Malam ini ku habiskan waktu dengan berkeliling kota bersama si baby blue. Tujuan ku entah kemana, yang penting aku bisa menghirup udara segar daripada engap di kamar sendiri. Awalnya aku ajak Tole ke warkop tempat biasa, tapi dia sedang sibuk katanya. Aku tak terlalu nyaman jika ke warkop sendirian, aku juga tak tahu kenapa.
Pada akhirnya aku berhenti di taman kota. Karena ini belum terlalu larut, masih banyak orang disini, apalagi pedagang jagung bakar dan kacang rebus. Ku parkirkan si baby blue di ujung taman karena parkir di depan sudah penuh. Sebenarnya tak enak hati juga meninggalkan si baby blue di sana, terlalu jauh dari pengawasan. Berdoa sajalah, semoga si baby blue baik-baik saja sampai aku kembali.
Setelah memesan jagung bakar, aku duduk di salah satu bangku yang masih kosong. Cuaca malam ini cerah, bintang bertaburan di atas sana, lebih cantik lagi karena cahaya bulan purnama yang bulat sempurna. Aku selalu suka pemandangan langit di taman kota, selalu terlihat indah dan menakjubkan.
Setiap kali kesini, aku selalu ingat Mama. Sudah setahun lebih Mama pergi, aku benar-benar merindukannya. Diantara aku dan Kak Nisa, aku yang paling sulit dinasehati. Aku ingat betul bagaimana sulitnya Mama menasehatiku agar sekolah SMA di kampung saja.
Dulu, aku memang memaksa Mama dan Bapak agar aku sekolah SMA di kota. Awalnya karena melihat Rendi yang sekolah di kota dan karena Kak Nisa tinggal di kota, aku jadi semakin bertekat kuat. Sebenarnya Mama hanya ingin agar aku tinggal bersama Mama dan Bapak, menikmati masa muda ku bersama mereka sebelum aku hidup berumah tangga nantinya.
Keinginan orang tua memang tak pernah muluk-muluk. Jika bukan demi kebahagiaan anaknya, pada akhirnya Mama dan Bapak mengijinkan ku bersekolah SMA di kota dan tinggal bersama Kak Nisa. Mereka rela melepas anaknya yang masih belum tahu apa-apa ini demi kebahagiaan anaknya, mereka rela hanya bertemu satu kali dalam seminggu dengan ku. Ah, Mama dan Bapak memang luar biasa.
Pesanan jagung bakar sudah datang, ku nikmati bersama kerinduan pada Mama dan juga Bapak. Sedang apa Bapak di kampung?
Tak terasa malam semakin larut, taman semakin sepi, 2 jagung bakar sudah habis ku makan. Aku harus pulang sebelum Kak Nisa mengunci pintu rumah. Saat aku berjalan menuju si baby blue rasanya tak enak hati, seperti akan terjadi sesuatu pada ku. Aku harus bergegas sampai di rumah.
Saat di tempat terakhir kali ku parkirkan si baby blue, tempat ini kosong tak ada satu motor pun. Ku tanyakan pada pedagang kacang rebus di sekitar sini dan katanya parkiran ini sudah kosong dari satu jam yang lalu. Artinya beberapa menit setelah aku tinggalkan, sudah ada yang membawa kabur si baby blue. Aku baru ingat tak mengunci leher si baby blue. Celaka sudah.
Ku coba cari di parkiran depan, siapa tahu ada yang memindahkan, tapi tak ada. Ku tanyakan pada petugas parkirnya siapa tahu dia melihat si baby blue, tapi ternyata tidak. Ku coba cari di seantero taman kota ini, ku tanyakan pada setiap orang di sekitar parkiran tadi, tapi tetap saja nihil.
Sialan, padahal aku sudah merasa tak enak hati sejak pertama parkir di tempat ini, kenapa tidak aku pindahkan saja si baby blue? Arght, bagaimana jika sudah begini? Satu jam sudah terlalu sulit untuk di cari, jejaknya pun mungkin sudah jauh. Sial sial sial!
Ku hubungi Tole, siapa tahu dia bisa membantu ku. Seharusnya ku hubungi juga Kak Nisa, tapi aku harus coba cari dulu sebisa ku, jika tak juga kutemukan baru aku hubungi Kak Nisa. Aku tak ingin dia khawatir.
"Ham!"
"Le, bantu gue. Please, ini si baby blue, dia bagian dari hidup gue."
"Yaudah, ayok cari. Jangan diem aja."3 jam aku dan Tole berusaha mencari si baby blue, mencoba mencari di tiap-tiap dealer, di tempat jual beli motor, di tempat tukar tambah motor, di tepi jalan, di setiap penjuru kota. Tapi hasilnya nihil, si baby blue belum juga di temukan.
Pencarian malam ini harus berakhir karena sudah terlalu malam. Tole yang mengantar ku pulang, sepanjang jalan aku terus berpikir kemungkinan yang paling mungkin dimana keberadaan si baby blue sekarang. Arght! Kenapa aku seceroboh ini.
Sampai di rumah, pintu sudah terkunci, artinya ini benar-benar sudah larut. Kak Nisa membuka pintu, saat dia melihat ku tanpa helm dan tentu saja tanpa si baby blue, keningnya semakin mengerut.
"Motor kemana?" Katanya.
"Aku jelasin di dalam." Aku menerobos masuk ke dalam rumah, jaga-jaga jika sampai Kak Nisa mengeluarkan suara 8 oktaf miliknya."Ada apa, Ham?" Tanyanya, khawatir.
"Si baby blue hilang."
"Hah? Kok bisa? Hilang dimana?"Aku ceritakan semuanya pada Kak Nisa. Dia tak mengeluarkan suara 8 oktafnya, dia juga mengerti perasaan ku. Ini memang salah ku, tapi mungkin ini jalan takdir yang Tuhan berikan pada ku. Aku harus berpisah dengan si baby blue, berpisah begitu saja tanpa salam perpisahan. Rasanya lebih sakit daripada putus dengan Indah. Ternyata, begini rasanya patah hati.
Pagi harinya, aku tak bersemangat untuk sekolah. Bagaimana tidak, setiap hari aku selalu bersama si baby blue, tapi hari ini aku harus pergi tanpa si baby blue, mana bisa aku pergi. Kak Nisa sudah mengabari Bapak perihal si baby blue, Bapak bilang hari ini aku pulang dulu saja ke rumah Bapak, sekaligus membawa ganti si baby blue. Aku juga tidak tahu maksud Bapak pengganti si baby blue itu motor yang mana. Di rumah hanya ada motor yang selalu Bapak gunakan untuk kerja, masa iya Bapak berikan pada ku.
Radina mengirim pesan singkat karena aku tak masuk sekolah, aku bilang saja izin karena si baby blue menghilang. Dia pasti mengerti. Dia juga sudah tahu si baby blue adalah nama motor kesayangan ku sejak dari SMP. Ah, si baby blue memang motor paling setia.
Seperti perintah Bapak, hari ini aku pulang ke rumah Bapak dengan kendaraan umum. Biasanya aku pulang dengan si baby blue, tapi sekarang tidak, dimana kau baby blue?
Sesampainya di rumah, ku dapati rumah masih kosong, Bapak masih kerja dan mungkin nanti sore baru pulang. Di rumah ini aku jadi ingat Mama, ingat si baby blue. Aku sudah kehilangan dua hal yang berharga bagi ku. Boleh aku menangis sekarang?
Sore harinya, Bapak pulang tapi dia tidak sendiri, dia bersama seorang perempuan yang mungkin sebaya dengannya. Aku tidak tahu siapa perempuan itu, mungkin rekan kerjanya atau teman lamanya. Masalahnya ada apa sampai harus dibawa ke rumah?
"Ham, kenalkan ini calon ibu baru kamu." Tunjuk Bapak pada perempuan disampingnya. Dia mengulurkan punggung tangannya agar aku mencium tanganya. Bapak tersenyum melihatnya. Aku bukannya senang, tapi muak melihat pemandangan di depan ku.
Apa maksud Bapak calon ibu baru? Apa bapak akan menggantikan Mama dengan orang lain? Jadi, maksudnya pengganti si baby blue adalah pengganti Mama, begitu?
Aku ambil tangannya yang masih terulur, lalu mencium punggung tangannya sesaat, sekedar menghargai tamu Bapak. Aku tak bicara apa-apa lagi dan pergi meninggalkan mereka di ruang tengah. Aku harus kembali ke rumah Kak Nisa hari ini juga, aku tak mau berlama-lama disini, Bapak pasti akan bicarakan masalah ini nanti malam dan aku sama sekali tak ingin mendengarnya.
Setelah perempuan itu pergi, aku berpamitan pada Bapak untuk kembali ke rumah Kak Nisa. Bapak melarang tentunya, tapi ku bilang besok harus masuk sekolah karena ada ulangan penting. Sore ini juga aku kembali ke rumah Kak Nisa.
Sampai kapanpun aku tak akan pernah menyetujui adanya pengganti Mama, secantik, sebaik, selembut, seramah apapun perempuannya, aku tetap tidak akan setuju. Tak akan ada yang bisa menggantikan Mama. Orang baru tak akan pernah bisa menempati posisi Mama di keluarga ini.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvailles
Teen FictionBerawal dari senyum manis gadis mungil itu semangat hidupnya mulai kembali, hatinya yang gelap mulai mendapat cahaya dan hidupnya yang polos kini mulai berwarna.Tanpa dia sadar, gadis mungil itu telah menjadi candu baginya, senyumnya, tawanya, marah...