Smell Like Angel

54.3K 4.6K 554
                                    

Aku diantar pulang lagi sama ambulan yang berbeda. Katanya sih pesan dari yang menjamin pemesanan ambulan itu aku harus diantar kembali ke alamat yang diberikan olehnya. Ini pasti kerjaan Drey.

Begitu sampai rumah, cunguk-cunguk langsung jerit-jerit ngeri. Aku nggak bisa melakukan apa-apa selain senyum-senyum doang. Menggerakkan leher saja susah banget, mau apa lagi aku? 

Mereka membantuku duduk di tempat tidur.

"Lo nggak bakal mati kan, Glace?" tanya Rumi sambil duduk di kakiku.

Aku cuma bisa senyum.

Sebenarnya, aku mau muntah. Kepalaku terasa berputar. Pandanganku juga dipenuhi kunang kunang. Aku pengin bilang ke mereka kalau aku pengin tidur. Tapi, aku nggak tahu gimana caranya ngomong ke mereka tanpa muntah.

"Glace, lo tidur sendiri ya sekarang. Gue ke kamar sebelah aja. Gue ngeri kalau sampai nendang kepala lo." Meth merapikan rambutku yang terjepit penyanggah leher. Pantas saja tadi kok rasanya ganjel banget.

Ah, Meth pintar banget!

Aku mengedipkan mata dua kali. semoga mereka tahu kalau itu artinya aku setuju sama dia.

"Lo mau minum teh?" Rumi terlihat ingin melakukan sesuatu untukku.

Aku berusaha menggeleng, tapi leherku malah terasa lebih sakit dari sebelumnya.

"Air putih ya, Glace? Lo butuh air putih. Lo kudu minum obat, Glace."

Setelah berhasil menelan ludah, aku berkedip dua kali lagi.

Rumi berlari ke dapur. Aku berusaha berjalan ke tempat tidur.

Meth dan Roro masih memandangku dengan sedih. 

"Kalau ada yang lo butuhkan, gue ada di sini," kata Roro. "Bilang aja. Asal lo nggak bilang pengin perjaka. Soalnya gue juga mau," katanya lagi.

Aku terpaksa ketawa soalnya ekspresinya pas ngomong gitu lucu banget.

"Makasih," ucapku lirih. "Gue cuma mau tidur."

Rumi kembali dengan air putih hangat yang rasanya enak banget di tenggorokanku. Setelah itu, mereka berusaha menyusun bantal biar aku bisa tidur dengan enak. Sayang, posisi gimana pun aku tetap nggak bisa naruh kepala di bantal kaya biasa. Penyanggah leher, kepala, sampai punggungku sakit semua. Cunguk-cunguk yang berusaha memijit kaki dan tanganku juga nggak bisa menghilangkan rasa sakitnya.

Sebenarnya aku pengin sendirian dan menangis. Aku ingin mengadu pada Ibu. Aku ingin menceritakan semua rasa sakit yang kurasakan pada Ibu. Aku ingin menangis sampai pagi. Tapi, pijatan mereka bikin aku merasa nyaman. Pelan-pelan aku tertidur juga. 

Aku ingat. Malam itu aku mimpi melihat cahaya yang terang banget. Aku lihat ada cowok. Kulitnya kecokelatan. Rambutnya cokelat. Dia tersenyum. Giginya outih dan rapi. Sepertinya, aku kenal dia. Wajahnya familiar. Dia manggil namaku sambil gendong bayi. 

"Glace, habis Violet giliranku yah," katanya sambil berkedip genit. Aku menyentuh wajahnya. Hangat, sama seperti senyumnya.

Bodohnya, pas bangun tengah malam aku sudah lupa gimana wajahnya.

Bodohnya, pas bangun tengah malam aku sudah lupa gimana wajahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nasty Glacie (Terbit - Rainbow Books)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang