Setelah pulang dari tour, Indah marah dan puncaknya hari ini. Awalnya dia marah karena sikap ku saat tour yang tidak mengabari dia, lalu saat pulang dari tour aku tak memberikan oleh-oleh yang dia pesan karena oleh-oleh yang ku bawa semua diambil Shania termasuk oleh-oleh untuk Indah, puncaknya dia tahu kalau aku dekat dengan Radina. Padahal sudah aku jelaskan semua. Apalagi persoalan aku dekat dengan Radina, aku hanya berteman, tidak lebih, tapi Indah tetap tak percaya pada ucapan ku.
Aku tahu, dia masih keanak-anakan dan memang manja. Tapi setidaknya jangan bersikap seperti ini, seolah-olah aku harus selalu memprioritaskan dia di atas segalanya. Lama-lama aku muak sendiri. Kesabaran ku ada batasnya, dan aku paling tidak suka pada perempuan seperti ini. Pada akhirnya aku usaikan semua ikatan aku dengan Indah, anggap saja aku tak pernah mengenal dia, awalnya juga memang tak kenal. Dia tak terima, sampai menangis-nangis dalam telepon agar hubungan ini tetap bertahan, tapi aku sudah tak bisa, aku sudah muak.
Aku jadi teringat pada perjalanan pulang saat tour, pikiran ku tentang Radina adalah bagian dari hidupku dan bukan Indah rasanya memang benar. Dan karena hal ini, semakin kuatlah alasan ku untuk mengakhiri urusan ku dengan Indah.
Tak ada rasa kecewa apalagi sedih, yang ada aku senang karena hidup bebas ku kembali lagi. Aku bebas hidup bagaimana pun, pergi kemanapun, dengan siapapun aku bergaul, dengan siapapun aku bahagia. Tentu aku bahagia karena aku bisa bebas menjahili Radina tanpa takut marah siapapun. Bodoh amat jika memang pacar Radina marah karena aku sering mengganggunya, toh ku rasa dia tak punya pacar.
"Radina, buat tabel juga dong di buku ku."
Hari ini pelajaran Akuntansi yang mengharuskan membuat tabel. Aku tak punya penggaris, tak punya pensil apalagi penghapusnya. Seperti biasa aku di samping meja Radina, meminta bantuan sekaligus mengganggu ketenangan hidupnya.
"Iya, sabar dulu. Kalau punya ku sudah beres nanti ku buatkan." Katanya, sambil fokus pada garis-garis lurus hasil pensil dan penggarisnya.
"Lelet. Cepat, Radina. Keburu habis waktunya." Aku tak melakukan apapun, hanya bicara begini saja, nantinya dia juga kesal sendiri lalu membuat tabel pada buku catatan ku.
"Ish, bawel." Dia mendelik, lalu merebut buku catatan ku. Tuh, benar kan? Aku sudah tahu itu.
"Radina!"
Ada yang memanggilnya dari ambang pintu kelas, aku tak mengenalnya, mungkin teman seorganisasinya. Akhir-akhir ini dia memang sedang sibuk organisasi.
"Iya, sebentar. Aku kesana sebentar lagi, duluan aja." Dengan sedikit berteriak dia bilang pada murid perempuan yang masih berdiri di ambang pintu.
Setelah mendengar Radina bicara, dia mengangguk lalu pergi.
"Nanggung, ini sedikit lagi." Katanya lebih pelan.
"Memangnya mau kemana kamu?"
Dia masih sibuk dengan penggaris dan pensil, "Rapat OSIS."
"Selesaikan dulu ini, baru pergi."
"Iya, ih bawel banget sih!"
Setelah selesai membuat tabel di buku catatan ku, dia pergi keluar kelas. Aku pindah ke samping meja Nanda. Selain Radina, hanya dia satu-satunya yang mau berbagi jawaban setiap tugas padaku. Aku sering menyebutnya dengan bangku cadangan, iya di samping meja Nanda maksudnya. Ah, iya. Gurunya sedang sibuk di rumah, katanya anaknya sakit, jadi yaa begitulah kelas memang free.
"Radina pergi, pindah deh kesini." Ejek Nanda.
"Harusnya kamu bersyukur Nan, karena kamu gak perlu bikin tabel di buku catatan ku. Coba, lihat jawaban mu."
"Memangnya, Radina mau kemana?" Tanyanya, "Rapat OSIS." Jawabku.
"Rapat apa?" Tanyanya lagi, "Tidak tahu." Jawabku singkat.
Aku fokus pada angka-angka yang harus aku catat pada tabel.
"Eh, Ham. Kamu suka Radina, ya?" Pertanyaan macam apa ini?
"Enggak, tuh." Jelas tidak, karena aku tahu rasanya suka pada wanita seperti apa, dan bukan seperti apa yang aku rasakan saat bersama Radina.
"Padahal aku lihat Radina juga suka sama kamu, loh." Sok tahu kamu, Nan. "Kamu masih ingat kan, waktu itu kamu pernah narik kursi Radina sampai dia jatuh dan di ketawain sama seisi kelas?" Aku mengangguk, aku masih ingat jelas kejadian paling luar biasa itu.
"Perempuan mana pun pasti marah bahkan nangis kamu perlakukan begitu. Aku yakin, karena aku juga marah waktu itu. Tapi, kamu lihat Radina nangis enggak? Atau marah?"
Ku ingat-ingat, lalu menggeleng. Dia memang marah tapi masih ada tawa dalam marahnya, bukannya menangis dia malah ikut tertawa waktu itu.
"Nah, dari wajahnya aku bisa baca, "gak papa aku jadi bahan ketawa satu kelas, yang penting kamu bahagia" di matanya."
Masa iya? Padahal waktu itu dia nonjok lengan kiri ku, tapi yaa memang dia marah sambil ketawa.
"Kalau kamu suka dia, jadian aja, Ham. Cocok." Katanya dengan senyum jahilnya.
"Aku cuma nyaman aja."
"Nyaman artinya kamu suka dia, Ham." Nanda semakin antusias.
"Nyaman bukan berarti suka apalagi cinta. Aku lebih nyaman dengan dia karena tidak sekepo kamu." Aku berdiri lalu meninggalkan Nanda yang masih termangu.
Perkataan Nanda benar-benar menggangguku. Apa iya Radina suka pada ku? Rasanya tidak mungkin, dan tidak akan pernah mungkin. Kalau memang dia suka padaku harusnya dia juga berusaha mendekatiku, atau apalah itu untuk menarik perhatian ku. Justru jika bukan aku yang datang padanya, dia tak akan mungkin datang padaku dengan sendirinya.
Radina kembali ke kelas, lalu duduk di kursi favoritnya dan mulai mengerjakan tugasnya yang tertunda. Aku penasaran pada apa yang Nanda katakan, ku dekati lagi Radina siapa tahu aku dapat petunjuk.
"Kok, cepet?"
"Iya, gak jadi katanya." Dia masih fokus pada buku catatannya. Tuh lihat saja, dia tak terlalu antusias saat ada aku."Radina?"
"Hmm" dia masih mencatat.
"Radina?"
"Iya." Masih belum juga menoleh.
"Radina?"
"Apa sih?" Dia menoleh dengan dahi yang mengerut.
"Enggak. Manggil aja." Kataku santai.
"Nyebelin banget jadi orang." Dia menghembuskan nafas gusar, "Ini tuh gara-gara kamu tahu."
Aku mengernyit, "Loh, apa salah ku?" Lama-lama orang ini menyebalkan juga ternyata.
"Iya lah, kalo enggak bikin tabel di buku kamu dulu, sekarang tugas aku mungkin udah beres."
"Yee, salah sendiri pake acara rapat-rapat segala." Nanda pasti salah. Mana mungkin orang macam Radina suka pada ku. Dia memang baik dengan memberikan jawaban tugasnya padaku, dia tak menjauhi ku saat yang lain menjauh, dia memang tak marah saat aku jahili, meski kadang-kadang dia menyebalkan seperti sekarang ini. Tapi mana mungkin Radina menyukaiku.
Aku yakin dan benar-benar yakin, bahwa aku hanya nyaman saat bersama dia. Itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Nyaman tidak berarti suka apalagi cinta. Jadi tak mungkin aku berpacaran dengan seorang Radina. Nanda terlalu berlebihan.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvailles
Teen FictionBerawal dari senyum manis gadis mungil itu semangat hidupnya mulai kembali, hatinya yang gelap mulai mendapat cahaya dan hidupnya yang polos kini mulai berwarna.Tanpa dia sadar, gadis mungil itu telah menjadi candu baginya, senyumnya, tawanya, marah...