Sinar matahari menelisik di sela-sela tirai jendela yang tak terlalu tebal, mengganggu kenikmatan tidur ku saat ini.
Perlahan ku buka mata ku, dimana ini? Ku edarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan yang berantakan ini, jam kecil bergambar club sepakbola eropa favoritku menunjuk tepat pada angka 8. Ternyata aku masih di kamar ku, tunggu! Jam berapa tadi?
Astaga, kenapa mama tak membangunkan ku? Ah mama? Ya ampun, sadar Ilham, mama sudah tenang di sana bersama Tuhan.
Memang berat rasanya, siapa pun pasti tak ingin kehilangan orang tuanya terlebih sosok seorang ibu, dan bagiku saat inilah fase paling berat dalam hidupku.
Ada penyesalan yang teramat membebani hati dan fikiran ku. Andai 6 hari yang lalu ku turuti permintaan mama untuk pulang ke rumah, mungkin aku tak akan semenyesal ini, mungkin aku bisa menemani mama di sisa hebusan nafasnya, mungkin aku bisa melihat wajah mama untuk yang terakhir kalinya. Sayangnya 6 hari yang lalu saat mama meminta ku untuk pulang, aku malah lebih mementingkan tanding futsal dengan teman baru ku di SMA. Kak Nisa juga memaksaku untuk pulang ke rumah, tapi aku tetap mementingkan tanding futsal sialan itu. Padahal mungkin itu permintaan terakhir mama, berkumpul dengan putra putri kesayangannya.
Aku sudah tak punya lagi tenaga, rasanya ingin sekali aku menyusul mama menemui Tuhan, tapi aku belum menikmati indahnya pernikahan ma, jadi maafkan aku ma, aku tak akan menyusul dalam waktu dekat ini.
Pintu di ketuk dari luar bersamaan dengan suara kak Nisa, "Il mau masuk sekolah apa nggak? Sudah hampir seminggu loh, kamu izin terus."
Tanpa beranjak dari posisi, ku bilang, "Izin lagi, biar pas seminggu."
Ya, sudah 5 hari semenjak mama pergi, aku tak masuk sekolah dan ini hari ke 6 aku tak masuk lagi. Jangan pikir selama 5 hari itu aku hanya menangis mengurung diri di kamar macam anak perempuan yang manja, aku anak laki-laki kebanggaan mama yang kuat dan tentu saja tegar.
Selama 5 hari ini ku habiskan banyak waktu di tempat peristirahatan terakhir mama, bukan menangis, hanya berusaha menghilangkan rasa bersalah yang benar-benar membuat ku sesak bernafas. Mulai dari bercerita tentang sekolah SMA ku di kota, tentang pola hidup ku di rumah kak Nisa yang susah bangun pagi, nostalgia masa kecil, sampai akhirnya ribuan maaf aku lontarkan di depan gundukan tanah bernisankan nama mama.
Orang lain pasti mengira aku sudah gila, bicara sendiri di depan gundukan tanah, tapi aku merasa dengan melakukan itu rasa bersalah ku perlahan tak terlalu menyesakkan, aku merasa lebih bisa mengikhlaskan kepergian mama, dan hanya aku yang mengerti, orang lain tak akan mengerti.
Urusan tak masuk sekolah selama berhari-hari tak menjadi pikiran ku, biarlah, masa iya guru-guru tak memaklumi. Bapak dan Kak Nisa juga tak memaksa ku untuk pergi sekolah, mereka merasakan apa yang aku rasakan dan tentulah mereka akan mengerti. Lagi pula aku masih kehilangan semangat untuk sekolah, mungkin butuh satu atau dua hari lagi untuk izin.
Aku masih dalam posisiku, memandangi tirai jendela yang di sinari matahari sampai kak Nisa mengetuk pintu kamar ku lagi.
Sebelum kak Nisa bicara, dengan sedikit berteriak ku bilang, "Izin lagi, besok mulai sekolah."
"Iya, buka dulu pintunya. Kakak mau bicara, penting." dari nada bicaranya sepertinya kak Nisa memang sedang serius.
Dengan malas ku buka pintu, dan "Cepat rapikan penampilan mu, di depan ada guru dan teman SMA mu. Kasihan mereka, sudah jauh-jauh kesini tapi kamu masih tidur."
Ah, cepat sekali kabar ini sampai di sekolah. "Iya."
Ku ganti pakaian ku dengan kaos dan celana panjang. Tak perlu mandi, cuci muka saja biar cepat.
Di ruang tamu sudah ada bapak dan kak nisa, guru BK, satu lagi tak tau guru pelajaran apa, 3 murid laki-laki yang tidak aku kenali dan Rendi; kakak kelas sekaligus tetangga di sini. Sudah ku pastikan, kabar ini dari Rendi.
Seperti selayaknya orang yang berbelasungkawa, kalian juga tahu lah. Aku tak banyak bicara, semua yang bapak guru tanyakan bapak ku yang menjawab. Tak lama mereka berpamitan, dan kalimat terakhir dari guru BK adalah,"Besok,jika sudah merasa tenang jangan lupa masuk sekolah lagi. Jangan terlalu banyak izin."
Karena perkataan guru BK, aku di paksa kak Nisa kembali ke kota, bapak malah bilang harus kembali ke kota sore ini juga, biar besok pagi bisa mulai masuk sekolah lagi. Aku tak bisa lagi mengelak dan aku sedang tak ingin berdebat.
****
Tempat parkir mulai terisi penuh, siswa yang mengendarai motor saling berebut mencari tempat parkir yang kosong, termasuk aku. Jika suasana sudah seperti ini, bisa dipastikan 5 menit lagi bel masuk bersuara dengan lantang.
Sejujurnya, aku masih belum mendapatkan semangat untuk sekolah. Sempat terlintas niatan bolos saja, nongkrong di warung Bi Atun sambil main PS. Tapi hati nurani ku tak mengizinkan, kata-kata mama terngiang jelas dalam ingatan menyadarkan otak ku yang mulai dirasuki setan bolos.
Setelah mendapat tempat parkir untuk si baby blue; motor kesayangan ku. Aku mulai melangkah menuju koridor kelas dengan tampilan macam anak yang tak terurus, maksudnya baju seragam ku tak sempat aku setrika, sabuk lupa tak ku pakai apalagi dasi, sepatu kumal yang jika ku ingat-ingat belum pernah aku cuci sejak pertama menginjakan kaki di sekolah ini, rambutku juga tak sempat disisir. Tadi pagi aku bangun kesiangan, dan beginilah penampilan ku.
"Ilham!"
Kuhentikan langkah ku, mencari dari mana arah suara itu.
Seorang gadis mungil tersenyum pada ku, lalu berdiri di depan ku. "Anak-anak yang lain nunggu kamu di kelas. Selamat datang kembali di X-7!"
Aku bergeming, masih mencerna apa yang di katakan gadis mungil di hadapan ku ini. Pasalnya aku tak kenal siapa dia, melihat wajahnya pun baru sekarang ini, tapi dia tau kelas ku? Aku dan dia satu kelas?
"Eh? Kita satu kelas?"
"Tentu saja." Dia tersenyum, manis sekali "Langsung ke kelas saja, aku ada perlu ke ruang guru, duluan ya." Dia berlalu menuju tempat yang ia tuju.
Aku masih berdiri termangu, ku lihat lagi ke arah dia melangkah, ah sudahlah, terserah. Ku lanjutkan langkah kaki ku menuju kelas. Kelas paling ujung dan menjadi tempat paling favorit karena jauh dari ruang guru.
Sesampainya di kelas, aku disambut dengan ucapan belasungkawa dan turut berduka cita dari hampir seisi kelas, yang lebih parah ada pertanyaan "kenapa bisa meninggal?". Rasanya muak sendiri mendengar kalimat yang terus berulang, ingin rasanya ku bungkam setiap mulut yang mengeluarkan kalimat itu lagi.
Bukannya aku tak menerima kepedulian mereka, hanya saja kalimat-kalimat itu tak kan bisa mengembalikan yang sudah pergi, bahkan tak memberi efek yang baik pada ku. Akan lebih baik jika mereka diam, atau setidaknya bersikap seperti biasa saja. Anggap saja bukan hal yang penting, toh aku memang tak terlalu penting di kelas ini.
Maka, sepanjang waktu menunggu guru masuk kelas, aku hanya menjawab setiap apa yang mereka katakan dengan senyum tipis. Harusnya mereka menyadari ketidaksukaan ku ini dari raut wajahku yang tak ada baik-baik nya ini.
Hari pertama masuk sekolah lagi, kesannya bena-benar tak membuatku nyaman. Ingin sekali aku berlari jauuuhhh sekali, kemanapun kaki ini melangkah. Ah baiklah, terserah kalian saja. Aku tak peduli.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvailles
Genç KurguBerawal dari senyum manis gadis mungil itu semangat hidupnya mulai kembali, hatinya yang gelap mulai mendapat cahaya dan hidupnya yang polos kini mulai berwarna.Tanpa dia sadar, gadis mungil itu telah menjadi candu baginya, senyumnya, tawanya, marah...