Sebenarnya bukan karena lapar bukan karena haus aku ada di sini, di warung belakang. Alasan utamanya untuk menenangkan hati ku supaya tidak keracunan senyum Radina yang manisnya tingkat overdosis. Aku jadi lemah begini setelah sadar rasa itu.
Warung sepi, hanya ada aku dan si bibi warung yang sibuk dengan penggorengan. Tole dan yang lainnya tidak ada di sini, mungkin sedang merokok di wc atau di warung samping.
"Bi, Tole ke sini?"
Ku ambil beberapa gorengan dan segelas air mineral.
"Iya, tadi makan disini. Tumben Nak Ilham ketinggalan? Biasanya barengan."
Saking seringnya ke warung belakang bersama si Tole, bibi warung ini bilang aku dan Tole seperti adik kakak yang sulit di pisahkan. Jelas Tole yang jadi Kakaknya karena badannya lebih tinggi dan besar dari pada aku. Baru kali ini aku tidak langsung mengiyakan ajakan Tole ke warung belakang, jadi yaa ketinggalan.
"Banyak tugas Bi. Wahh setumpuk."
Si Bibi senyum, memang baik dan ramah bibi warung ini. Sayangnya aku tak tahu siapa namanya, tidak aku tanya karena seringnya nanya harga makanan.
"Enggak makan, Nak Ilham? Tumben.""Enggak bi, nanti aja makan siang."
Saat sedang menikmati gorengan, seseorang menepuk pundak ku. Tanpa perlu menoleh aku sudah tahu itu pasti Tole.
"Darimana, Le?"
"Bukan Tole." Katanya, lalu duduk di samping ku. Spontan aku menoleh, ternyata memang bukan Tole.
Orang yang sepertinya belum pernah datang ke warung belakang markasnya para perokok. Rendi, tahukan siapa dia? Satu-satunya laki-laki di kelas yang otaknya masih berfungsi untuk memikirkan tugas-tugas. Mau apa dia kesini?
"Eh, Di. Kirain si Tole. Tumben jajan kesini?"
Masalahnya, warung belakang jarang di kunjungi murid lain yang bukan perokok. Aku bukan perokok, tapi Tole perokok dan karena ikut dengannya aku jadi termasuk murid yang nongkrong di markas para perokok.
Setahu ku Rendi juga bukan perokok, jika memang hanya beli makanan seharusnya dia beli di kantin sekolah saja yang jelas aman dari asap rokok, biasanya juga begitu. Artinya ada sesuatu yang mendesak dia untuk datang ke warung belakang, entah apa itu.
"Bukan mau jajan." Rendi sebenarnya bukan tipe laki-laki yang banyak basa basi seperti ku, tipe laki-laki cool yang tak banyak bicara. "Tapi, nyari lo, Ham."
Tumben?
"Ada apa? Ditanyain guru soal kemarin gak masuk? Kalo itu udah izin ke wali kelas."
"Enggak, bukan soal itu."
"Ohh, terus soal apa? Tugas kelompok? Atau uang kas belum dibayar?"
"Soal Radina."Hah? Radina? Apa masalahnya dengan Radina? Kenapa harus bahas Radina lagi, niatku ke warung belakang supaya tenang dari Radina.
"Loh, emang si Radina kenapa? Sebelum gue kesini dia baik-baik aja kayaknya."
"Gue to the point aja, Ham." Wajahnya yang datar terlihat semakin serius, aku jadi ikut tegang."Lo pacaran sama dia?"
What? Kenapa tiba-tiba petanyaan macam ini keluar dari mulut seorang Rendi?
"Jawab aja, biar gue gak salah langkah."
Asli, ini maksud dia apa sih? Aku semakin bingung sendiri. Masalah aku dan Radina terlalu berat jika harus aku ceritakan pada yang lain, tekad ku juga memang tak ingin siapa pun tahu tentang perasaan ku pada dia.
"Maksudnya?"
"Di kelas lo deket sama Radina, tapi di luar lo boncengan sama cewek lain. Seandainya lo gak serius sama Radina, akan lebih baik kalo lo kasih kesempatan buat yang lain bisa di samping dia.""Kapan gue boncengan sama cewek?"
Aku sedang tak terikat hubungan dengan perempuan mana pun, mana mungkin aku boncengan. Hubungan kakak adik dengan Kak Nisa memang iya dan tidak akan mungkin bisa putus. Tapi seingat ku, sudah lama aku tidak boncengan dengan Kak Nisa.
Dia tidak menjawab, hanya senyum sinis yang terlihat aneh.
"Gue suka Radina dari kelas sepuluh. Dulu gue gak punya nyali buat deketin dia dan saat gue ngumpulin nyali buat deketin dia, lo dateng halangin jalan gue, Ham."
"Hahh? Kenapa gak ngomong dari dulu?" Tanya ku, heran.
"Gue lihat dia bahagia sama lo, Ham. Gue mundur. Tapi pas gue lihat lo boncengan sama cewek lain, gue rasa dia lebih pantas gue perjuangin."
"Dia juga berhak bahagia tanpa lo sakitin. Seandainya dia tahu lo sama cewek lain, gue percaya dia bakal sakit hati, Ham. Lo, tega? Dia cuman mau bahagia, bukan disakitin."
"Lo pacaran sama dia? Kalo iya, gue mohon sama lo jangan pernah sakitin dia. Tapi kalo lo enggak serius, gue minta beri gue jalan supaya gue bisa bahagiain dia, yang bukan sekedar kebahagiaan semu."
Dia bangkit dari duduknya, lalu beranjak dari warung. Aku ternganga mendengar bicaranya yang panjang lebar. Baru kali ini aku dengar dia bicara sebanyak ini. Dan yang terpenting yang dia bicarakan adalah Radina.
Demi apapun ini persoalan Radina, hey Radina. Baru saja aku bahagia, salah tingkah, dan gugup di dekatnya. Baru kemarin aku akui aku menyukainya, apa iya harus aku kubur lagi rasa itu?
Dunia ku benar-benar terguncang karena perkataan Rendi, sungguh. Rasanya seperti tertampar kenyataan sekaligus tersungkur sampai mencium tanah. Bagaimana tidak, ucapannya membuatku seperti tak bernyawa. Bayangkan saja setelah terbang tinggi lalu di hempaskan langsung ke atas tanah. Sakit, bro.
Aku tak bersemangat kembali ke kelas, mungkin sampai bel pulang berbunyi baru aku akan kembali ke kelas. Rasanya aku jadi tak bernyali untuk bertemu dengan Radina, apalagi dengan si Rendi tengil itu. Ah, menyebalkan memang, hanya karena perkataan seorang Rendi si pendiam yang mendadak jadi banyak bicara karena Radina, aku jadi sebenar-benarnya seorang pecundang.
"Ham, balik kelas. Bengong aja."
Suara Tole membuyarkan lamunan ku, entah untuk apa dia ke warung belakang. Padahal lebih cepat jika dia langsung ke kelas, daripada ke tempat ini dulu."Eh, Le. Males gue, bolos aja lah sampe pulang."
"Gila, Lo. Ayok lah cepet."
"Males."
"Kenapa? Lagi cekcok sama cewek lo?"
"Cewek gue siapa?"
"Itu si Radina, cewek lo, kan? Udah jangan galau di sini, kayak cewek aja."
"So tahu, Lo."Dengan segala keterpaksaan ku tinggalkan warung belakang beserta si bibi yang masih sibuk di depan kompor. Semangat ku yang tadi luar biasa, sekarang menguap begitu saja. Suasana hati ku yang cerah ceria berubah jadi mendung sendu.
Bayangkan saja lah bagaimana rasanya saat senang-senangnya menikmati rasa yang tumbuh di dada, lalu di injak-injak sampai rasa itu layu hampir mati. Ingin ku marah, tangan saja sudah gatal ingin menghajar wajah datar milik si Rendi. Tapi otak ku masih bisa berpikir dua kali, terlebih apa yang di katakan Rendi sedikit banyak ada benarnya juga.
Aku tak ada hubungan apapun dengan Radina, aku bahagia dengan ini tapi aku tak pernah tahu apa yang Radina rasakan. Apakah dia bahagia dengan keadaan seperti ini ataukah tidak, aku tidak pernah tahu. Apakah dia merasa terhalang ataukah merasa terganggu karena kehadiran ku di sampingnya, akupun tidak tahu itu.
Dan seandainya Radina memiliki rasa yang sama dengan ku, aku yakin dia ingin rasanya terbalas bukan tak jelas macam sekarang. Dia pasti harap-harap cemas menunggu ku mengutarakan. Perihal ini, aku sudah bilang bahwa aku tak ingin aku dan dia sampai terikat dan akhirnya berpisah dan berjauhan.
Pertanyaan paling pentingnya adalah apakah Radina bahagia dengan ku? Apakah kebahagiaanya ada pada ku atau pada orang lain? Jika sudah begini, jalan mana yang harus aku ambil?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvailles
Fiksi RemajaBerawal dari senyum manis gadis mungil itu semangat hidupnya mulai kembali, hatinya yang gelap mulai mendapat cahaya dan hidupnya yang polos kini mulai berwarna.Tanpa dia sadar, gadis mungil itu telah menjadi candu baginya, senyumnya, tawanya, marah...