti kenalkan saya sama tokoh-tokoh muslim yang sukses itu. MasyaAllah."

"Yusuf punya bukunya. Mau baca?"

"Mau! Banget, Suf! Nanti saya nyusul seperti mereka." Saya terkekeh ringan dengan apa yang diucapkan, apa saya bisa seperti mereka?

Yusuf juga tertawa mendengar lontaran kata saya sambil beranjak menuju meja belajarnya. "Aamiin. Suka matematika, kan? New negeration Al-Khawarizmi."

Saya kurang yakin menjadi seperti tokoh itu, membayangkannya saja tidak mampu, pesimis sekali ini otak. Namun, saya katakan, "Aamiin, semoga saja ...."

Saya menerima buku bersampul putih berilustrasi delapan orang dan tercecer angka serta abjad mengelilingi mereka.

"Suf, apa cita-citamu?"

"Bertemu Rasulullah," jawabnya.

"Yang serius, ih."

"Itu udah serius pake banget, Kak"

"Selain bertemu Rasulullah?"

"Menjadi pemimpin seperti khalifah Umar bin Khatab."

Diam-diam, beberapa orang yang ada di kamar mendengarkan obrolan kami bertepuk tangan. Mereka menatap kagum Yusuf yang diusia remajanya mempunyai impian untuk menjadi pemimpin.

"Mumtaz!" sorak Fatih dari tempat tidurnya seraya bertepuk tangan.

"Kalau kamu, Tih? Apa cita-citamu?"

Fatih mengalihkan pandang ke saya. "Ha-ah? Ana ...." Dia menggaruk belakang lehernya yang saya yakini tidak gatal sekali. "Hafidz!"

"Kan udah hafal Al Quran!" sentak saya.

Dia tertawa dengan alfiyah menutupi wajahnya. "Khitbah Rara ...," ceplosnya membuat dada saya bergemuruh. Hampir saja yang ingin mengatakan hal yang tidak jelas kepadanya, karena cemburu meluapkan emosi.

"Kak Fatih mau jadi Ustadz, Kak," Yusuf menjadi perwakilan suara Fatih untuk menyatakan cita-cita yang sebenarnya laki-laki itu impikan. "Kak Fatih sudah mulai menyusun strategi buat dakwah, menebarkan cahaya Islam di masyarakat luas, menanamkan akhlak baik kepada generasi muslim selanjutnya."

Saya mengangguk dan paham sekali tujuan Fatih itu. Cita-cita yang mulia. Sekilas saya melihat jam tangan, di sana menunjukkan angka tiga kurang sepuluh menit. Seketika saya teringat. "Astagfirulalah! Hari ini ada kelas." Dengan terburu-buru, saya segera menyambar tas di kursi belajar. "Saya pergi, assalamuaikum."

Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang