Prolog

84 18 9
                                    

Tak banyak yang berubah dari tampilan kota ini sejak ku tinggalkan 6 tahun yang lalu. Hanya ada beberapa toko dan caffe kecil yang baru di buka. Suasananya masih sama, macet di setiap persimpangan jalan. Orang-orang yang lalu lalang berjalan dengan langkah cepat, memburu waktu yang terus merangkak.

Kota dengan kesemrautan yang hampir sama dengan ibu kota ini selalu aku rindukan, aromanya, langitnya, bahkan tumpukan sampah di pojok jalan saja aku rindukan. Apalagi tentang cerita yang masih tersimpan indah dalam album kenangan kota ini, sangat ku rindukan.

Kini, aku sedang berada dalam salah satu caffe wajah baru di kota ini, menikmati secangkir cappuccino latte. Tak banyak pengunjung yang datang, hanya aku dan seorang gadis di pojok ruangan dengan wajah gusar menunggu yang tak kunjung datang.

Entah apa tujuanku datang ke caffe ini, aku hanya tertarik pada suasana yang di suguhkan caffe ini. Begitu tenang dan langsung menarik perhatianku. Alunan musik yang tak aku kenali tapi mampu menghanyutkan ku pada kenangan di kota kelahiran ku ini.

Lonceng pintu terbuka, menggema di ruang kecil yang memanjang ini, memunculkan gadis mungil berwajah manis dengan senyum yang menghipnotis. Posisi ku yang tepat berada di samping pintu menangkap dengan jelas senyum tulus di wajahnya, membius ku sampai tak sadar keadaan mulut sudah menganga.

Dia berjalan menghampiri gadis yang duduk sendiri di pojok ruangan dengan sedikit berlari, lalu menangkupkan tangan di depan dada seraya mengangguk-anggukan kepala, samar-samar ku dengar dia seperti sedang meminta maaf. Gadis yang tadi duduk di pojok tersenyum, menggelengkan kepala dan menunjuk kursi kosong di sampingnya agar gadis berwajah manis itu duduk disana.

Cappuccino latte di depan ku tak lagi menggiurkan, ada yang lebih menarik dari sekedar cappuccino latte yang tinggal setengah gelas itu. Ku arah kan pandangan ku pada gadis berwajah manis itu. Dari tempat ku duduk, dia duduk menyamping, alhasil wajahnya tak terlihat jelas. Ku pandangi setiap detail wajahnya dari samping, hidungnya tak terlalu mancung, pipinya tembam, tapi terlihat em...menggemaskan.

Tunggu-tunggu, ini seperti deja vu. Wajah manis gadis itu familiar di mata ku, rasanya memang mengenal wajah manis gadis itu. Ku pertajam penglihatanku, ku ingat-ingat wajah manis siapa yang sedang ku pandangi ini?

Kenapa aku bisa lupa? Bukan lupa, tapi mungkin ini yang namanya terkesima. Hampir 5 tahun lamanya aku tak pernah lagi bertemu dengannya, tak pernah tau kabarnya, bahkan tak tau kalau dia masih hidup, jahat sekali pikiran ku. Dan setelah 5 tahun tak bertemu, sekalinya bertemu langsung mendapat senyum tulus yang masih sama seperti dulu. Maka aku pun hanya bisa menganga menikmatinya.

Dina. Radina.

Ah ya, benar. Radina. Mana mungkin aku lupa wajah manis gadis itu. Gadis yang selama ini tak lagi ada dalam hidupku, tapi tak pernah lenyap dari hatiku. Gadis yang memberi warna dalam hidupku. Gadis yang bagai hujan saat kemarau dalam hidupku. Gadis yang akhir-akhir ini aku rindukan.

***

RetrouvaillesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang