Dua Puluh Sembilan

72.6K 6.2K 190
                                    

Sebelum masuk ke cerita, mau menegaskan sesuatu dulu. Kalau ada yang baca sih hehe tapi berharap sekali kalau mau menyempatkan 1 menitan atau kurang dari itu untuk membaca ini~

Seperti yang pernah saya sampaikan entah di chapter berapa dan pada cerita apa, juga yang saya tulis di bio, kalau cerita yang saya tulis hanya kisah sederhana tentang sehari-hari. Tapi tetap jangan lupakan, ini hanya FIKSI.

Kalau konfliknya terlalu ribet, apalagi di luar nalar permasalahan biasanya seperti ngomongnya kasar, main tangan, apalagi sampai selingkuh atau menjalin hubungan gelap itu udah masuk dalam kategori "drama". Setidaknya itu menurut saya.

Dan kisah yang demikian tidak akan masuk dalam cerita yang saya tulis. Alasannya kenapa? Sederhana, karena kedua tokoh digambarkan sosok yang sudah ngaji, alias mengerti agama.

Kenapa nggak yang satunya digambarkan seperti sosok "bad"? Kembali lagi pada jenis cerita yang saya tulis, yakni mengisahkan tentang sehari-hari.

Sekarang apa ada orang yang salih ingin menikah dengan perempuan yang tidak berniat hijrah? Meskipun merasa suka, cinta, orang yang salih pasti lebih memilih melepaskan dan mencari pelabuhan yang sama-sama menuntut ilmu syar'i. Alasannya, karena masih banyak yang harus dipelajari, tidak perlu menambah PR.

Setidaknya itu yang saya pahami. Wallahu a'lam.

Maaf jadi melebar kemana-mana hehe, agar lebih jelas kalau sekiranya menganggap cerita yang saya tulis terlalu monoton

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maaf jadi melebar kemana-mana hehe, agar lebih jelas kalau sekiranya menganggap cerita yang saya tulis terlalu monoton.

Sekian, selamat membaca~

🌾🌾🌾


Aku hadir bukan untuk menggantikan sosok ibumu yang menjadi pemilik pertama hatimu, justru aku ingin membantumu berbakti padanya.

***

Arsel mencium punggung tangan Iba, kemudian memberikan kecupan di pipi kanan dan kiri. Meskipun ibu mertuanya menyambut dengan baik tingkahnya itu, ia masih tetap canggung. Apalagi ada orang lain yang berada di dekatnya—bukan Arvan, karena kakaknya itu menunggu di mobil.

Arsel menyambut uluran tangan Friana padanya. Ia bahkan tidak bisa berpikir apa pun karena tidak tahu harus bagaimana menghadapinya.

“Katanya sama kakak kamu? Di mana?” tanya Iba.

“Oh iya, kakak menunggu di mobil,” jawab Arsel.

“Kebetulan ibu berangkat sama Friana, karena kemarin dia pulang ke Surabaya dan sekarang harus kembali ke Jakarta.” Iba menjelaskan tanpa diminta.

Arsel memasang senyum paksanya. “Oh iya hehe.”

“Kalau Friana bareng juga boleh nggak? Tadi di mana alamat rumah kamu, Fri?”

Rasanya Arsel ingin tertawa sembari menangis, kalau perlu meraung-raung sekarang juga di pinggir jalan.






MOHON MAAF SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS UNTUK KEPERLUAN PENERBITAN
SILAHKAN HUBUNGI PENULIS UNTUK PEMESANAN 0895-6012-87793 atau shopee @ariskakhurnia_



—Halal Bersama Arselia

22 Januari 2019



Kalau banyak yang menunggu in syaa Allah akan saya usahakan update 2 hari sekali, biar gak terlalu lama. Gak bisa janji, tapi diusahakan selagi senggang.

Oh ya, EXTRA CHAPTER HAIFA sudah dipublish ya buat yang kemarin tanya terus hehe

Yang mau order ARESHA, ready stock ya langsung ke penerbit 👇

Yang mau order ARESHA, ready stock ya langsung ke penerbit 👇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Halal Bersama Arselia ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang