#4 Sakit

19 7 0
                                    

Setelah beberapa minggu niat sekolah ku sedang baik dan setelah beberapa minggu juga nomor Radina tersimpan di kontak handphone ku, hari ini aku tak masuk sekolah. Kali ini alasannya benar-benar sakit, bukan lagi pura-pura sakit. Kepala pening, mata perih, wajah terasa panas -seperti berhadapan dengan tungku perapian-, hidung meler, badan remuk semua, aku benar-benar tak berdaya.

Kemarin malam, aku tak langsung pulang setelah nongkrong di warung kopi bareng Tole. Jam 10 malam masih terlalu sore untuk kembali ke kamar berantakan ku di rumah Kak Nisa. Aku lanjutkan petualangan malam ini hanya dengan duduk manis menikmati malam di tepian taman kota, berdua bersama si baby blue.

Tak banyak orang di taman, hanya ada beberapa pedagang kacang rebus, jagung bakar, dan gerobak tukang bajigur. Selebihnya, hanya orang yang tak perlu di sebutkan keberadaannya. Beberapa lampu taman yang temaram menghiasi tiap sudut taman, menjadi penerang bagi para pedagang. Langit sedang cantik-cantiknya malam ini, bertaburkan bintang dengan bulan setengah lingkaran yang bersinar terang.

Diantara kelap-kelip bintang yang paling terang, ada senyum Mama dalam wajah teduhnya. Aku rindu senyum itu, senyum yang menentramkan amarah putranya ini. Aku rindu Mama dan para bintang pun tahu, aku sedang merindukan Mama.

Tiba-tiba senyum Mama berubah, menjadi senyum manis si gadis berwajah mungil. Senyum yang tulus yang pertama kali menyapaku. Radina. Ya, itu senyum manis milik Radina.

Tunggu, Hey! Kenapa senyum Mama berubah jadi senyum gadis mungil itu? Aku sedang rindu pada Mama, bukan pada gadis berwajah mungil itu.

Tanpa sadar, kini titik-titik air berjatuhan dari langit, membasahi wajah ku yang sejak tadi menengadah. Langit sudah gelap dengan awan hitam yang semakin menebal, tak ada lagi cahaya bulan, tak ada lagi kelap kelip bintang. Sialan, merusak suasana saja.

Terpaksa, aku harus pulang di payungi hujan. Mantel hujan lupa tak ku bawa, mungkin sengaja aku lupakan. Hampir tengah malam, sendiri, hujan-hujanan, tanpa mantel hujan, lengkap sekali. Alhasil, basah kuyup sampai rumah, tak ada bagian yang kering sedikit pun.

Jika diingat-ingat lagi, ini gara-gara senyum si gadis mungil di antara kelap kelip bintang itu. Seandainya senyum Mama tak berubah jadi senyum gadis mungil itu, mungkin aku akan sadar lebih awal saat langit mulai gelap di tutupi awan. Dan aku bisa sampai rumah tanpa basah sedikit pun.

Bicara soal gadis mungil, aku baru ingat dia sudah menyimpan nomor teleponnya sendiri di handphone ku. Hari ini aku benar-benar sakit, bukan pura-pura lagi. Sayang jika di absensi, perjuangan ku melawan sakit malah di tulis dengan 'alfa', kan nggak lucu.

Walau dengan keadaan pening, mata perih, tangan lemas, ku paksakan untuk mengirim pesan pada nomor Radina.

Radina, titip izin sakit Trims
Ilham.

satu menit kemudian ada pesan balasan dari Radina.

Siap, samasama. Lekas sembuh, Ham.

Sekarang waktunya istirahat. Kak Nisa belum tahu aku sakit, dia pasti masih sibuk mengurus keperluan putri kecilnya berangkat sekolah Taman Kanak-anak. Jika Kak Nisa sudah tahu, dia lebih cerewet dari Mama. Aku yakin, akan ada pidato nada tinggi sebelum dia memboyong ku ke dokter.

Bang Inal, Kakak ipar ku, hanya ada setiap weekend. Hari-hari biasa disibukan dengan banting tulang demi keluarga kecilnya. Biasanya setiap Bang Inal pulang, aku juga pulang ke kampung. Tidak setiap minggu memang, tapi sebisa mungkin aku harus memberi ruang untuk Quality time keluarga kecil Kak Nisa.

Seperti minggu kemarin, Bang Inal memboyong anak istrinya ke taman rekreasi. Awalnya aku di paksa ikut, sekalian jadi pengasuh princess cilik milik mereka. Tapi aku tak bisa, biarkan mereka bahagia menikmati waktu bersama keluarga tanpa aku. Jadinya aku pulang kampung, menemui bapak di rumah, menemui Mama di pusaranya, itung-itung melepas rindu.

Semenjak aku sekolah di kota, dan Mama pergi lebih dulu, Bapak tinggal sendiri di rumah. Aku tahu, bapak pasti kesepian. Bapak pasti lebih kehilangan sosok Mama daripada aku. Bapak kehilangan tulang rusuknya, mana mungkin dia baik-baik saja, kan?

Bapak tetaplah Bapak, serapuh apa pun hatinya, tidak akan mungkin dia mengeluh, apalagi sampai menitikkan air mata di depan anaknya. Saat Mama pergi pun, Bapak tetap tegar. Jauh dengan ku yang menangis di pojokan kamar, tak berani melihat jasad Mama yang terbujur kaku. Meski aku tahu, kesedihan tergambar jelas dalam sorot matanya.

Jangan salah sangka dulu, aku menangis di pojokan kamar agar tak di lihat orang lain, bapak atau kak Nisa sekalipun. Biar aku saja yang tahu.

Aku banyak belajar dari ketegaran hati Bapak. Karena itu lah, aku bisa melangkah demi melanjutkan hidup ku sampai detik ini. Bapak saja bisa tegar, kenapa aku tidak ? Jika aku tak melihat Bapak setegar itu, mungkin yang tersisa saat ini hanya batu nisan bernamakan Ilham Arrayan di samping nisan Mama.

"Ilham!" Sepertinya Kak Nisa baru sadar aku belum keluar kamar. "Sudah jam 7 lebih belum berangkat juga. Apa mau libur sendiri?" Teriaknya, mungkin dari ruang makan sedang menyuapi Shania.

Tak ada tenaga untuk menjawab, apalagi harus teriak-teriak. Tunggu sebentar nanti juga akan masuk ke kamar ku terus berpidato dengan suara 8 oktaf, di tambah dia tau kondisi ku yang menggigil seperti sekarang mungkin isi pidatonya akan lebih banyak, panjang kali lebar, tunggu saja.

Pintu kamar terbuka, "Loh, kok masih selimutan, sih?" Kak Nisa berjalan mendekat dibuntuti Shania. "Bangun, Il. Sekolah gih cepetan, jangan izin terus. Keenakan nanti, izin terus sampai lulus."

Saat Kak Nisa menyingkap selimut yang menutup tubuh ku, seketika itu juga aku menggigil. Dingin sekali, rasanya seperti ada yang menyirakan air es ke seluruh tubuh ku, brr.
Kak Nisa terkejut melihat respon ku yang begitu, buru-buru dia selimuti lagi tubuh ku.

Tangannya dia simpan di dahi ku, "Kamu sakit, Ilham! Ya ampun, kenapa gak bilang?"

Satu..
Dua..
Tiga..

"Kakak bilang juga apa? Jangan pulang kemaleman, gak baik. Ini tengah malam malah hujan-hujanan. Udah gak sayang sama badan sendiri? Yang ngerasain sakitnya siapa? Kamu sendiri, kan? Bukan orang lain? Sayang badan dikit kenapa sih, susah banget dibilangin."

Nah, itu dia. Sudah ku bilang kan, pasti begini. Pidato 8 oktaf khas cerewetnya Kak Nisa yang lagi khawatir. Mendengarnya saja kepala ku semakin pening, tak perlulah aku jawab, percuma juga.

Setelah pidatonya selesai, Kak Nisa keluar meninggalkan aku yang masih bergulung selimut tak berdaya. Lalu dia kembali lagi dengan semangkuk bubur nasi polos tanpa lauk apapun dan secangkir besar air minum.

Aku coba bangun, merubah posisi jadi duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. Dengan susah payah dan suara yang parau, aku protes bubur yang tanpa lauk itu,  "kok, polos?"

"Udah jangan banyak protes. Makan aja!". Satu sendok bubur dia suapkan pada mulut ku. Malu sendiri aku, 16 tahun masih di suapi makan. Ah, jadi rindu Mama.

Ku rebut sendok dan mangkuk bubur dari tangan Kak Nisa, "Aku bisa makan sendiri, Kak."

"Ya, sudah. Kakak balik lagi ke sini, mangkuk itu harus sudah bersih, oke?" Aku mengangguk, lalu Kak Nisa keluar entah kemana.

Pahit. Bubur polos tanpa lauk mana mungkin enak, kan? Orang sakit harusnya dibahagiakan, contohnya dengan makanan yang enak-enak saja, pasti bahagia sekali. Air putih tawar, bahkan ikut-ikutan pahit juga. Tuh, benar kan? Orang sakit memang harus di beri makan dan minum yang enak-enak, dijamin langsung sembuh.

***

RetrouvaillesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang