Shout It From Rooftop

68.8K 5.4K 2.5K
                                    

Malam itu kami ngobrol sampai tengah malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu kami ngobrol sampai tengah malam. Anak-anak yang kelelahan bermain tidur di pelukan bapak masing-masing, kecuali Ryn yang nempel sama cowokku. Huft!

Aku menguping Claire dan Steve yang terlibat obrolan sarkas seru tentang bakat dan kecerdasan manusia. Sumpah, aku bingung kenapa Claire bisa secerdas itu walau masih kecil. Omongan mereka seperti nggak sampai ke kepalaku.

Setelah Steve ngobrol lagi dengan Drey, Claire menghampiriku.

"Heath kan mau ulang tahun, kami semua ingin memberikan sesuatu buat dia."

Astaga, aku malah lupa sama ulang tahun Heath.

"Nah, awalnya kupikir bagus kalau kasih dia sweater rajutan. Terus, kami sepakat untuk kasih lukisan dirinya. Heath itu pemalu. Siapa tahu dengan melihat citra dirinya yang keren, dia bisa jadi cowok yang lebih berani."

"Ehm, pemalu gimana? Dia berani, kok," kataku sambil mengusap rambut pirangnya yang lembut.

"Bukan berani yang itu. Kalau keberanian buat berantem, Heath memang nomor satu. Dia pernah mematahkan tangan orang yang hampir mencopet tas tangan Mom. Karena kasihan sama orang itu, mom malah memberikan semua isi dompetnya untuk orang itu berobat."

"Di London?"

"Iya." Claire mendongak melihatku. "Tapi, dia nggak punya keberanian buat menghadapi hidupnya. Dia hidup cuma karena harus hidup. Dia nggak punya cita-cita atau keinginan di masa depan."

"Kok kamu tahu?"

"Karena kalau ketemu sama dia aku ngobrol, bukan ciuman terus kaya kamu."

"Eh? Aku? Ng-nggak, kok."

Claire duduk dan melotot padaku. "Asal kamu tahu ya. Kamarmu itu jendelanya besar sekali dan aku bisa melihat kamarmu dengan jelas waktu pertama kamu pulang dari rumah sakit itu." Dia menumpuk terus mengesek-gesekkan tangannya. "Kenapa sih nggak pasang vertical blind-mu?"

Kutepuk jidatku sendiri. "Astaga!"

Dia menggeleng dan menepuk kepalaku. "Aku heran kenapa Tuhan nggak kasih kamu otak walau sedikit."

"Sialan," kataku sambil memiting kepalanya. Claire menjerit sambil tertawa. Nggak pakai ampun, kugelitiki dia sampai hampir jatuh dari sofa. Nggak lama, aku berhenti dan kami duduk dengan terengah.

"Fifi juga bilang kalau kamu lugu banget." Claire berkata lagi.

"Fifi?"

"Dia manis banget, ya. Kamu beruntung punya teman seperti dia. Kusarankan dekat sama dia saja daripada Gary Newman itu. Sudah namanya kaya merek jajanku di sekolah dulu."

"Gary? Ke sini?"

Claire mengangguk. "Gary ke sini pas sore. Dia cari kamu. Waktu kubilang kamu jalan sama Heath, dia marah-marah. Katanya kamu itu punya dia."

Nasty Glacie (Terbit - Rainbow Books)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang