#14 cukup begini

16 2 0
                                    

Ruangan ini terlalu sempit untuk menampung banyak orang, padahal seisi ruangan sudah dikosongkan supaya bisa leluasa menerima tamu. Acaranya memang sederhana, tapi karena rekan kerja Bapak tak bisa di hitung jari banyaknya, maka beginilah jadinya.

Iya, hari ini pernikahan Bapak dan Bu Mira. Pernikahan sederhana tanpa sewa gedung, dekorasi mewah, dan katering mahal. Tak banyak tamu yang di undang, tapi tetap saja tamu berdatangan membuat pengap ruang tamu rumah Bu Mira yang menjadi tempat resepsi ini.

Setelah mendengar perkataan Bu Mira waktu itu, perlahan hati ku mulai luluh, pikiran ku mulai terbuka. Demi Bapak, ku hadirkan ruang kecil dalam hati ku untuk Bu Mira tanpa menggeser tempat khusus milik Mama.

Mama juga setuju, ini salah satu faktor penguat aku setuju. Lewat mimpi, Mama bicara pada ku seolah-olah aku benar-benar bertemu dengan Mama. Dalam mimpi itu, Mama terlihat begitu cantik dan berseri-seri, dia bilang aku tak boleh egois hanya untuk kebahagiaan ku sendiri. Kebahagiaan Bapak adalah kebahagiaan aku dan kebahagiaan Mama juga, begitu katanya.

Teman-teman di sekolah tidak ada yang tahu bapak menikah hari ini, Radina juga tak ku beritahu. Kak Nisa yang meminta izin langsung ke wali kelas ku. Sengaja tidak izin lewat Radina, karena aku yakin jika alasannya bukan sakit dia akan menanyakan alasan aku izin.

Bukan maksud menyembunyikan, hanya saja cari waktu yang tepat supaya yang lain tak perlu tahu. Apalagi Radina sedikit banyak ikut meyakinkan aku untuk membuka pikiran agar tak egois. Ah, memang luar biasa gadis mungil itu.

Dari banyak hal yang dia berikan, banyak pula sikapku yang berubah. Banyak warna yang sudah Radina berikan dalam kelamnya hidup ku waktu itu. Jika saja Tuhan tak menghadirkan Radina di saat-saat terpuruk ku, mungkin aku tak akan bisa bahagia, bahkan sekedar senyum saja mungkin mustahil.

Aku tahu, Radina sudah menjadi bagian dari hidup ku. Aku sadar itu, bahkan jika perlu dikatakan aku sudah menyukainya, memang benar. Hanya saja setiap kali rasa ini tumbuh, selalu ku tumpas habis-habisan.

Bukan karena apa-apa, pikiran negatif ku selalu lebih dominan setiap kali memikirkan dia. Aku menyukainya, tapi belum tentu dia menyukai ku. Meskipun dulu Nanda pernah bilang Radina menyukaiku, itu bukan jaminan bahwa Radina memang punya rasa yang sama dengan ku.

Aku tak ingin mengambil resiko yang berat. Jika dengan keadaan seperti ini saja aku bisa disampingnya, tertawa bersamanya, mendapat beberapa petuah darinya, mendengar celotehnya dan aku bahagia karenanya. Aku pikir itu sudah lebih dari cukup. Ketimbang kita pacaran, beberapa bulan kemudian bertengkar, putus dan pada akhirnya saling berjauhan.

Biarlah rasa ini ada tanpa perlu di utarakan, biarkan hanya aku yang tahu. Bila sudah waktunya bersama, aku yakin aku dan Radina akan bersama tanpa akan ada yang mampu memisahkan. Baiklah, aku akui dan tidak akan aku elak lagi, bahwa aku memang menyukai Radina, mencintainya begitu mungkin.

***

Aku tidak mengerti kenapa harus ada gugup saat ini setelah sekian lama mengenal Radina, geli sendiri aku. Apa harus ada gugup setelah aku mengakui rasa ku pada dia? Hanya mengakui, bukan menyatakan. Lucu sekali.

Bukan Ilham namanya jika harus gugup menghadapi seorang Radina. Apalagi ciut hanya gara-gara ditanya soal kemarin tidak masuk sekolah. Abaikan saja gugup tak jelas ini, jangan sampai terpengaruh. Dan yang paling penting jangan sampai salah tingkah, macam bocah saja.

"Kemarin alfa lagi?" Tanya nya, dengan sedikit menintimidasi.
"Kata siapa?"
"Tuh, di buku agenda kamu alfa. Lagian, tumben gak kirim pesan. Jangan-jangan kamu bolos, iya kan?" Tuduhnya.

"Sembarangan." Ku lihat sekitar, sedang sibuk dengan dunianya masing-masing. "Kemarin nikahan Bapak."

"Hah? Asli?" Matanya membulat, wajahnya terlihat begitu antusias.
"Iya."
"Kenapa nggak bilang dari kemarin, sih? Kalo tahu dari kemarin aku bisa nyiapin kado, atau apalah gitu-,"
"Gak usah, gak perlu. Nanti aja kalo aku yang nikah, itu baru wajib ngasih kado." Kadonya kamu jadi istri ku, bisikku dalam hati.

Begini saja sudah cukup, tanpa ikatan, tetap bebas kemana pun, tanpa terbelenggu, tapi saat bersama dia aku merasakan bahagia yang sama selayaknya mereka yang saling mengikat. Itu yang aku rasakan, entah bagaimana dengan Radina.

"Ham, Kenapa kamu bisa berubah pikiran?"
"Ya bisalah."
"Iya, bisa kenapa? Waktu itu bersikukuh gak bakal setuju sampai kapan pun, kan?"
"Yaa... gitulah. Intinya akal sehat gue masih jalan."
"Bagus deh. Aku ikut bahagia dengernya."

Senyum merekah di wajahnya. Sungguh, senyuman paling manis yang Radina miliki yang pernah aku lihat selama ini. Entah efek dari rasa yang aku akui atau memang benar senyumnya yang tulus jadi manis dengan sendirinya. Sampai-sampai tanpa sadar bibir ku ikut melengkung.

"Ke warung dulu, lapar."

Aku harus bisa mengontrol sikap ku sekarang. Apalagi dengan adanya rasa ini, semua yang Radina lakukan menjadi pusat perhatian ku. Apa yang Radina katakan selalu terdengar indah di telingaku. Lebay memang, tapi itu faktanya karena aku yang merasakannya.

Aku berharap, apa yang dulu Nanda katakan adalah fakta yang nyata. Agar aku dan Radina saling menyimpan rasa tanpa menyatakan tapi bisa bahagia bersama. Biarkan aku jadi pecundang untuk saat ini, menikmati kedekatan dengannya tanpa perlu menghadirkan rasa.

Aku dan Radina bisa senyaman ini dengan tanpa ikatan, tapi seperti terikat dengan sendirinya. Entah karena terbiasa atau karena aku dan dia memiliki rasa yang sama.

Biarkan aku menikmati keadaan ini, jangan pernah paksa aku untuk melangkah lebih maju atau melangkah mundur tanpa Radina. Sebab saat aku melangkah maju tanpa dia, aku akan kehilangan dia. Dan saat aku melangkah mundur, aku tak akan bisa menariknya mundur bersama ku.

Tak akan ada yang mengerti, aku yakin. Terkadang pemikiranku memang seabsurd ini. Hanya mementingkan saat ini aku bahagia, sudah cukup. Tak perlulah ribet ini itu yang akhirnya membuka pintu jarak yang mengurung diri sendiri.

****

RetrouvaillesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang