Tiga Belas

100K 7.7K 382
                                    

⚠BAPER

🌸🌸🌸

Tidak peduli seberapa jauh aku merasa sukar, aku masih punya Allah sebagai tempatku mengadu dan bersandar.

***

"Hiks.."

Bahu Arsel tampak bergetar disertai dengan isak tangisnya yang tak kunjung reda. Ia tidak mempedulikan tatapan orang lain yang mungkin menatap penasaran ke arahnya. Arsel merasa marah dan ingin berteriak kesal pada semua orang.

"Dek, masuk dulu yuk!" Arvan menarik tangan Arsel yang bertengger di wajahnya.

Arsel menggeleng.

"Dilihatin orang itu."

Sekali lagi Arsel menggeleng.

Arvan yang tidak ingin semakin menjadi pusat perhatian, segera meraih kedua bahu Arsel—mengajaknya berdiri. Sedangkan Arsel yang diperlakukan seperti itu, lebih memilih berganti alih menyembunyikan wajahnya yang sudah penuh dengan air mata di dada Arvan.

Tanpa kata Arvan merangkul bahu Arsel, mengajak adiknya itu menuju ruangannya. Ia hanya berharap tidak berpapasan dengan Abram. Bisa-bisa abinya itu berpikiran yang macam-macam mengenai Arsel, Faruq, ataupun dirinya.

"Nanti kalau mas Faruq datang, tolong langsung suruh masuk." Arvan memerintahkan Budi, sekretarisnya, begitu sampai di depan ruangannya.

Budi yang memang sudah memahami seluk-beluk keluarga besar Abram, hanya menganggukkan kepalanya mengerti.

"Duduk sini dulu!" Arvan mendorong tubuh Arsel menjauh.

Arsel yang mengerti, segera berjalan cepat menuju kursi panjang di sana. Ia mencebikkan bibirnya seraya menghadapkan tubuhnya menyamping, tidak ingin bertatapan dengan Arvan. Wajahnya memerah, pipinya masih basah karena air mata.

"Tadi ngapain?" tanya Arvan.

Arsel tidak menjawab, ia justru membalikkan badan, kemudian menangkupkan wajahnya di kepala kursi.

"Hahh.." Arvan menghela napas. "Yaudah tunggu mas Faruq kesini, kakak mau lanjut kerja."

"Mau ketemu abi," cicit Arsel. Suaranya tidak terlalu jelas karena teredam kursi.

"Ngapain?"

Arsel menggeleng ambigu. "Mas Faruq jahat."

"Kenapa? Adek dipukul?" Arvan mendelik sembari meneliti tubuh Arsel, memastikan apa ada yang terluka.

"Enggak lah, mas Faruq baik, nggak mungkin pukul adek."

Arvin mengernyitkan keningnya bingung. Ia masih ingat sekitar satu menit lalu Arsel mengatakan Faruq jahat, tetapi sekarang adiknya itu justru mengucapkan sebaliknya. "Terus?"

Arsel mengangkat kepala, membalikkan badannya menatap Arvan yang masih berdiri di sisi kursi yang ia duduki. "Mau pulang aja, nggak mau sama mas Faruq."

"Nggak boleh, Adek 'kan sudah nikah, harus ikutin suami."

"Tapi mas Faruq udah jahat tadi," rengek Arsel. Air matanya siap tumpah kembali.

"Jahat kenapa?"

Arsel menatap Arvan kesal. Kemudian ia melayangkan pukulan di perut kakaknya itu yang masih bisa dijangkau dalam posisi duduk.

"Aduh! Kok dipukul?"

"Tadi 'kan Kak Arvan lihat sendiri. Mas Faruq lebih memilih nganterin cewek tadi," sentak Arsel.

Halal Bersama Arselia ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang