#7 ABC lima dasar

22 8 1
                                    

Sudah satu minggu hari-hari ku tak berwarna, datar-datar saja. Tak ada balap tulis, tak berdebat hal aneh, tak ada cerita horor, tak ada berbagi jawaban lks. Dan kalimat terakhirlah yang paling menyulitkan.

Selama tak ada Radina, Tole lah yang menjadi andalanku. Dia yang pinjam lks pada Rendi, satu-satunya murid laki-laki yang otaknya masih berjalan. Tapi jangan terlalu banyak berharap pada dia, bukan Tole namanya jika setiap jawaban dia ringkas supaya lebih pendek, akibatnya nilai pun tak seberapa.

Seperti biasa, aku datang 5 menit sebelum bel masuk. Penyakit kesiangan ku masih belum sembuh, jangan aneh lagi. Sejak meninggalkan si baby blue di parkiran, tangan ku sibuk memasang dasi. Sialnya, setelah selesai ku buka lagi ikatannya, belit lagi, masih kurang pas, buka lagi, benar-benar buang waktu.

Terlalu fokus pada dasi yang tak kunjung terpasang rapi, aku baru sadar sudah ada di samping meja ku sendiri. Bel sudah berbunyi sejak tadi, sebagian penghuni kelas sudah hilang menuju lapangan. Ku simpan ranselku, lalu fokus lagi pada belitan dasi ini, sialan.

Setelah dasi selesai terpasang dengan rapi, aku mulai melangkah menyusul barisan di lapangan. Tanpa sengaja, mataku menangkap ransel berwarna hitam di kursi favorit Radina. Pemiliknya sudah menghilang dalam barisan di lapangan.

Senyum ku merekah begitu saja, rasanya semacam terang setelah gelap, pelangi setelah badai, semangatku tiba-tiba hadir lagi. Ini baru efek dari ranselnya, bagaimana dengan efek melihat orangnya? Atau bahkan senyumnya? Bagiku, upacara bendera hari ini benar-benar penuh semangat.

Hal pertama yang ku tuju saat masuk ke kelas adalah meja Radina. Dia sudah duduk manis di sana, sesekali tersenyum menanggapi obrolan teman satu mejanya. Tapi ada yang beda dari wajahnya, bibirnya masih pucat, sorot matanya masih lesu, nampak sekali orang sakitnya.

Rasanya ada sesuatu yang mengusik hati ku, seperti rasa senang, bahagia dan semacamnya lah. Kedua sudut bibir ku tak bisa bertahan di posisinya, selalu saja tertarik ke atas hingga tercipta lengkungan senyum yang entah apa sebabnya.

"Ehh, Radina. Masih hidup ternyata, ku kira sudah--"

"Sembarangan! Kamu doain aku mati?" Jawabnya ketus. Meski dengan wajah pucat ternyata dia masih bisa marah.

"Sok tahu!"

"Itu tadi kamu hampir doain aku mati, kan? Udahlah ngaku aja." Tangannya dia kibaskan di depan wajahnya sendiri, "Harusnya kamu doain cepat sembuh dan gak sakit lagi, ini malah doain mati. Jahat banget, sih."

Aku terkekeh mendengarnya, "Ohh, aku baru tahu loh makhluk sejenis kamu bisa sakit juga?"

Matanya menatap tajam ke arah ku, tajam tapi tak ada hal yang menakutkan dari tatapannya. "Jangan salah, aku juga manusia. Yaa walaupun limited edition dan satu-satunya di dunia." Tuh, sifat pedenya keluar, dan ini Radina yang ku kenal.

"Oh ya? Memang sakit apa manusia limited ini?"

"Yaa gitulah, sakit kurang makan." Kini dia tersenyum, meski senyum yang dipaksa. Sorot matanya berubah menjadi sendu, apa aku salah bicara?

"Memangnya di rumah mu sudah tak ada nasi? Tak ada beras? Atau tak ada kompor?" Aku terkekeh sendiri mendengar perkataan ku, "Nanti lah aku kirim satu karung ke rumah mu."

"Yeeyyyy, ada lah. Buanyak!" Dia mendelik, sedetik kemudian sendu lagi. "Ya gitulah, gak nafsu aja. Hasilnya diinfus deh di klinik, hehe."

Aku tak bicara lagi, ku beri kesempatan untuk dia bicara semaunya. Dan benar saja, dia ceritakan sejak pertama dia masuk klinik sampai keluar klinik 2 hari yang lalu. Ada nada bersalah yang ku tangkap dalam bicaranya. Dan dia bilang, menyesal karena tak bisa menjaga dirinya sendiri, pada akhirnya malah merepotkan orang tuanya.

"Nah, sadar diri, kan? Nasi ada, lauk ada, Apa susahnya, sih?" Hanya itu yang bisa aku katakan. Dia hanya mengangguk, tak menjawab lagi karena Pak Tedy sudah berada di ambang pintu kelas.

Setelah setengah waktu istirahat ku gunakan untuk makan di kantin belakang sekolah, sisanya ku habiskan di samping meja Radina. Informan kelas bilang, mata pelajaran setelah istirahat hanya diisi dengan tugas lks. Tugasnya juga tak banyak hanya 30 nomor latihan soal di akhir bab, dikumpulkan di akhir jam pelajaran.

Tugasnya tak banyak, mungkin setengah jam saja sudah beres, jika Radina yang mengisi tentunya. Aku hanya menulis apa yang Radina tulis, cepat atau lambat tergantung Radina saja.

Sesekali ku ceritakan balap motor cross yang ku tonton kemarin. Dia menimpali dengan "ohh." "Hmm" "oh gitu ya" "seru tuh". Ku ajak balap tulis, dia tak menggubris sama sekali. Dia terlalu fokus mencari jawaban setiap nomornya, sampai pada akhirnya benar-benar setengah jam latihan soal terjawab semua. Ini lah kekuatan Radina, baru lepas infus saja dia sudah bisa mengisi lks dalam sekali kedipan mata.

Kini ada 5 orang di meja Radina, Nanda dan Leni ikut bergabung. Aku masih betah saja meskipun hanya aku sendiri diantara 4 perempuan. Banyak hal yang kita bicarakan, mulai dari artis -rasanya semacam bergosip ala ibu-ibu-, sampai pada jari tangan Radina yang tak sesuai dengan wajah dan badannya yang mungil.

Bicara tentang jari tangan, aku jadi ingat permainan ABC lima dasar yang sering aku lakukan dengan Shania, keponakan ku. Walaupun dengan bicara yang masih belepotan ala anak paud, tapi tetap saja bisa menghadirkan tawa dari sikap polosnya.

"ABC lima dasar aja lah, yok?" Mendengar ucapan ku, mereka hanya saling menatap. Aku hanya ingin merubah suasana yang monoton gosip ini menjadi sedikit lebih ceria, "Biar gak gosip terus bahasannya. Udah ayok, jangan banyak mikir."

Radina tertawa, yang lain juga ikut tertawa. "Bolehlah, boleh." Katanya.

Putaran pertama dari kelompok nama buah. Dengan inisial huruf L. Telat menjawab akan dapat hadiah jitakan dari setiap pemain. Aku yang pertama menjawab, Siska-teman sebangku Radina- yang kedua, lalu selanjutnya Nanda . Radina masih berfikir, tak ada yang dia ucapkan, yang ada hanya cengengesan karena kebingungan.

Kita tunggu sampai 10 detik, dia mulai panik dengan mengabsen semua nama buah, tapi apa yang dia katakan tak ada yang berinisial huruf L. Aku tertawa, kemalangan sedang berada di dekat mu Radina.

Otomatis tiga jitakan mendarat di kepalanya. Bukan marah yang muncul dari raut wajahnya, melainkan tawa lepas yang bebas, tulus dari hatinya, aku juga ikut tertawa melihatnya.

Putaran selanjutnya, nama hewan berinisial huruf M.

"Mamoth"
"Monyet"
"Marmut"

Otak ku tak bisa berpikir hewan apa yang di awali huruf M, blank begitu saja. Ah, baiklah aku pasrah saja. Maka jitakan mendarat di kepalaku, tak seberapa sakitnya, aku yakin mereka tak menggunakan tenaga untuk itu.

Selain jitakan, ternyata punggung tangan kanan ku juga mendapat cubitan yang cukup perih, sampai meninggalkan jejak memerah disana. Ku tatap Radina, meminta penjelasan atas apa yang dia lakukan, dia hanya nyengir kuda.

"Hukuman buat kamu cubit tangan aja biar lebih berasa 'sakit'nya." Ada penekanan saat dia bilang 'sakit'. Entah apa maksud dan tujuannya aku juga tak mengerti.

Sampai akhir permainan, saat aku yang tak bisa menemukan hewan berinisial huruf tertentu, hukuman yang Radina berikan pada ku hanya cubitan di punggung tangan kanan atau kiri. Seperti yang dia katakan, memang lebih sakit cubitan Radina daripada jitakan Nanda dan Siska, lihat saja punggung tanganku sampai terlihat jelas jejak cubitannya.

Beginilah saat aku berada di samping meja Radina, bersama Radina, hal konyol dan kekanak-anakan sekalipun bisa aku lakukan tanpa canggung dan malu. Aku bisa menjadi diriku sendiri disini, bebas mengekspresikan apapun. Karena seaneh apapun diriku, Radina tak pernah melangkah pergi menjauhi ku.

RetrouvaillesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang