#16 Salahku

22 2 0
                                        

Hampir saja telat sepersekian detik masuk gerbang, yaa memang biasa aku hampir terlambat. Tapi hari ini penyebabnya beda, bukan lagi karena nongkrong di warkop atau di taman kota. Semalaman suntuk aku pertimbangkan apa yang Rendi katakan kemarin. Ini penting, agar aku bisa menentukan maju atau mundur, berjuang atau menyerah.

Hasilnya aku bangun kesiangan, dan sejak membuka mata sudah aku putuskan untuk tidak menyerah. Jika si Rendi bertekad untuk mendekati Radina, maka aku bertekad untuk tidak melepaskan Radina. Adil, bukan?

Aku tak peduli pada akhirnya siapa yang akan bersama Radina, yang penting aku sudah berjuang demi rasa yang ada. Biarkan Radina yang tentukan aku atau si Rendi yang harus mundur. Maka untuk sekarang aku akan tetap bersama Radina.

Seperti biasa, ku tempati tempat favorit di samping meja Radina.

"Radina, pinjam catatan matematika punya mu."
"Buat apa? Kan gak ada tugas."
"Nyalin tugas minggu lalu."
"Minggu lalu? Tugas yang mana? Bukannya udah, ya?"
"Bawel, pinjemin aja kenapa?"
"Yee, nyolot. Harus jelas dong. Masih trauma nih minjem buku sampe sebulan gak balik-balik."
"Ahh, masa lalu itu. Pokoknya nanti pulang sekolah, gue ambil. Ingetin ya, kalo gue lupa terus pulang duluan, susul aja di warung perempatan depan."
"Harus banget? Sekarang aja bawa kalo gitu."
"Menuhin tas kalo dibawa sekarang. Pokoknya nanti pulang sekolah, harus! Soalnya harus besok banget dikumpulinnya."
"Hmm."

Begini saja aku sudah bahagia, cukuplah tempat favoritku ini hanya untuk ku bukan untuk orang lain. Apalagi untuk si Rendi itu, tidak akan aku relakan. Terlalu naif memang, tapi beginilah aku saat sudah menjatuhkan hati pada seorang wanita.

Sejak aku duduk di samping meja Radina, aku sudah sadar bahwa aku tak lepas dari pengamatan si Rendi. Biarkan saja, toh memang dia siapa? bukan bapaknya Radina, saudara juga bukan, apalagi pacarnya, bukan banget.

Sampai jam istirahat ku habiskan waktu di samping meja Radina. Tak ada yang mempermasalahkan aku duduk di sana, termasuk guru Matematika dan Akuntansi. Mereka sudah terbiasa mungkin melihat aku duduk di sana.

Bukan aku tak menghargai guru, 2 pelajaran itu memang mengacu pada buku paket dan tentu saja aku tidak akan punya buku paket. Karena itu lah aku duduk di samping meja Radina, seperti pepatah sambil menyelam minum air, belajar iya, dekat dengan Radina iya.

"Ingetin gue, Radina. Bubar kelas, langsung kasih ke gue, oke?"
Satu tangannya terbuka di depan wajahku, "Goceng?" Lalu dia tersenyum.
Ku rogoh saku celana ku, "Nih, gue kasih gocap." Selembar uang 50 ribu ku sodorkan padanya, saat akan dia ambil, ku ambil lagi uangnya. "Eits. Tapi nanti, kalo gue udah kaya."
Wajahnya yang ceria langsung berubah jadi cemberut, "Rese, lo!"

Lucu memang, kebiasaan Radina saat aku suruh ini itu pasti saja "goceng", tapi jika benar-benar aku berikan uang 5 ribu, dia kembalikan lagi. Katanya, cuman bercanda. Begitulah, Si aneh Radina.

Perutku sudah meronta, perlu di isi dengan nasi dan kawan-kawannya. Seperti biasa, warung belakang adalah tujuan ku dan Tole untuk makan.

Ternyata warung belakang sudah cukup ramai yang makan dan merokok. Bukan jadi masalah jika ramai seperti ini, justru lebih semangat karena banyak dari kelas lain. Biasanya jika sudah kumpul antar kelas begini, ujung-ujungnya tanding futsal.

Aku laki-laki normal, dan penggila futsal. Tentu saja tidak akan menolak ajakan futsal dari siapapun, kapanpun dan dimanapun. Bahkan, akan lupa waktu meskipun hanya membahas tentang futsal. Dan akan lupa dunia jika sudah mengejar bola.

Seperti sekarang ini, lupa waktu sampai bel pulang aku tak kembali ke kelas. Tole juga entah lupa waktu atau memang ingin membolos, dia tak mengingatkan ku untuk kembali ke kelas.

"Bubar sekolah langsung futsal, mantap kayaknya."
"Siap, dimana? Asli, gue langsung otw ngambil sepatu."
"Mantep, Ham. Nanti gue kirim alamat tempatnya."
"Oke." Semangat 45 jika sudah begini, "Le, balik kelas. Bawa tas langsung cabut."
"Siap."

Tanpa banyak berpikir dan kebetulan sekali kelas sedang kosong tak ada guru, maka aku dan Tole langsung pulang. 15 menit lagi bel pulang juga berbunyi, tak ada salahnya pulang lebih awal.

Sebelum benar-benar pulang ke rumah, ku sempatkan sekedar jajan minuman di warung perempatan jalan. Sudah semacam tradisi atau kebiasaan mungkin, sekalinya tidak mampir rasanya tak enak hati pada yang lainnya.

10 menit kemudian, perempatan mulai ramai dengan motor, angkot dan pejalan kaki dari arah sekolah, tandanya bel pulang sudah berbunyi. Waktunya aku untuk pulang ke rumah, tapi baru saja ku nyalakan motor pengganti si baby blue, di jalan arah ke sekolah kerumunan orang-orang makin ramai, klakson kendaraan saling bersautan.

"Le, ada apaan tuh? Rame bener."
"Paling ada yang ketabrak."

Aku paling malas jika sudah berhubungan dengan kecelakaan. Malas saja, berdesakan demi melihat orang yang berlumuran darah, bagus kalau nolong, tapi kebanyakan orang hanya jadi penonton gratisan. Disana juga sudah banyak orang, pasti sudah banyak yang menolong.

****

Pagi ini, bangun ku lebih pagi dari biasanya. Terlalu lelah karena futsal selama 3 jam, tidur ku jadi nyenyak dan bisa bangun lebih pagi. Aku baru ingat tugas matematika yang hari ini harus aku kumpulkan dan baru aku ingat juga buku catatan Radina tidak ku pinjam saat pulang sekolah kemarin. Pagi-pagi sudah sial saja aku ini.

Buru-buru aku siap-siap, berangkat ke sekolah di pagi buta demi tugas matematika. Semoga saja Radina membawa buku catatan matematikanya, kalau tidak maka matilah aku. Tugas ini menjadi salah satu syarat penting untuk UAS nanti, jika tidak aku kumpulkan hari ini aku tidak akan ikut UAS.

Aku lupa, dan apa Radina juga lupa? Sudah ku bilang kalau aku pulang lebih awal dia harus menyusul ke warung perempatan. Ah, ini salah ku juga. Terlalu bersemangat untuk futsal, aku melupakan hal yang lebih penting.

Kelas masih kosong, memang masih pagi. Sampai pukul 06.30 kelas masih kosong, tidak seperti biasanya. Radina juga tak kunjung datang, padahal dia sangat dibutuhkan saat ini. 15 menit sebelum masuk, baru lah kelas mulai ramai. Anehnya, Radina belum juga datang padahal biasanya dia selalu datang paling pagi.

Bugh!!!

Pipi kanan ku terasa panas, kebas dan sedikit perih. Satu bogem mentah tepat di sana.

Dia tarik kerah baju ku, napasnya kasar dengan muka merah padam, aku bisa melihat amarah di manik matanya, "Brengsek, Lo! Kalo bukan karena Lo, Radina gak bakal ketabrak dan masuk rumah sakit sekarang! Demi Lo, demi buku tipis yang mau lo salin, dia terbaring lemah disana!"

Dia lepas kerah baju ku dengan kasar bersamaan dengan lemparan buku catatan, lalu pergi meninggalkan kelas. Aku hanya melongo, merasakan kebas bekas pukulannya. Terlebih aku tak mengerti apa salah ku sampai-sampai dia menghajarku begini. Aku juga tak mengerti apa yang dia katakan, Radina kecelakaan dia terbaring lemah di rumah sakit demi aku? Hey! Radina kecelakaan?

Kesadaran ku baru kembali, seisi kelas sedang menatapku. Aku belum mengerti, apa sebenarnya yang terjadi?

"Tari!" Ku hampiri Tari, "Maksudnya apa ini? Kenapa si Rendi tiba-tiba ngehajar gue? pake bawa-bawa si Radina lagi?"

"Ham, yang Rendi bilang itu bener. Kemarin, Radina minta anter gue buat ngasih buku matematikanya ke Lo, tapi pas di perempatan ada angkot yang nambrak Radina." Jelas Tari. "Kemarin keadaannya sempat kritis karena kehilangan banyak darah. Gue udah bilang besok aja kasih ke Lo nya, tapi Dina bilang Lo butuh banget sama buku itu biar Lo bisa ikut UAS, Ham."

Mendengar penjelasan Tari, rasa kebas dari pukulan Rendi menghilang begitu saja. Ada yang lebih sakit dari sekedar pukulan tangan, sampai sesak karena sakitnya.

"Bego! Terus sekarang dia rumah sakit mana?"
"Di rumah sakit Kota."

Tanpa pikir panjang, ku ambil kunci motor dan secepatnya ke rumah sakit kota. Ku abaikan teriakan satpam di gerbang sekolah, bodoh amat dengan satpam sekolah, bodoh amat dengan hukuman nantinya, bodoh amat dengan syarat UAS. Aku harus tahu keadaan Radina, jangan sampai dia kenapa-kenapa.

Ini salah ku, ini memang salah ku. Dan sampai terjadi sesuatu pada Radina, aku tidak ada pernah memaafkan diri ku sendiri.

****

RetrouvaillesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang