"Zaira lo ngapain disini sama si titisan Fir'aun?" Praja menaikkan alisnya sembari memperhatikan mereka dari atas sampai bawah.Zaira berdecak kesal, kenapa sih dunia sempit. Selalu saja mempertemukannya dengan makhluk yang satu ini, yang selalu mengganggunya dan menurunkan moodnya.
Ryan hanya diam, sebagai ketua OSIS ia tahu catatan siswa yang bolos setiap harinya.
"Harusnya gue yang nanya sama lo. Ngapain disini? Sampe lo bolos sekolah?" Ryan menatap tajam Praja.
"Kalo iya gue bolos masalah buat lo?" Praja tidak mau kalah, jelas lelaki itu tidak suka melihat Kay bersama ketua OSIS itu.
"Masalah, lo udah ngelanggar aturan sekolah. Jelas?" Balas Ryan dingin.
"Itu hak gue mau ngelanggar apa engga. Seengganya gue bolos, tapi disini kerja cari nafkah! Bukan kaya lo! Ketua OSIS, kakak kelas yang selalu taat aturan tapi malah ngajak anak perempuan ke kafe sampe lewat maghrib. Lo kira pantes? Kaya lo jadi panutan? ENGGA!" Perkataan pedas Praja sukses membuat Ryan terdiam.
"Diem kan lo, Yan? Lo juga Zaira, harusnya sebagai cewe lo bisa jaga diri lo!" Praja pergi sembari meinggalkan bill pesanan mereka.
Seketika suasana kafe menjadi dingin, lebih dingin hingga menusuk hati.
"Kak pulang ya?" Zaira berusaha menahan air yang sudah memaksa keluar dari pelupuk matanya.
"Oh, oke kakak antar ya?"
Zaira hanya mengangguk.
****
Semenjak kejadian itu Praja tidak pernah lagi mengganggu hidup Zaira. Mungkin mereka seperti orang Asing. Begitupun persahabatan Zaira dan Ameera, mereka jarang sekali pulang bersama atau sekadar duduk di lorong sekolah menunggu Ameera dijemput. Semuanya berubah.
Hampir sebulan mereka pacaran, Zaira sering pulang malam, baginya setiap sudut dirumahnya selalu mengingatkannya pada seorang prajurit tangguh. Ya, ayahnya. Ia benci semuanya, benci hari dimana ayahnya pergi, saat ia dibohongi, saat kejuaraannya menguap oleh duka.
Ibunya sudah tidak tahu bagaimana menghadapi putrinya kali ini. Zaira semakin sulit untuk dinasehati.
"Za! Dengar ibu! Ini sudah kesekian kali kamu pulang larut! Tidak ingat pesan Ayah?" Nada bicara Ratih meninggi.
"Peduli ibu apa sih? Saat ayah meninggal saja ibu tidak langsung memberi tahu Za, lagipula ibu yang bilang kan bahwa Ayah sudah tiada? Jadi sudah tidak berlaku aturan-aturan yang dibuat Ayah!" Nada bicara Zaira tak kalah tinggi.
"Za! Ibu melakukan itu karena ibu tidak mau merusak mimpimu, abangmu juga melakukan hal yang sama karena sayang kepadamu! Ayah tiada bukan berati kamu bisa seenaknya. Mana Zaira anak ibu yang penurut?!"
Mata Zaira mulai panas, emosinya memuncak. Dia tak sanggup lagi menahan semua beban berat yang ia tahan selama ini.
"Bu! Zaira hanya ingin Ayah kembali, tapi itu tidak mungkin! Minimal ada Abang yanh menjadikan pundaknya untuk aku bersandar, Zaira tidak mau kehilangan Abang seperti ayah! Tapi buktinya abang lebih memilih AKMIL-nya kan? Apa Abang tidak peduli akan kondisi psikis Zaira!!!" Tangisnya pecah, tidak ada lagi yang bisa menahan air matanya.
Ratih merangkul anaknya erat, membenamkannya dalam pelukan hangat seorang ibu. Ia tahu betul, putrinya sangat merindukan sosok lelaki itu. Ia mengerti, bahwa putrinya menginginkan Abangnya menjadi pengganti ayahnya.
Namun, Zaira segera melepas tangan Ratih dari bahunya itu.
"Maaf Bu, Zaira lelah, Zaira ingin segera ke kamar, istirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PROMISE OF A SOLDIER
Roman pour Adolescents"Bilang sama teman laki-laki yang mau sama kamu, sebelum deketin adeknya deketin dulu abangnya! iyakan Yah?" Ucap lelaki yang disebut abang oleh Zaira. "Yah... kalau begitu mana ada lelaki yang mau sama Za, datang kerja kelompok ke rumah saja takut...