Minggu terburuk bagi Zaira, satu minggu yang penuh dengan tangis, sepi, juga sendiri. Zaira masih bungkam, berusaha menyembunyikan semuanya dari Ibu, kali pertama ia merahasiakan banyak hal juga masalah dari wanita yang paling ia cintai. Harusnya ia bisa bermanja-manja melalui media daring, ya, video call bersama Bang Dirgan. Namun, ia sadar hubungannya masih sekaku itu dengan abang kesayangannya. Semuanya seolah-olah berubah setelah kepergian ayahnya, dan perilaku bodohnya. Melanggar janji sehingga hatinya terluka.
Untung saja Ameera masih menerima, merangkul dalam tangisannya. Sahabat memang tempat paling nyaman. Hanya saja hari-hari Zaira terasa berbeda, tak lagi gurauan, tak lagi candaan, ataupun umpatan-umpatan mengesalkan dari musuh bebuyutannya. Siapa lagi kalau bukan Praja.
Sudah seminggu ini, tepatnya semenjak kejadian Praja memergokinya sedang di kafe bersama kekasihnya, oke ralat, mantan kekasihnya. Ada sesuatu yang hilang, ada sesuatu yang kurang.
Ahh, apaan sih, padahal harusnya aku seneng, hidup aman, damai, tentram, nyaman, dan sejahtera.
Batinnya berusaha mengelak dari kenyataan, langkahnya menuju kelas gontai, kantung matanya terlihat berat. Menunjukkan ada tangis disetiap malam. Mukanya pucat, tidak makan secara teratur berhasil membuatnya terlihat jauh lebih kurus, lesung pipitnya lebih dalam. Ahh, persetan dengan penampilan, hatinya jauh lebih kacau.
Fokusnya hilang saat ia sadar di depannya berdiri jelas seseorang yang sangat familiar, Ka Ryan.
Jantungnya berdegup kencang, berusaha membuang segala rasa canggung, mukanya memanas melihat Ka Ryan sedang berdua bersama Ka Gita, sekertaris OSIS. Langkahnya seakan otomatis memutar badannya berbalik arah, melangkah jauh dengan tatapan mata menunduk.
Brukkk !!
Badan besar itu berhasil membuat badan Zaira jatuh. Kepalanya mendongak, rasanya ingin memaki orang yang ada didepannya.
"Bantuin dong! Udah nabrak seenaknya malah diem disitu! Buku aku pada ja—" Ucapannya terhenti saat matanya melihat Praja.
"Eh, Ja! Bantuin dong! Malah diemm!" Zaira memaki.
Lelaki itu diam, tanpa pikir panjang Praja melewati Zaira, tanpa umpatan, cacian, ledekan, bahkan maaf sekalipun.
"Ja!!!! Kamu kenapa sih? Insaf?!!!" Cacian Zaira bagaikan angin lalu, seakan tidak terjadi apapun.
"Praja!!!"
****
Praja merasa gatal, tidak mengganggu Zaira selama seminggu membuatnya gemas sendiri. Tapi, apa boleh buat, Zaira memang harus diberi pelajaran.
Sebelum menuju parkiran, Praja melihat Zaira memesan ojek online.
Tumben, gue kok ngerasa ada yang aneh. Yaudah gue ikutin.
Segera Praja menelpon Bang Aji. Memberitahukan bahwa hari ini dia izin tidak masuk bekerja, lalu menancap gas mengikuti ojek yang dinaiki Zaira.
Ojek itu berhenti tepat di pemakaman ayah Zaira. Di tatapnya lekat perempuan itu, sadar betul guncangan yang dihadapi Zaira begitu berat, sebagai sosok Eja harusnya ia yang ada disamping perempuan itu. Namun, memberitahunya sekarang itu bukan pilihan yang tepat.
"Ayahh... Zaira rindu, apalagi ketika Ayah menceritakan bagaimana Ayah latihan, bagaimana Ayah tempur, membuat Zaira bangga memiliki Ayah." Suaranya mulai terisak dan terjatuh didepan pusara Ayahnya. Praja melihatnya.
"Ayah.. maafkan Za, sudah melanggar janji, Za mengecewakan ibu, abang, teman-teman, dan mungkin Eja kalau dia tahu."
Gue disini Kay, gue Eja, gue liat semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PROMISE OF A SOLDIER
Teen Fiction"Bilang sama teman laki-laki yang mau sama kamu, sebelum deketin adeknya deketin dulu abangnya! iyakan Yah?" Ucap lelaki yang disebut abang oleh Zaira. "Yah... kalau begitu mana ada lelaki yang mau sama Za, datang kerja kelompok ke rumah saja takut...