06 | Terungkap Rayan

58 16 3
                                    

"CHA... pengen pipis." Anina berbisik dan menyenggol tanganku.

"Ya terus? Gue harus cari botol gitu?"

Spontan Anina melotot, dan menepuk bahuku, sial. "Kampret lo." Anina merengut, "temenin lah,"

Aku mendengus, rata-rata sih, kalau cewek ke kamar mandi itu pasti minta ditemenin, apalagi kalau jajan di kantin juga minta ditemenin. "Yaudah lo izin dulu sama Pak Eko." ucapku setengah hati.

Setelah kami diizinkan keluar kelas, lekas kami langsung ke toilet, "o iya, Nin gue masih penasaran sama sih Nasya-nasya itu." kataku pelan. Anina menyahut, "ngapain sih kepo? Kepo karna jadi pusat perhatian atau kepo sama rambut blondenya atau yang lain?"

Aku menggeleng, "bukan sih,"

Anina berhenti, lalu menoleh ke arahku sepenuhnya. Wajahnya memandangku curiga, "ooo.. gue tau, gue tau.." ucapnya tersenyum miring. Ngapain coba? Pikirannya negatif nih.

"Apa?" tanyaku menahan kesal.

"Lo mau bandingin cantikan lo apa dia ya 'kan? Halah!" Aku melotot, mana ada! Aku cuma mau mastiin aja si Nasya ini adalah Naca apa bukan kok.

"Ini jadi ke toilet gak?" tanyaku dongkol. Anina seperti tersadar sesuatu, ia mulai memegang kandung kemihnya, "eh iya iya, duh.." lalu berlari meninggalkanku. Aku menggeleng-geleng mencoba sabar.

Setelah menyusulnya sampai toilet, salah satu bilik tertutup, untuk memastikan apa memang Anina di dalam, aku memanggilnya, "Nin..." panggilku sedikit keras. Setelah terdengar sahutan dari dalam yang berarti memang Anina, aku melenggak berkaca.

Toilet di sekolah kami merupakan tempat kedua untuk menjadi tempat para penggosip, setelah kantin yang menjadi utama, toilet juga dimasukkan kategorinya. Beruntung toilet disekolah termasuk bersih, selain itu tempatnya cukup luas untuk dijadikan toilet dan tambahannya disediakan wastafel dan kaca.

Aku membasuh wajahku dengan air, berharap bisa menghilangkan wajah kantuk dan kusamku.

Terdengar pintu terbuka lalu tertutup kembali, kulihat seorang cewek masuk. Aku tidak bisa melihat wajahnya, karna wajahnya tertutup rambut panjangnya yang berwarna blonde, mengingatkanku pada si murid baru. Oh apa jangan-jangan ia si Nasya itu?

Si blonde berjalan menuju wastafel disebelahku, menyibakkan sedikit rambutnya, dan aku mulai sedikit melihat wajahya.

"Naca?" ucapku tertegun. Ya, itu Naca! Sahabat kecilku dulu.

Blonde itu menoleh, raut wajahnya terkejut, lalu mulai menebak-nebak, "Ocha?!!" tanyanya sambil menunjukku, ia tertawa girang. Aku melebarkan mata dan ikut tertawa, "hey!" Naca langsung memelukku, dan aku mulai membalas pelukannya. Ia berbisik ditelingaku. "Aku rindu, Cha." Aku mengangguk, "aku juga."

Aku mulai melepaskan pelukan Naca, bertepatan dengan Anina yang keluar dari bilik, Anina memandangku dan Naca bingung, karna kami terlihat sangat akrab. Tentu saja! Kami 'kan sahabat dulunya, tapi aku harap sampai sekarang juga begitu, walau berkurang satu.

"Udah selesai, Nin?" Aku bertanya canggung, tidak enak melihat reaksi Anina. Anina manggut-manggut sambil melongo, membuatku menahan tawa, lucu sekali.

"O iya, Nin, ini temen kecil gue dulu, Naca." Naca mengulurkan tangannya.

Anina membalasnya, "Anina."

"Naca."

"Eh, Cha, ayok kapan gitu ke rumah gue." ajak Naca bersemangat, aku terdiam sebelum menjawabnya, mengingat kalau Ayahku seorang tahanan, rasanya tidak pantas mempunyai teman yang kedudukannya tinggi diatas.

Eidetic MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang