Jika bukan karena Kak Nisa, mungkin sekarang aku sedang santai menikmati alunan musik jazz sampai terlelap, bukannya berdiri di depan teras minimarket menunggu hujan reda. Hanya demi satu obat nyamuk, aku harus terjebak hujan di sini.
Aku tak bersama si baby blue, dia sedang di pinjam bang Inal, alhasil aku harus jalan kaki ke minimarket depan komplek. Saat berangkat tak ada mendung sedikit pun jadi tak ada persiapan membawa payung. Tapi saat aku masuk ke minimarket, mengambil satu pacs obat nyamuk bakar, membayarnya dan saat keluar hujan sudah lebat.
Jika saja aku membawa uang lebih, mungkin akan ku beli payung baru dari dalam sana. Sayangnya, lagi-lagi aku tak berpikiran untuk membawa banyak uang, toh hanya membeli obat nyamuk ke depan komplek ini. Handphone apalagi. Entah disimpan dimana, aku tak ingat.
Meski jarak ke rumah memang terbilang dekat, hujan terlalu lebat jika harus diterjang dengan berlari, mungkin basah kuyup saat nanti sampai di rumah. Aku sudah kapok hujan-hujanan, tak mau menggigil lagi, dan tak mau makan bubur polos lagi tentunya.
Saat sedang memikirkan cara untuk bisa sampai ke rumah tanpa kehujanan, tiba-tiba ada yang menepuk pundak ku.
"Kak?"
Aku menoleh, kudapati gadis mungil dengan payung di tangannya. Jika di lihat-lihat lagi dia mirip Radina, wajah dan badannya mungil, hanya saja hidungnya lebih mancung, matanya belo. Sama manisnya, tapi ada sesuatu pembeda yang menarik dari masing-masing mereka.
"Kakak gak bawa payung, ya?" Tanyanya lagi, menyadarkan lamunan ku.
"E-eh, iya tadi pas berangkat gak hujan sih, jadi gak bawa payung." Entah tahu darimana dia.
"Ohh gitu. Mau barengan aja Kak?" tawarnya dengan senyum yang manis.
"Gak usah, makasih. Nanti ngerepotin, he he." Basa-basi ku, padahal ini kesempatan yang bagus loh.
"Gak papa, Kak. Rumahnya di kompleks ini, kan? Rumahnya nomor berapa? Nanti aku antar sampai rumah Kakak." Jika sudah begini, rezeki namanya, tak baik jika di tolak.
"Kalo gak ngerepotin sih, boleh deh." Rezeki anak sholeh, he he. "Rumahnya dekat kok. Blok A no 7."
"Oh, iya. Kebetulan rumah aku di blok B no 2, jadi gak terlalu jauh, Kak." Dia membuka payung yang sedari tadi dia pegang dengan agak kesulitan karena sekantong keresek yang juga dia bawa.
Ku ambil payungnya yang tak kunjung membuka, "Coba, biar aku saja."
"Iya, maaf Kak."
Payung terbuka, maka berjalanlah kita dalam satu payung menembus hujan. Satu payung untuk dua orang tak bisa menjamin aku tetap terlindung dari hujan, justru baju lengan kanan ku sudah basah baru beberapa langkah saja.
"Kamu tinggal di kompleks ini, tapi kenapa aku baru lihat kamu sekarang, ya ?" Berusaha mencairkan suasana.
"Jarang keluar rumah, Kak. Paling kalo berangkat sama pulang sekolah aja. Ini ke minimarket juga karena lagi perlu banget." Jawabnya.
"Ohh. Sekolah kelas berapa?"
"SMP, kelas 8."
"Wihh, tinggi juga ya kamu. Teman sekelas ku ada loh yang sama tingginya dengan kamu, padahal kelas 2 SMA." Aku jadi ingat Radina.
"Hehe, padahal di kelas masih ada yang lebih tinggi dari aku."
"Berarti anak SMP sekarang bagus-bagus pertumbuhannya." Beda dengan Radina yang sepertinya tidak akan bisa tumbuh tinggi lagi, haha. "Dari tadi ngobrol tapi gak tahu namanya siapa. Aku Ilham, panggil Ilham aja, jangan pake Kakak."
"Indah, Kak."
Jarak yang dekat, rasanya jadi jauh saat berjalan bersisian dengan gadis bernama Indah ini. Dinginnya cuaca rasanya jadi menghangat di dekat dia. Lengan baju yang basah sudah tak ku perdulikan lagi.
"Sudah sampai." Kataku saat sudah berada di depan rumah Kak Nisa. Ku ucapkan banyak terimakasih pada Indah, sebab jika tidak ada dia mungkin sekarang aku masih berdiri di teras minimarket sendirian.
Aku melangkah mendekat pintu, sebelum tangan ku menyentuh knop pintu Indah memanggilku.
"Kak!"
Aku menoleh, "Sudah ku bilang, panggil Ilham saja."
"E-em, i-iya. Maksudnya, Ilham." Dia menunduk dalam lindungan payungnya, dia semakin terlihat mungil. Ah, mungkin untuk seumuran dia bukan mungil lagi, tapi jika untuk Radina memang pantas. Sebutan mungil memang hanya cocok untuk Radina saja.
"Ada apa?" Aku mendekat ke arahnya, meski tetap berada di area yang aman dari hujan. "Takut, ya? Apa mau diantar ke rumahnya?" Ini memang sudah malam, kondisi hujan berjalan sendirian.
"Aku antar saja ya, sudah malam juga. Aku ambil payung dulu." Tanpa mendengar jawabannya, aku langsung masuk ke dalam rumah untuk membawa payung.
Saat aku kembali, dia masih berdiri di tempatnya. "Yuk."
"Tunggu. Gak usah, aku gak papa kok." Katanya, sebelum aku membuka payung ku. Aku mengerutkan dahi, bingung.
"Aku cuma, cuma.. em, itu" dia terlihat kebingungan, aku jadi lebih bingung.
"Kenapa?"
"E-em, boleh gak aku minta nomor teleponnya?"
Aku melongo mendengar apa yang dia katakan. Ini pengalaman pertama bagi ku, dimintai nomor telepon oleh perempuan. Biasanya aku yang minta nomor telepon perempuan lebih dulu, dan jarang sekali sampai ada yang berbaik hati memberikan nomor teleponnya.
"Ham!"
"Eh, iya boleh."
Aku senang sendiri jadinya. Ini pertama kalinya loh, sekali lagi pertama kalinya, the first time. Coba tampar wajahku, ini bukan mimpi, kan? Ada yang minta nomor telepon kamu dengan malu-malu, Ham. Kemajuan ini namanya, aku memang tampan, tapi banyak perempuan yang tidak menyadarinya. Indah menjadi bukti bahwa pesona ku memang luar biasa, baru pertama kali bertemu saja langsung minta nomor telepon ku. Malam ini memang indah, oh Indah.
Indah yang baru satu kali bertemu dengan ku saja langsung terpesona, tapi kenapa dengan Radina yang setiap hari bertemu dengan ku tidak terpesona? Apa dia tidak normal? Atau memang dia terpesona, tapi dalam diam. Alah, sok memendam biasanya juga bawel. Malam ini tingkat kepercayaan diriku benar-benar overload, hanya karena ada yang minta nomor telepon.
"Terimakasih, aku pulang dulu ya." Ucapnya, dengan senyum manis miliknya.
Pada akhirnya, dia pulang sendirian. Nyawa ku belum kembali sepenuhnya, terlalu bahagia sampai terbang tinggi sampai melayang di tata surya.
Siapa yang tak bahagia sampai melayang begitu, coba? Laki-laki manapun pasti akan terbang jika ada perempuan cantik, manis sesuai kriterianya minta nomor telepon dengan sendirinya. Tak perlu susah-susah modus, gombal seribu kata manis nan dusta, dia datang sendiri. Luar biasa.
Aku tahu, Indah masih kelas 2 SMP. Tapi apa salahnya, hanya beda 2 tahun mungkin. Lagi pula belum tentu aku dan dia sampai pacaran, tapi berandai-andai mungkin masih bisa, siapa tahu memang jodohnya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvailles
Novela JuvenilBerawal dari senyum manis gadis mungil itu semangat hidupnya mulai kembali, hatinya yang gelap mulai mendapat cahaya dan hidupnya yang polos kini mulai berwarna.Tanpa dia sadar, gadis mungil itu telah menjadi candu baginya, senyumnya, tawanya, marah...