Dua puluh tujuh [Pra Ulang Tahun]

108 11 0
                                    

Satu hari lagi.

Saya sudah tidak sabar.

Sore itu saya berharap agar hari esok segera tiba.

Pulang dari kampus, saya mampir dulu ke toko kue. Dalam hati ada keinginan untuk membelikan kue mahal untuk kejutan, tapi saya harus lihat dompet dulu. Dan ternyata hasilnya mengecewakan. Pemasukan saya hanya dari tempat bimbel saja, satu minggu yang lalu uangnya terpakai bayar SPP, uang saya sudah terkuras.

Mata saya bukan melirik desain kuenya, tapi pada harga yang tertempel.

"Ini aja, Tom," tunjuk Sega ke kue yang tertempel harga 140 ribu.

Saya menggeleng. Di sisi paling kiri ada harga yang kurang dari seratus ribu, dan iulah yang dipilih saya.

"Padahal ini murah dan bagus, Tom," katanya yang dibalas gelengan lagi oleh saya. "Kalau lo lagi miskin, bilang napa. Biar gue yang bayar."

Somplak sekali teman saya ini. Saya dikatai miskin di tempat umum, beruntunglah kesabaran saya tidak terbatas. Dan sudah terbiasa juga dengan hinaan dia.

"Jangan, Ga. Kali ini aja, please jangan bantuin. Ini spesial buat Mamah, saya tidak mau melibatkan orang untuk hadiah ini." Setelah menerima kue yang sudah bungkus itu, saya ke berlalu ke kasir untuk membayarnya. Sega mengekori, seperti anak yang tidak mau jauh dari bapaknya.

Selesai dari toko kue, Sega mengantarkan saya ke pesantren. Enak, ya jadi saya yang punya teman sebaik Sega. Seolah saya ini majikannya dan dia sopir saya. Saya harus bersyukur mendapatkan rezeki teman baik seperti dia, karena di zaman sekarang jarang ada orang yang ingin bersama di kala suka maupun duka.

"Tom, gue penasaran sama orang yang kata lo mirip Bunga."

Alhamdulillah, dada saya tidak bergetar lagi ketika nama Bunga disebut. Saya sudah ikhlas melepas Bunga, saya juga sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengharapkan Rara lagi. Meskipun ada saya harap yang menyusup ke dalam hati ketika saya sedang menghafal Alfiyah. Terkadang saya membayangkan jika suatu saat nanti saya khitbah Rara pakai Alfiyah.

"Kami tidak lagi bertemu, Ga. Saya kan sudah nggak jadi guru lagi."

"Tapi ada kemungkinan kalian bisa ketemuan, kan satu pesantren."

"Asrama putra dan putri dipisah, Sega." Saya jadi gemas sendiri, kesal juga.

"Ya terobos aja," katanya disertai tawa.

"Kalau mudah sih, saya mau-mau saja."

"Heih?" Sega melihat saya dan menunjukkan ekspresi kaget. "Sejak kapan jadi anak nakal?"

"Sejak kenal dengan Rara." Saya mengatakan itu hanya sekadar candaan. "Abisnya rindu mulu kalau nggak ketemu."

Tanpa diduga, tawa Sega meledak, mungkin tidak menyangka jika saya melontarkan kalimat gila tingkat dewa. "Good! Berarti lo udah move on."

"Ya ... kamu ke mana aja, padahal udah lama."

"Karena Rara-Rara itu?"

"Bukan. Tapi lillah hita'ala."

🍃🍃🍃🍃

Sejuknya udara waktu subuh benar-benar memanjakan. Sentuhan air wudhu yang menyapa kulit memang terasa dingin, tapi dinginnya itulah salah satu nikmat bagi orang-orang yang berpikir.

Saya berlari untuk memburu shaf pertama, tapi tidak dapat. Karena empat shaf pertama sudah dipenuhi santri dan dewan. Ada rasa penyesalan yang menyusup dalam dada ketika tidak bisa berdiri di shaf pertama. Ini karena saya kesiangan bangun.

Tidak lama usai dua rakaat qobla subuh, sang imam membariskan makmum.

Kegiatan ba'da subuh seperti biasa, mengkaji kitab kuning.

Ilmu yang saya ingat jelas dari kajian itu ketika langkah sudah menjauhi masjid adalah 'laki-laki punya sifat malu itu baik, tapi lebih baik ada dalam diri perempuan. Rakyat biasa bersikap adil itu baik, tapi lebih baik dimiliki oleh pemerintah. Taubatnya seseorang yang udah tua memang baik, tapi lebih baik lagi jika pemuda yang bertaubat. Orang kaya bersedekah itu baik, tapi lebih baik lagi jika orang miskin bersedekah.' Itulah yang mampu saya tangkap, tentang empat perkara yang lebih baik dari perkara baik lainnya di kitab nashohul ibad.

Saya menyusul Yusuf yang berjalan cepat dengan sebuah kitab di tangannya. Ketika sudah mampu menyeimbangi langkahnya, saya ucapkan salam.

"Suf, ajarin saya memanah, ya."

Ini hari Ahad, santri dibebaskan dari kegiatan pesantren sampai masuk waktu dzuhur. Biasanya saya malas untuk kegiatan olahraga yang sering diikuti santri lain untuk mengisi kekosongan waktu. Namun, kali ini hati saya tertarik untuk belajar memanah, entah kenapa sepertinya laki-laki yang bisa memanah itu keren!

"Boleh, Kak. Tapi, kenapa nggak sama Kak Fatih saja? Dia kan pernah juara memanah tahun lalu tingkat nasional."

Saya tertegun, iri mulai meletup-letup dalam hati saat mendengar jika Fatih lebih banyak prestasinya dibanding saya. Beberapa detik wajah saya kaku akibat kaget. Saya tidak boleh kalah saing dengan Fatih! Dengan segudang prestasi yang diukir oleh Fatih, itu pasti menarik perhatiannya Rara.

Saya menggelengkan kepala. Kok jadi ke Rara?

"Saya mau jenguk Mamah dulu, setelah itu baru belajar memanahnya. Kamu nggak ada kegiatan kan sekitar pukul sembilan?"

"Tidak ada, Kak. InsyaAllah nanti diajarin. Padahal Yusuf juga masih belajar."

"Ah, kamu terlalu merendah. Pada nyatanya pasti udah pro." Saya tahu jika Yusuf berkata seperti itu hanya tidak ingin menyombongkan diri. Dia anak yang multitalent, tapi di segala kemampuan itu hatinya tetap merendah. "Oh iya, Suf. Hari ini Mamah saya ulang tahun. Mau ikut rayakan kecil-kecilan nggak? Nggak akan lama kok, pukul sembilan udah kembali lagi ke sini."

"Yusuf mau, Kak. Terimakasih atas ajakannya, tapi abi mau jenguk Yusuf hari ini."

Dari sorot matanya, saya melihat ada binar kebahagian mungkin karena orang tuanya mau menjenguk, tapi saya juga melihat ada binar tidak enak ketika menolak ajakan saya. "Saya ngerti. Ya sudah, Kakak duluan ya, mau siap-siap soalnya."

"Sampaikan barakallahu fī umrik untuk uminya Kakak, semoga Allah senantiasa menaungi dengan rahmat-Nya dan juga selalu diistiqomahkan hatinya. Semoga panjang umur dan sehat selalu."

"Aamiin Allahumma Aamiin, terimakasih doanya, Suf. Saya pergi dulu, assalamuaikum."

Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang