#5 Balap tulis

17 8 0
                                    

Padahal baru dua hari aku tidak masuk sekolah, tapi tugas sudah seabreg saja. Sialnya lagi, hari ini adalah hari paling menyeramkan dengan 4 pelajaran dan masing-masing tugasnya yang tak sedikit. Ah, tentu saja jangan lupakan sarapan matematika di jam pertama. Luar biasa.

Dari tugas yang luar biasa itu, belum ada satu pun yang sudah selesai aku kerjakan. Baru saja pening menghilang, sekarang sudah pening lagi karena tugas ini. Hidung saja belum berhenti meler, masa iya harus makan bubur polos lagi?

Aku tak ingat hari ini jadwal matematika di jam pertama, datang ke kelas mepet ke waktu bel masuk. Pas masuk kelas, yang lain sedang sibuk saling berbagi jawaban PR matematika. Otomatis grasak grusuk aku pinjam buku matematika Radina, ternyata dia juga belum selesai. Tak ada pilihan lain, waktu terus bertambah, aku harus tetap mengisi lembar kertas yang masih kosong ini dengan angka-angka yang aku tak tau soalnya saja macam apa.

Aku harus tetap mencatat jawabannya, seadanya saja, sedapatnya saja. Akhirnya, Radina mencatat di lembar kanan, aku mencatat jawabab dari lembar kiri. Komat-kamit aku bicara yang entah apa maknanya, yang penting amarah ini tak terpendam karena biasanya akan jadi masalah besar nantinya. Radina tak menghiraukan umpatan ku, dia tetap fokus pada pekerjaannya.

Baru saja selesai jawaban nomor 1, bel masuk berbunyi. Bukan aku saja yang semakin ketar-ketir mencatat angka-angka rumit, satu kelas langsung heboh bersorak pada suara bel yang seperti mencibir karena tugas kami belum selesai. Guru matematika terkenal on time, bila bel sudah berbunyi, bisa dipastikan 5 detik kemudian Bu Sarah sudah ada di depan kelas.

Benar, kan? Bel saja belum selesai berbunyi, Bu Sarah sudah ada di kelas. Aku pasrah saja. Lumayan, sudah terisi 1 nomor setengah, itu juga hasil sistem kebut 10 menit. Yang penting sudah ada usaha, Bu.

Aku tak beranjak dari samping meja Radina. Terlanjur betah, jadi malas pindah lagi. Nanti juga aku tetap disini, supaya bisa membaca buku paket matematika yang langka. Maksudnya, hanya kebagian 1 buku tiap meja. Lebihnya, meja Radina yang posisinya paling depan, meskipun dekat dengan meja guru tapi juga dekat dengan papan tulis, memudahkan aku mencatat angka-angka rumit di papan tulis.

Hidung ku masih meler sampai pelajaran matematika selesai. Kepala ku rasanya mulai pening seperti kemarin. Aku baru ingat, saking terburu-buru sampai lupa sarapan. Jangan aneh, aku memang selalu bangun kesiangan setiap hari. Aku harus sarapan sebelum badan ku drop lagi, ribet jika harus makan bubur polos rasa hambar lagi.

"Masih ada tugas lagi, Radina?" Sebelum pergi ke warung belakang sekolah, aku harus pastikan tak ada lagi tugas yang menanti.

Radina mengeluarkan 3 lks dari dalam tasnya. "Ada. Banyak!"

"Lks ? Nanti saja lah, lihat jawaban punya mu. Aku mau sarapan, tadi pagi tak sempat sarapan." Tanpa mendengar jawaban Radina, aku langsung melangkah menuju warung belakang sekolah favorit ku. Mengisi perut dengan nasi putih dan lauknya yang rasanya tak sehambar bubur polos buatan Kak Nisa.

Masih ada waktu. Guru pelajaran selanjutnya tidak akan se-on time Bu Sarah. Pasti sempat makan, bahkan sampai kembali lagi ke kelas. Makanku bisa di atur cepat lambatnya dan dalam keadaan genting seperti ini pasti bisa di atur dalam mode gas poll.

Kembali lagi ke kelas, ku dapati meja guru masih kosong. Masih sempat untuk tugas selanjutnya. Aku kembali ke tempat di samping meja Radina, dia sedang sibuk mencatat.

Sekilas, dia melirik ku, lalu kembali fokus pada lks di depannya. Tangannya bergerak cepat, merangkai kata demi kata. Soal catat mencatat, Radina memang juaranya. Hasil tulisannya sih, tak terlalu bagus, jika dibandingkan dengan tulisan tangan ku, pasti lebih bagus tulisan ku. Asli, bukan sekedar pamer.

Gerakan tangannya yang cepatlah yang jadi juaranya. Setiap kali balapan siapa yang lebih cepat mencatat, dia tidak pernah bisa aku kalahkan, kecuali jika aku keluarkan trik curang andalan ku. Ini yang selalu dia bangga-banggakan, dan tentu saja jadi jalan yang pas untuk mengolok-olok aku yang lamban.

Melihat wajah seriusnya, adrenalin untuk balap mencatat mencuat begitu saja. Kali ini aku yang akan menang. Saat aku lihat, dia sudah mencatat cukup jauh. "Radina, tunggu dulu. Jangan di lanjutkan lagi, tunggu sampai aku mencatat sampai di nomor yang sama. Nanti, Kita balapan."

"Boleh, siapa takut." Dia tersenyum, senyum menantang, "Jangan terlalu berharap untuk menang, Ham. Aku yakin yang menang akan selalu aku." Kali ini dia tertawa, tentu saja tawa mengejek.

"Oke. Kita buktikan nanti."

Aku mulai mencatat, menyusul sampai catatan terakhir Radina. Kita mulai dengan start yang sama.

"Udah?" Tanyanya, "Aku dikte saja ya, biar sama, biar adil. Gak boleh curang, awas loh!"

"Curang itu sebagian trik dari orang-orang cerdas." Jika tidak curang, mana mungkin aku bisa menang dari kamu, mustahil. Kalimat terakhir aku suarakan dalam hati saja.

"Iya aja deh. Siap ya? Kita mulai" Dia mulai bersiap dalam posisi ibu jari dan jari telunjuk mengapit bolpoint yang sebelumnya tergeletak di atas bukunya. Aku juga ikut bersiap, jangan sampai kalah start dari dia.

Radina mendikte beberapa kata, langsung aku catat. Tapi sayangnya, sebelum aku selesai dia selalu lebih dulu selesai. Aku coba percepat gerakan tangan ku, tapi masih saja dia yang lebih dulu selesai.

Dua nomor aku catat dalam balapan tanpa curang. Di nomor selanjutnya, mulai ku lancarkan trik-trik jahil sekaligus curang. Mulai dari menggoyangkan meja, supaya pergerakan tangannya tak bisa cepat, sentilan ke bolpointnya, menyenggol tangannya, dan trik lainnya yang bisa mengurangi kecepatan menulisnya.

Hasilnya tak berubah. Tetap saja dia yang menang, dia yang lebih dulu selesai. Sebenarnya, trik jahil dan curang itu jadi senjata makan tuan untuk ku. Ya, terang saja bukan, aku semakin nyata kalah telak.

Setelah 5 nomor kami catat, dan tentu saja dia yang lebih dulu selesai. Selisih waktunya memang tak jauh, tangannya berhenti bergerak 4-5 detik kemudian tangan ku menyusul. Tapi tetap saja dia yang di anggap menang.

"Sudah puas kalahnya, Ham?" Dia tertawa mengejek. Aku tak terima kalah begitu saja, "Ah licik kamu. Banyak kata yang di singkat gitu, pantesan cepat."

Dia mendelik, sepertinya tak peduli apa yang aku katakan. Sombong sekali dia, baru saja menang balap mencatat, apalagi kalau-kalau menang balap karung, mugkin sampai menengadah wajahnya akibat terlalu sombong.

Jiwa ku yang tak ingin kalah terus saja mencibir Radina. Aku tak terima kalah dari wanita, apalagi dari seorang Radina yang mungil.
"Ayo, balap lagi." Tantang ku. "Oh, siap. Siapa takut!" Jawabnya.

Pak Iwan, guru Sejarah, tak bisa masuk kelas. Ketua kelas bilang, sedang ada acara keluarga wisudaan anak bungsunya. Bagus sekali, ini waktu yang tepat untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkan Radina. Bagaimanapun caranya, jujur atau curang sekalipun. Lihat saja.

****

RetrouvaillesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang