04 | Langit Mentari Senja

62 16 1
                                    


SEHABIS makan malam, aku langsung masuk kembali ke kamar. Kulihat malam ini seperti malam-malam biasanya. Jika di sinetron receh yang kebetulan kulihat, biasanya kalau si pemeran lagi bersedih pasti ada bintang yang menemani. Tapi faktanya? Aku mendengus.

Aku beranjak menuju meja belajarku, membereskan buku yang berserakkan di meja, aku memang tidak termasuk golongan rajin tapi siapa sih yang gak risih lihat kamar berantakan?

Drt drt..

Getaran ponselku membuatku menghentikan niatku, aku menuju nakas yang disana terdapat ponselku.

0821590xxxxx

Ocha, aku di jkt skrg, blh ktmuan?

Aku memutar bolamataku, mau apalagi dia? tidak cukup menambah kenangan burukku? mau menambah lagi? Awas aja! Aku menggeleng malas. Kubiarkan pesan itu mengambang tanpa balasan.

Lalu bersiap menuju pulau kapuk, hm.

😝😝😝

Setelah bersiap dengan seragamku, dan memastikan kunciran rambutku rapi, aku menuju ke bawah, kulihat Ibu sedang menata makanan dan piring-piring di meja.

Aku turun dari tangga, suara hentakkan sepatuku, membuat Ibu menoleh, "Pagi, Cha." sapa Ibu.

Aku tersenyum, "pagi, bu." lalu duduk di seberang tempat duduk Ibu.

"O iya, Ayah titip salam buat kamu,"

Aku yang saat itu sedang mengoles roti tawarku dengan Chocomaltin terhenti, kulihat Ibu bersikap biasa saja, "Oh." balasku singkat.

Ibu mengerutkan kening, "kapan kamu mau ketemu Ayah? gak kangen?" tanya Ibu lagi, kali ini aku lihat ada sorot sedih di matanya.

Jujur saja, ada rasa kangen menyelinap di hatiku. Terbayang akan senyum Ayah yang mengembang penuh dengan ketulusan, ketika aku dan Ayah pulang bersama, atau ketika Ayah memakaikanku sepatu bertali, mengepang rambutku dan menyebutku putri kecil-nya dulu.

Namun, karna sebuah insiden 'besar', yang besar sekali, hingga dengan mudahnya sikap hangatnya berubah dalam sekejap. Ayahku bangkrut, ia menyalahkanku, hingga fikirannya yang -mungkin- sedang kalut ia mencari masalah disana-sini. Sifatnya denganku juga berubah, ia sering memarahiku kalau aku bandel sedikit, padahal ia tau kalau aku bandel pasti ingin ia manja. Bahkan ia pernah memukulku dengan sapu lidi, tanpa sepengetahuan Ibuku, karna aku tak mendengarnya memanggilku waktu sepulang sekolah, padahal kesalahan yang kubuat juga tidak terlalu besar -menurutku.

Aku tahu, aku bersalah.

Padahal saat itu aku juga menangis, bahkan meraung-raung keras di insiden itu.

Tapi, percuma membela diri di hadapan orang-orang yang tak punya kasih.

Sekeras-kerasnya aku meminta maaf, apa yang akan diperbuat?

Aku juga sadar diri, karna aku yang membuat Ayahku seperti ini.

Ia menjadi provokator di perusahaan tempat ia bekerja, lalu temannya -yang sekarang menjadi rival- melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Sampailah Ayah ke dalam bilik penjara.

Aku ingat tatapan menyesal Ayah padaku sebelum ia resmi dinyatakan bersalah, saat itu aku menangis di pelukan Ibu. Ibu juga menangis walau tak sekeras aku.

Kata Ibu, Ayah menyesal telah berbuat kasar padaku, aku menangis meminta maaf karna aku yang membuat Ayah seperti ini. Andai saja aku gak pernah ceroboh, Ayah tak akan masuk terjerumus oleh kejamnya dunia.

"Aku berangkat, Bu." Aku segera pergi sebelum Ibu melihatku menangis.

😝😝😝

"Ocha!" Aku yang saat ini duduk di kursiku menoleh. Kulihat Anina sedang tersenyum, tersenyum yang menurutku senyum yang.. umm, bahkan rambutnya cuman di gerai, biasanya ia mempercantik rambutnya, entah dikasih bandana atau jepit. Tapi yang kulihat ini Anina yang benar-benar polosan.

Eidetic MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang