Awal semester baru identik dengan keperluan sekolah yang baru. Sepatu baru, tas baru, seragam baru, buku baru, untung saja wajah tidak ikut baru. Lihat saja suasana kelas saat ini, silau sekali. Parahnya lagi ini jadi semacam pamer yang paling mahal, paling bagus dan paling-paling lainnya.
Tenang saja, itu bukan fashion ku. Aku masih dengan penampilan ku yang seadanya. Baju seragam tak sempat di setrika, ransel yang sama sekali tak ada gaya kekini-kinian, sepatu yang bersyukur kemarin sempat aku cuci ke 3 kalinya setelah hanya 2 kali di cuci selama semester lalu. Aku tahu, awal semester baru semangat juga harus diperbarui, bukan tampilan saja. Tapi bagi ku semangat dan bahkan tampilan tak kepikiran diperbarui.
Aku bangun kesiangan lagi. Itu sudah menjadi semacam kebiasaan yang sulit di rubah. Dan lagi, awal semester baru atau bukan, bagi ku sama saja. Tak ada yang spesial, yang ada tugas akan semakin banyak.
Bahkan, selama liburan bukan hal-hal baru yang aku pikirkan. Entah kenapa, selama hampir 3 minggu rasanya aku seperti kehilangan semangat. Padahal aku merdeka dari tugas, terbebas dari absen, dan leluasa bangun tidur di jam berapa pun. Semacam ada yang hilang dari keseharian ku, dan sekarang aku sudah tau jawabannya.
Pertama menginjakan kaki lagi di kelas paling pojok ini, yang ku cari bukan Tole, bukan pula kursi tempat ku duduk di meja paling belakang. Mata ku langsung mencari tanpa di perintah, tanpa di komando. Mencari sesuatu yang hilang dari keseharianku selama libur semester ini.
Mata ku menjelajah seisi kelas, tapi tak kutemukan dia. Mungkin dia masih di luar kelas, pikir ku. Kursi tempat biasanya dia duduk masih kosong, bahkan ranselnya pun tak ada. Tunggu, ranselnya tak ada? Ini hampir jam masuk kelas, apa iya hari pertama masuk sekolah dia terlambat? Selama semester kemarin dia selalu datang lebih dulu dari ku, mustahil jika terlambat.
Ku tanyakan pada Tari, biasanya Tari selalu bersama dia, sangat memungkinkan Tari tahu tentang dia. "Tari, Radina kemana? Tasnya kok tidak ada?" Ku atur nada bicara dan raut wajah senetral mungkin, bahaya jika Tari menangkap kekhawatiran ku. Sebenarnya, aku tak begitu yakin ini yang disebut khawatir, tapi memang begitu nyatanya.
"Gak tahu. Biasanya kita ketemu di perempatan jalan depan sana, tapi tadi aku gak ketemu sama Dina." Aku bisa menangkap kekhawatiran dari air wajah Tari. Sahabatnya saja kelimpungan, apalagi aku.
Jangan lupakan upacara bendera di hari pertama masuk sekolah. Selama upacara, entah dirasuki setan apa, pikiran ku melayang pada Radina. Sesekali ku cari wajahnya dibarisan murid siswi, tapi nihil.
Tak biasanya dia seperti ini, dulu dia pernah tak masuk sekolah karena sakit, tapi tidak hilang kabar seperti sekarang. Dia pasti bicara pada Tari, apapun alasannya, Tari pasti tahu.
Ada apa dengan diriku ini? Sampai sekhawatir ini pada Radina. Tenang Ilham, tenang. Ini bukan diriku sendiri, kemana diriku yang semester kemarin?
Setelah barisan dibubarkan, biasanya ku sempatkan sarapan di warung belakang sekolah, bersama Tole dan yang lainnya. Tapi hari ini aku langsung masuk kelas, sedikit berharap dia sudah duduk di kursi favoritnya.
Sayangnya, kursi masih tetap kosong bahkan mungkin sampai nanti mata pelajaran terakhir. Rasanya benar-benar ada yang hilang, seperti pusat semangatku yang hilang, maka aku tidak mampu bersemangat lagi.
"Ilham. Sini, ada surat." Teriak Tari dari mejanya. Aku mengernyit, belum mengerti surat apa yang dimaksud Tari.
"Ini surat sakit Radina." Tanpa menunggu aku bertanya, amplop putih Tari sodorkan padaku. Rasa kelimpunganku perlahan berkurang karena surat ini, tandanya dia tidak hilang begitu saja. Tapi mendengar kata sakit, rasa khawatir ku semakin kentara.
Amplop putih itu, berisi selembar kertas surat keterangan dari dokter. Pasien atas nama Radina Pramita harus beristirahat selama satu minggu. Tak ada keterangan sakit jenis apa yang membuat dia harus istirahat selama itu.
"Sakit apa memangnya? Sampai harus istirahat seminggu." Jika hanya menggigil kehujanan atau panas dalam atau mencret-mencret, masa iya harus istirahat selama itu. Artinya ini bukan sakit biasa, operasi misalnya atau.. ah, sudah jangan terlalu banyak menebak-nebak.
"Aku juga belum tahu, Radina belum membalas pesan ku." hembusan berat nafas Tari jadi bukti kekhawatirannya, "Sepulang sekolah aku mau ke rumahnya saja. Kamu mau ikut, Ham?"
Terlalu beresiko jika aku datang ke rumahnya, padahal ingin sekali ku lihat lagi wajah mungil Radina. "Titip salam saja, semoga lekas sembuh. Sampaikan juga, kutunggu balap tulis lagi dan kali ini aku yang menang." Hanya itu yang bisa aku katakan. Tari hanya mengangguk, tak mengatakan apapun lagi.
Aku sudah tahu kemana semangat ku yang hilang. Dia hilang bersama dengan Radina. Aku tidak tahu, sejak kapan Radina ku jadikan pusat semangat. Akibatnya, saat Radina tak ada seperti sekarang, semangatku juga ikut pergi.
Sehari saja belum, tapi aku benar-benar sudah tak tahu arah. Biasanya, duduk di samping meja Radina akan lebih menyenangkan saat guru tak bisa masuk kelas seperti sekarang. Guru-guru sedang rapat awal semester atau entah rapat apalah itu, aku tak peduli.
Tak ada mood ke warung belakang sekolah, apalagi hanya menjadi pusat penyerapan asap rokok murid perokok di sana. Di kelas memang bukan hanya aku dan Radina saja, hingga saat Radina tak ada tinggallah aku sendiri. Masih banyak murid perempuan yang lain, bahkan lebih cantik, lebih pintar, lebih anggun dan lebih-lebih lainnya dari Radina. Tapi, tak ada yang mau balap tulis dengan ku seperti Radina, berdebat hal-hal tak masuk akal seperti dengan Radina, berbagi jawaban lks seperti yang Radina lakukan, bahkan bicara dengan ku saja mereka tak mau.
Mana mungkin murid terkenal seangkatan mau bicara pada gembel kelas yang tak terurus macam aku, melihat saja sepertinya enggan. Murid tercantik di kelas ini juga takkan mau duduk di samping laki-laki rambut lepek tanpa minyak rambut macam aku ini. Apalagi murid terpintar di kelas ini, mana mungkin dengan baik hati dia berbagi jawaban yang selalu dia rahasiakan sendiri.
Tanpa ku sadari, selama ini hanya Radina yang tak menghiraukan penampilan ku. Tak pernah ku dengar satu kali saja komentar dia tentang penampilan ku. Padahal dia termasuk murid berpenampilan selayaknya murid SMA, rapi, bersih, meski tetap dalam kesederhanaan yang dia miliki.
Ternyata, duduk di samping meja Radina sudah menjadi tempat ternyaman. Berdebat dengan Radina adalah candu. Senyum Radina sudah menjadi candu, bahkan wajah cemberutnya saja candu bagiku. Saat ini aku baru menyadari bahwa Radina adalah candu bagi ku. Sebab tak berdebat dengannya satu hari saja rasanya separuh hari ku kosong tak bernilai. Seperti kertas kanvas yang tak bergambar, polos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvailles
Teen FictionBerawal dari senyum manis gadis mungil itu semangat hidupnya mulai kembali, hatinya yang gelap mulai mendapat cahaya dan hidupnya yang polos kini mulai berwarna.Tanpa dia sadar, gadis mungil itu telah menjadi candu baginya, senyumnya, tawanya, marah...