#3 nomor telepon

30 8 2
                                        

Absensi ku semenjak kabar duka semakin memburuk. Pasti ada saja jatah sehari atau dua hari tak masuk sekolah dalam setiap minggunya. Aku belum menemukan semangat hidup, apalagi semangat belajar.

Dua bulan setelah kepergian Mama, hidup ku benar-benar kacau. Main PS sampai begadang, nongkrong di warkop, pergi pagi pulang tengah malam, setiap hari bangun kesiangan, pura-pura sakit supaya Kak Nisa percaya aku tak bisa masuk sekolah, atau kalau keseringan pura-pura sakit, terpaksa aku bolos saja.

Itu semua semata-mata karena aku sedang mencari semangat hidup ku agar aku bisa menahan diri dari godaan menusuk dada sendiri atau gantung diri. Rasa bersalah itu kadang menikam, semakin hari semakin menyeramkan. Sudah coba ku lakukan bicara pada mama di tempat peristirahatan terakhirnya seperti waktu itu, tapi hasilnya nihil. Aku malah semakin rindu pada mama.

Aku mohon, jangan anggap aku laki-laki cengeng. Siapapun kamu, polisi, tentara, wonder woman, superman, bahkan preman pasar bertato naga pun pasti akan hancur jika dihadapkan pada kepergian ibunya. Butuh waktu lebih untuk bisa mengais serpihan tatanan hidupku yang amburadul ini.

Kak Nisa tetaplah Kak Nisa, dia Kakak ku dan tak mungkin bisa menjadi sosok mama di hidup ku. Dan lagi, Kak Nisa tak terlalu banyak membantu pemulihan hati ku. Memang seharusnya aku tak egois, kak Nisa tentunya sama hancurnya dengan ku, hanya saja dia lebih bisa mengendalikan hatinya.

Karena absensi ku yang kacau, hari ini tak tanggung-tanggung, 3 guru menasehati yang di bungkus dalam kemarahan. Terlalu banyak alfa katanya. Sebenarnya, aku tak punya nomor telepon teman satu kelas yang bisa di percaya untuk menitipkan kabar sakit atau izin ku saat tak bisa masuk sekolah. Aku memang punya nomor telepon Tole, tapi jangan terlalu banyak berharap pada manusia absurd seperti dia.

Soal surat sakit, terlalu sulit. Di sekitar rumah kak Nisa tak ada anak sebaya yang satu sekolah dengan ku, jadi sulit untuk menitipkan surat sakit. Akhirnya alfa menghiasi absensi ku 2 bulan terakhir ini.

Sempat terbersit dalam benak ku untuk minta nomor telepon Radina, tapi aku urungkan, gengsi. Ya, sudah lah, artinya jatah malas sekolah harus di kurangi 50%.

Mata pelajaran yang ketiga berubah jadi jam kosong tanpa tugas. Ketua kelas bilang guru-guru sedang sibuk rapat. Inilah syurga bagi para pemalas seperti ku.

Dan di sinilah aku berada, di samping meja Radina, bercerita tentang apa saja, tentang hutan angker di kampung ku, tentang makhluk astral yang hanya mitos, tentang legenda kampung ku, dan cerita mistis lainnya. Sebagian memang cerita dari mulut ke mulut, sebagian lagi cerita bualan karya mulut ku sendiri. Tapi Radina tetap saja mendengarkan, bahkan dia terlihat menyukai cerita ku.

Jika aku sudah kehabisan akal untuk bercerita, giliran Radina yang bercerita. Entah memang benar atau hanya cerita buatan dia saja, tapi di kampungnya juga ternyata banyak hal mistis, sampai terkekeh aku mendengar dia bercerita.

Dia juga bercerita tentang pengalaman dia yang katanya pernah mendengar suara hantu saat dia masih Sekolah Dasar. Aku tak kuasa menahan tawa mendengar itu. Ya, mana mungkin ada suara hantu di siang bolong?

"Ish, ini asli Ham, beneran. Suaranya mirip anak ayam yang baru netas, tapi itu bukan anak ayam." Dia berusaha meyakinkan aku, tapi tetap saja aku tak percaya.

"Iya, itu hantu anak ayam yang meninggal pas baru aja menetas dari cangkangnya, jadi suaranya juga suara anak ayam." Tawa ku benar-benar meledak kali ini. Asli, pengalaman dia benar-benar aneh.

"Ya kali anak ayam gentayangan. Ini tuh, hantu yang menyerupai anak ayam, Ham. Percaya aja kenapa, sih?" Sebenarnya dia juga terkekeh mendengar ucapan ku, tapi dia tetap harus mempertahankan argumennya sendiri.

Aku, tentu saja tak mau kalah. Mana ada kan hantu berubah jadi anak ayam? Gak menakutkan sama sekali. "Gak akan ada yang takut, kalo hantunya berubah jadi anak ayam. Yakin deh, pasti milih di bawa buat di piara."

Pipinya mulai memerah, nahan malu sekaligus marah. "Tapi, aku takut. Aku yakin kalo kamu lihat dan dengar langsung pakai mata dan telinga kamu sendiri, kamu juga bakal ketakutan."

"Ya jelaslah cewek penakut, pasti takut sama yang begituan." Skak mat. Aku tertawa lagi, sampai terasa sakit perut ku. Dia tak bisa lagi menjawab, mungkin apa yang ku katakan memang benar.

Begini jika sudah duduk di samping meja Radina. Selalu terjadi sesuatu di luar dugaan ku. Awalnya, aku hanya mencari jawaban lks tapi ujung-ujungnya sakit perut karena tertawa. Awalnya, hanya minta penghapus ujung-ujungnya bercerita yang absurd. Awalanya, hanya ikut duduk saja sambil dengar curhatan Tari dan yang lainnya, ujung-ujungnya jadi cerita horor yang hantunya jadi anak ayam.

Ada saja yang bisa membuat aku tertawa. Hal-hal kecil yang bisa membangkitkan saraf-saraf tawa ku. Hal-hal aneh yang bisa menarik sudut bibir ku hingga bisa tertawa lepas. Sampai-sampai aku lupa jika aku telah kehilangan sesuatu yang berharga.

"Ham, boleh pinjam handphone mu?" Tangannya terulur di hadapan ku.

Seketika kening ku berkerut, "Untuk apa?" baru kali ini Radina bicara tentang handphone, "Kenapa dengan handphone punya mu sendiri?"

Dia tersenyum, "Boleh ku pinjam tidak?" Tangannya semakin terulur di depan wajah ku. Seperti yang kalian lihat, dia tersenyum bukan memaksa, tapi anehnya tangan ku bergerak sendiri merogoh saku celana untuk mengambil benda kotak canggih itu, lalu ku simpan di telapak tangannya yang masih terbuka di depan wajahku.

Dia langsung membawa handphone ku, "Mau di apakan handphone ku?" Ibu jari tangannya mulai sibuk mengutak-atik, entah apa yang sedang dia cari. "Lagi cari apa, sih?" Dia tak menggubris ku sedikit pun, justru dia mulai mengetik, lima detik kemudian dia mengetik lagi. Apa mungkin dia mengirim sms dari hp ku? Memangnya handphone dia rusak? Sampai harus pinjam handphone ku?

"Nih, sudah. Terimakasih." Sambil tersenyum dia kembalikan lagi handphone ku. Langsung ku cek barang kali ada sesuatu yang aneh. Layar terakhir menunjukan kontak nomor handphone atas nama 'Radina Lucu'. Ku tatap wajahnya, seolah meminta penjelasan dari apa yang baru saja dia lakukan.

"Seandainya nggak bisa masuk sekolah, sms saja ke nomor ku. Pasti aku sampaikan. Kasihan absen mu, sudah sempit dengan huruf 'a'." Dia terkekeh dengan kata-katanya sendiri. Begitu rupanya, ku kira dia benar-benar mengirim sms dari handphone ku.

"Harus ya, namanya 'Radina Lucu' ?"

Dia tersenyum, lebih lebar dengan menunjukan deretan giginya, "Harus."

Aku hanya bisa tersenyum, tak bisa protes lagi. Sebenarnya untung buat ku, tanpa diminta dia memberikan nomor telepon dengan cuma-cuma. Dengan begini aku bisa bolos tapi absensi tetap aman. Luar biasa, terimakasih Radina.

***

RetrouvaillesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang