12 |

29 11 2
                                    

ANINA terlihat resah disebelahku, kakinya tidak bisa diam, jari-jarinya juga mengetuk-ngetuk meja. Aku mendecak, berisik sekali.

Dengan kesal, aku menyenggol lengan Anina pelan. Anina menegak, "apaan sih?" bisiknya pelan.

Aku mencibir, "lo yang apaan, berisik banget."

"15 menit lagi bel pulang." adunya.

"Bagus dong."

"Bagus your head."

Aku melengos, terserah lah.

Eh, iya aku belum memikirkan alibi apa terhadap Ayah-Ibu.

Aku menopang dagu, kali ini aku terpaksa bohong dengan orangtua. Kalau aku bicara jujur, apa Ayah-Ibuku akan mengizinkan? Kurasa tidak.

Tanpa sadar aku membuang nafas.

Tringg..

Suara bel membuatku menegak, aku mulai membereskan buku lalu menaruhnya didalam tas. Anina terlihat tak bersemangat, bahkan bukunya saja ditaruh kasar di dalam tas nya.

"Mampuss.. mampuss.. mampuss.." ku dengar Anina mengoceh pelan.

"Sehat gak lo?"

"Alhamdulillah."

Aku mengerutkan kening, tumben sekali. "Lo gak pa-pa 'kan?" tanyaku sedikit khawatir.

"Nin, gue tunggu di parkiran." Aku dan Anina menoleh. Inov melengos pergi setelah mengucapkan itu.

Aku manggut-manggut paham, jadi Anina lagi malas dengan Inov. Aku melihatnya prihatin, "gini deh, kalo lo gak mau pulang bareng Inov, pulang bareng gue sama Naca aja." ajakku.

"Lo naik apa?"

Aku memutar bolamata.

"Tayo."

"Hah?"

"Dia bus kecil ramah." lanjutku sambil bernyanyi.

Anina menepuk pundakku, "bilang aja bus, kampret!"

Aku hanya mencebikkan bibir.

"Gimana?"

Anina menopang dagu, matanya melihat depan, "gimana yaa.." ujarnya pelan.

Ternyata Inov masih melihat kami di pintu kelas.

Aku memicingkan mata. "Kayaknya, lo harus pulang sama dia deh, Nin."

"Hallah.." ucapnya merengek.

😝😝😝

Aku berjalan beriringan dengan Anina di koridor. Sedari tadi Anina tak berhenti mengomel, membuatku beberapa kali menyentaknya untuk diam, tapi yang namanya Anina tak mendengar gubrisanku.

Alhasil aku cuek aja, terserah Anina mau ngomel sampai rumah nanti, bodoamat, entar juga capek sendiri.

Drtt.. drtt..

Aku merogoh ponselku di rok saku. Notifikasi dari Naca, ia sudah menungguku di depan. Setelah kubalas, aku memasukkannya lagi ke saku rok.

"Tuh, Inov malah pasang gaya sok cool lagi." Aku menoleh melihat Anina yang sudah menunjukkan raut malas.

Inov bersandar pada motornya, menoleh sekelilingnya, kurasa ia mencari Anina.

"Mana ada sok cool, orang biasa aja tuh." bantahku

Anina berkeras, "lihat deh, rambutnya aja terbang-terbang gitu!!"

"Rambut terbang-terbang?" Aku melongo.

Eidetic MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang