Konsentrasi saya buyar ketika melihat Rara melewati kelas XI-IPA-2. Saat itu saya sedang menerangkan bab logika matematika langsung terdiam. Untuk menutupi kekakuan yang disebabkan gadis bernama Rara, saya mengusap wajah dan melanjutkan apa yang disampaikan tadi.
Setelah menjelaskan teori singkat, saya mencontohkannya. Dua soal serupa saya tulis untuk menyibukkan mereka, dengan begitu saya bisa keluar mencari keberadaan Rara. Entah apa alasannya ingin bertemu dia, ini keinginan hati saja.
Saya sempat kehilangan wujudnya. Dia cepat sekali perginya. "Kenal Rara?" tanya saya kepada dua gadis yang satu berkacamata yang satu tidak. Keduanya mengangguk. "Tadi lewat sini, nggak?"
Gadis berkacamata itu mengangguk lagi. "Tadi ke arah perpustakaan."
"Syukron, ukhti."
Saya segera melangkah panjang menuju perpustakaan, Rara sedang membaca buku di deretan meja bersama temannya yang tadi.
Ketika wujudnya sudah ada di depan mata, saya bingung sendiri. Saya tidak punya alasan apa-apa saat menemuinya, menyapanya saja rasanya malu. Seandainya saya ajak dia berbincang tentang matematika, dia tetap akan menunduk. Sikapnya itu akan membuat orang lain malu sekaligus menarik penasaran, itulah keistimewaamuslimah bernama Rara Kanaya Hafidzah yang saya kagumi.
Iya, saya jujur sekarang, saya mengagumi gadis itu dari akhlaknya. Memang semua santri memiliki akhlak terdidik di pesantren ini, tapi entah kenapa akhlaknya Rara membuat hati saya berdesir. Ini bukan penilaian mata sehingga saya tidak bisa menjabarkan alasan kenapa sampai mengaguminya. Ini sudah menjadi urusan hati, di mana alasan yang tidak masuk akal saja bisa masuk akal.
Di sini, di jajaran rak buku matematika, saya pura-pura sibuk memilih-milih buku supaya tidak dicurigai sambil mata sekali-kali mencuri perhatian gadis itu.
Mengagumi dalam diam itu ....
membuat pikiran kacau!
Mau menghampiri, tidak enak. Memantau dari jauh, tapi tidak tahan ingin menghampiri. Akhirnya saya frustasi, buku yang ada digenggaman saya terjatuh. Karena Rara mendengar suara buku jatuh tersebut, anak itu menoleh membuat saya gelagapan, takut ketahuan jika daritadi saya perhatikan. Buru-buru buku itu diambil lalu beranjak pergi dari sana. Sialnya, saking buru-buru, saya hampir menabrak rak buku karena ingin berbelok tapi belokannya masih di depan. Wajah saya memerah, santriwati yang ada di ruangan dan melihat kejadian konyol itu seperti menahan tawa.
Semua gara-gara kamu, Ra!
Fatalnya, karena anak yang satu itu, saya lupa dengan murid yang sengaja ditinggalkan di kelas dengan dua soal tadi.
Ini juga masih gara-gara kamu, Ra!
Dalam hati, saya terus menyalahkan gadis itu. Padahal gadis itu tidak tahu apa-apa dan tidak berbuat apa-apa. Harusnya saya menyalahkan diri sendiri, tapi menyalahkan orang lain lebih asyik.
🍃🍃🍃🍃
Hari Ahad, usai senam pagi, santri berpencar dengan kegiatan masing-masing yang sudah dirancang jauh-jauh hari. Yusuf memilih main futsal di lapang depan asrama Abu Bakar Sidiq, Fatih sedang mengajari adik kelasnya belajar memanah, beberapa teman sekamar memilih untuk mencuci, dan saya harus pergi ke kampus.
Dalam hati kecil, saya ingin sekali merasakan bahagianya libur. Namun, kegiatan seakan menghalangi keinginan sederhana itu. Saya naik angkutan umum untuk ke kampus karena Sega tidak ada mata kuliah hari ini.
Kelas pagi selama tiga jam lancar jaya. Siang itu, saya tidak langsung kembali ke pesantren, perpustakaan menjadi tujuan langkah ini.
Perpustakaan kampus dua lantai itu sedikit menghibur hati yang lelah ini. Saya menaiki satu per satu anak tangga, karena melihat ada teman yang di kenal duduk dekat jendela besar yang menghadap ke pemandangan stadion bola berjarak tidak terlalu jauh dari kampus, sekitar lima ratus meter jaraknya.
"Hei," sapa saya kepada Ferrel Chirstian. Dia teman SMA, sekarang satu kampus tapi beda fakultas.
"Eh, lu Tom." Dia menunjukkan ekpresi sedikit terkejut dengan kehadiran saya yang mendadak. Meski di kampus yang sama, tapi pertemuan kami hampir tidak ada. Pertemuan terakhir saja, jika tidak salah ingat, empat bulan yang lalu, di parkiran. Kami bertos ria ala mahasiswa keren. "Gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, baik sekali. Sebaliknya?"
"Puji Tuhan."
Saya tersenyum lalu duduk bersebrangan dengannya. Rupanya dia membaca komik sambil menikmati indahnya langit tanpa awan itu.
"Mana Sega? Tumben terpisah. Biasanya kalian itu bagaikan dua orang yang disatukan pakai lem," sindirnya.
Saya menanggapi dengan tawa kecil. Bukan hal asing lagi bagi orang yang mengenal saya dan Sega. Kami bersahabat sejak SMA sampai masa yang akan datang. Tidak sedikit orang bertanya hubungan saya dengan Sega saat awal-awal masuk kampus karena kedekatan kami. Ke mana-mana selalu bersama, di situ ada Tommy, di situ pula ada Sega.
"Dia tidak ada kelas hari ini. Kamu? Sendirian aja?"
Kami masih canggung, mungkin karena komunikasi terjadi lagi setelah berbulan-bulan tidak bertemu.
"Nunggu Monika, dia ada kelas hari ini, satu jam lagi mungkin keluar."
Saya tidak mengenal siapa itu Monika. Mungkin saudara atau kerabatnya. Kami memulai obrolan dari yang ringan-ringan saja, nostalgia masa SMA contohnya.
Masa lalu, tidak lepas dari kenangan, di dalamnya pasti ada Bunga.
Benar saja! Ferrel mulai merembet bertanya tentang Bunga. Ini yang saya hindari daritadi. Perihal Bunga, saya tidak mau membahasnya lagi.
"Gue kira lo tahu kabar terbarunya Bunga. Sekitar satu tahun yang lalu, gue iseng dm dia, cuma salam dan nanya kabar aja. Dan beberapa bulan yang lalu, gue buka IG terus DM yang gue kirim ke Bunga belum dihapus, saat melihat DM itu lagi gue kaget bukan main. Chatnya dilihat! Gue kira, karena IG-nya Bunga udah aktif, lo komunikasi sama dia."
Ini kabar bagus yang saya lewatkan. Posisi duduk saya langsung tegak, ada gairah kembali dalam diri ketika mendengar bahwa salah satu akun media sosial Bunga aktif. "Terus-terus? Kabarnya gimana?" Semangat 45 membara dalam dada, sesederhana itu seorang Bunga menyuntikkan semangat dalam diri saya.
"Ya nggak tahulah! Dia nggak bales gue. Beberapa bulan yang lalu sempat gue share screenshot room chat gue dan Bunga ke grup alumni. Saat itu temen-temen yang lain pada menyerbu IG Bunga dan DM dia, tapi nggak ada balasan satu pun, tapi tetap dilihat." Saya menyimak dan semakin bersemangat. "Sampai ada yang nyepam segala ke dia. Mungkin karena spam itu juga, Bunga bales. Cuma bales salamnya doang, terus nggak bales lagi meskipun terus dispam."
Saya langsung mengeluarkan ponsel untuk membuka instagram dengan akses wifi perpustakaan. DM saya yang beberapa tahun lalu sudah lihat, tapi tidak ada balasan apapun. Saya berseru lemah. "Kenapa nggak ngasih tahu saya kalau Bunga sempat aktif di IG?"
"Gue udah share ke grup alumni, di grup itu kan ada lo!"
"Saya tidak lagi memakai nomor itu sejak masuk pesantren."
"Bukan grup WA, tapi grup di facebook."
"Apalagi itu. Saya tidak pernah main sosial media lagi setelah masuk pesantren."
Dan pada akhirnya, saya terlambat mendapatkan informasi tentang Bunga. Apa mungkin ini teguran dari Allah supaya saya harus melenyapkan Bunga dari hati dan pikiran saya? Mungkin Dia terlalu cemburu karena saya menduakan cinta-Nya sampai akhirnya Dia melenyapkan seseorang yang saya cinta.
Allah, jika perasaan saya sebuah dosa, bantu saya melupakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]
Espiritual"Muslimah hight class mana mau diajak pacaran, Ga." Saya mengembuskan napas gusar, lalu mengusap wajah dengan kasar. "Sekalinya langsung khitbah, dia mana mau sama saya." Gadis itu laksana Aisyah yang cerdas juga cantik. Lembut tutur katanya bagaika...