17 |

46 13 1
                                    

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Aku dan Anina lekas membereskan meja dengan cepat agar bisa segera menuju ruang baru satu.

Inov berdiri disebelahku. "Nin, gue tunggu di parkiran." ucapnya lalu pergi begitu saja.

Aku menolehkan kepalaku bingung. "Lo belum kasih tau, Inov?" tanyaku.

Anina menggeleng, "ngapain ngasih tau? Dia 'kan bukan siapa-siapa gue." jawabnya masih menata bukunya.

Aku mendengus. "Ya, tapi 'kan dia nunggu elo, tuh."

"Biarin."

"Kalo lo ditinggal gimana?" tanyaku sedikit menakut-nakuti.

"Ojek depan sekolah banyak."

"Emang ada duit?"

Anina mendecak. "Bawel lo ah."

Aku mencebikkan bibir, yaudahlah gak usah peduliin mereka.

😝😝😝

Aku memasuki ruang baru satu sendirian, Anina tadi berbelok ke toilet, ia menyuruhku agar duluan saja ke ruang baru satu. Dan disinilah aku. Ruang baru satu, dan sendirian.

Aku memutar bola mata mengetahui, bahwa aku yang tiba lebih dulu. Lalu Beno menyusul, ia dengan santai langsung masuk dan duduk.

Aku juga ikut duduk, sedikit menjauh dari jarak Beno. Waspada saja, jika Beno tiba-tiba memaksaku agar menjadi wakilnya.

"Cha." Dan benar saja, Beno mengajakku bicara.

Aku yang pura-pura sibuk dengan ponselku hanya berdehem ria. "Hm."

"Deketan sini."

"Gah."

"Ck." Ia bangkit lalu duduk disebelahku. Aku membelalakkan mata, "eh, itu tempat duduknya Anina." protesku.

Beno nampak tak peduli. "Kali-kali lah, lo pisah sama dia, Cha. Kayak anak kembar kalian."

Aku tersenyum sinis. "Gak nyadar?"

"Apanya?"

"Yang kayak anak kembar itu gue sama Anina? Apa lo sama Dion?" tanyaku menyindir.

Beno terdiam, membuatku sedikit menyesal. Tentu saja, aku mengingatkannya tentang persahabatannya dulu dengan Dion. Pernah tau rasanya, jika sahabat yang dulu sangat mengenal kita, kini seolah tak mengenal kita.

Ingin mengucapkan maaf, tapi gengsi. Jadi aku diam aja, bingung dengan kecanggungan yang tiba-tiba menguasai.

Lalu anggota Osis masuk, termasuk Anina. Diikuti dengan junior-junior yang mungkin berminat menjadi anggota osis.

Anggota Osis terdiam melihatku dengan Beno. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan, tapi dilihat dari ekspresi mereka, ada yang bingung, ada yang tersenyum menggoda atau ada yang melihat kami menduga-duga.

Aku mengangkat bahu, membalas reaksi mereka. Lalu mereka langsung duduk tanpa berbicara apapun.

Bagas mulai maju, ia sedikit berbasa-basi sebelum menuju ke point nya. Azzam disebelahnya ikut berbincang sedikit mengenai osis.

"Jika kalian ingin menjadi Osis, kalian harus siap untuk kami uji. Dari fisik, mental, bahkan pikiran pun juga kami uji." kata Azzam.

Azzam mau melanjutkan, tapi tiba-tiba pintu terbuka. Naca dan Rayan masuk dengan senyum kaku.

"Seperti contoh, sebagai osis kalian akan terlihat sebagai pemimpin atau sebagai contoh baik dari murid-murid yang lain. Dan terlambat bukanlah contoh yang baik." lanjut Azzam keras, dan menyindir Rayan dan Naca. Dalam hatiku, aku juga sedikit tersindir, mengingat awal mos aku datang terlambat.

Eidetic MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang