Impian Nisa

12.8K 432 6
                                    

Farhan kembali ke rutinitas kuliahnya. Ia adalah mahasiswa semester 2 fakultas Ilmu sosial dan politik di salah satu Perguruan Tinggi Negeri elite di kota Bandung. Ia terkenal karena keaktifannya berorganisasi. Baik organisasi kampus maupun umum. Farhan dikaruniai paras yang elok dipandang. Unsur Arab sangat kentara dalam diri pemuda itu. Warisan dari sang Abi. Maka dari itu, tak ayal jika ia banyak digandrungi para akhwat penggemar pemuda sholih macam Farhan.

Tapi tak ada yang mendekati Farhan secara frontal karena laki-laki itu selalu menjaga dirinya. Para gadis-gadis hanya mampu melirik dan tersenyum ketika Farhan melintas. Karena memang sudah watak Farhan yang ramah, ia hanya melemparkan senyum sekilas. Membuat para kaum hawa limbung dari pijakannya.

Tapi, kali ini Farhan lebih banyak merenung. Hari ini ia tak ada jadwal kuliah. Biasanya, jika tak ada jadwal kuliah, ia akan mengurusi satu dan lain hal yang berhubungan dengan pengajian dan organisasi. Tapi, sejak subuh ia sudah berdiam diri di masjid kampus yang megah. Kata-kata Abi selalu terngiang di benaknya. 'Menikah ?' Sungguh itu suatu keputusan yang sulit. Targetnya adalah menikah saat sudah mapan dan mampu menafkahi keluarga.

'Boro-boro mapan. Kuliah saja masih semester 2' ujar kata hati Farhan.

Ia ibarat baru membajak sawah. Tapi sudah dituntut untuk segera panen. Apakah mungkin?

Makin dipikir, makin kusut otaknya. Apa yang harus ia katakan saat bertemu Nisa nanti. Ia tak akan tega mengatakan ini pada gadis yang ia cintai itu. Karena Farhan tahu. Jika dibandingkan dirinya, Nisa-lah yang akan lebih kecewa nantinya. Mimpi gadis itu begitu besar. Perjuangannya selalu menjadi motivasi Farhan.

Akankah perpisahan yang akan menjadi jalan terakhirnya ?

Tanpa sadar, laki-laki itu memejamkan mata. Dadanya sesak. Sebulir air mata jatuh. Apapun jawaban Nisa nanti, ia harus ikhlas lahir dan batin. Farhan tak akan bisa memendam ini lebih lama. Amanah Abi sebelum ia berangkat ke Bandung masih terekam jelas.

"Segera ambil keputusan, han. Abi akan beri waktu kamu 2 minggu. Kalau jawabanmu iya, maka Abi akan melamarkan gadis itu untukmu. Jika tidak, maka tinggalkan saja..."

Selama 1 minggu ini, Farhan banyak menghabiskan waktunya untuk bermunajat pada sang Khaliq. Pesan dari Nisa hanya ia balas se-sempatnya. Beruntung Nisa adalah seorang gadis yang mengerti, sederhana dan tidak banyak menuntut. Farhan mulai berpikir. Apa ia sanggup melepas gadis seperti itu?

Sore nanti ia akan ke Bogor. Ke rumah Nisa. Tiap 1 minggu sekali, mereka memang selalu ada kegiatan khusus. Tapi sore nanti menjadi saat penentuan bagi Farhan...

****************

Mobil Farhan memasuki pekarangan rumah bergaya klasik yang asri. Terdiri dari 2 lantai dengan tanaman sulur yang menghiasi balkonnya. Catnya teduh. Cocok dipadukan dengan suasana bogor yang sejuk. Pagar tanaman ikut menghiasi sekeliling rumah.

Saat kakinya pertama kali menginjak teras, pintu telah terbuka dari dalam. Menampilkan sosok gadis belia dengan perawakan tinggi dan kulit seputih susu. Selalu cantik. Itulah Sofia Annisa. Senyum Farhan terbit...

"Kebiasaan. Belum juga ngetuk pintu udah nongol duluan..." gurau Farhan. Nisa tertawa lembut. Jilbab instan berwarna pastel membungkus wajah gadis ayu itu. Gamis santainya bergerak saat sang empu melangkah.

"Suara langkah kakak udah khas disini..." ujar Nisa menunjuk telinganya.

"Iya deh iya. Mana Bunda?" Tanya Farhan sembari duduk di sofa ruang tamu. Nisa kembali ke dalam untuk memanggil sang bunda.

Sembari menunggu, Farhan kembali terpekur. Melihat wajah cerah Nisa, ia tak tega untuk mengatakan hal ini. 'Ya Allah... apa yang harus hamba lakukan ?'

"Duh nak Farhan. Maaf nunggu lama. Bunda masih nyelesaiin desain pelanggan" suara lembut menyahut dari dalam. Menampilkan sosok paruh baya yang masih cantik. Penampilan Bunda Nisa selalu modis. Tapi tetap menurut aturan Islam. Ya. tak heran. Mengingat beliau adalah pemilik butik di beberapa daerah yang ada di Bogor.

"Tidak apa-apa, Bun" Farhan berdiri. Mencium tangan sang Bunda.
"Tunggu sebentar, ya. Nisa masih siap-siapin bukunya"
"Nisa beli buku lagi, Bun?"
"Ya begitulah. Dia itu mudah sekali tergiur dengan buku-buku latihan soal. Apalagi buku yang memang ada di bidangnya" kata Bunda sembari geleng-geleng kepala.
"Buku yang kemarin aja dia belum paham semua. Kok udah beli lagi..."

"Kakak nggak boleh menghina ya. Gini-gini aku itu cepat menyerap materi. Apa salahnya beli buku banyak? Kan bisa menambah wawasan soal. Siapa tahu keluar waktu tes" tiba-tiba Nisa sudah datang dengan buku-buku yang menumpuk dalam balutan lengan kurusnya.
Dengan sigap, Farhan membantu membawa sebagian buku-buku itu. "Iya tahu kalo kamu cepat menyerap materi. Tapi ya kira-kira kalo beli. Mubadzir uang itu nggak baik"

Nisa memutar matanya. Selalu itu yang dikatakan Farhan sebagai senjata andalan.
"Ya udah. Bunda masuk dulu. Yang akur. Lanjutin belajarnya..." setelah tersenyum geli, Bunda masuk ke dalam rumah. Menyisakan Farhan dan Nisa saja.

"Kemarin sampek mana ya Kak ?" Nisa membuka buku tebalnya. Bahkan buku setebal itu bisa dijadikan bantal untuk tidur. Beginilah kegiatan mereka. Kursus pribadi yang diberikan Farhan tiap 1 minggu sekali. Nisa ingin masuk ke perguruan tinggi yang sama dengan Farhan. PTN tempat Farhan kuliah, adalah salah satu dari 10 PTN terbaik di Indonesia. Seleksi masuknya begitu ketat.

Farhan cerdas. Maka laki-laki itu bisa masuk dengan mudah kesana. Kursus seperti ini bukan karena kemampuan Nisa tak sebanding dengan Farhan. Bahkan jika Nisa mau, gadis itu juga bisa dengan mudahnya masuk ke PTN tersebut. Tapi, impian Nisa adalah mengejar beasiswa akademik disana. Tes masuknya berbeda. Ia harus menjalani tes Auditori, Visual dan Kinestetik...

Bisa dibilang, Tes beasiswa hanya untuk calon mahasiswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Jika lolos, maka semua biaya akan ditanggung pihak Universitas. Termasuk biaya hidup. Dengan syarat-syarat yang sudah disetujui di awal.

Bagian dari syarat beasiswa itulah yang membuat Farhan meragu akan jawaban Nisa nantinya. Karena dalam surat perjanjian yang ia tahu, bagi penerima beasiswa Akademik harus berstatus lajang atau belum menikah selama masih menjadi mahasiswa. Jika melanggar, maka Mahasiswa akan dicabut beasiswanya dan di Drop Out dari Universitas.

Memang Nisa belum dinyatakan sebagai penerima beasiswa akademik karena tesnya baru akan dilaksanakan bulan depan. Tapi, persiapan dan tekad gadis itu sudah matang. Ia sangat mengharapkan beasiswa ini. Bahkan Farhan yang menjadi saksinya. Mimpi ini sudah Nisa bangun sejak gadis itu mulai menginjak bangku SMA...

"Kak. Kok bengong sih. Soal yang ini gimana ?" Nisa menggoyang goyang kan tangannya di depan wajah Farhan. Laki-laki itu tersadar seketika.
"Eh. Maaf-maaf. Lagi nggak fokus.." cengir Farhan.
"Kenapa? Kakak banyak tugas kampus ya? Wajahnya dari awal kusut banget. Kayak ada beban. Mau cerita?" Tawar Nisa dengan senyumnya. Farhan membalas. Tapi dengan senyum getir...

"Nis. Kalau seandainya kamu nggak usah ikut tes beasiswa, gimana ?"
Pertanyaan Farhan yang tiba-tiba itu membuat alis Nisa bertaut. "Apaan sih maksudnya kak. Mana mungkin aku nggak ikut. Aku udah persiapin ini sejak 2 tahun lalu. Kakak kan tahu sendiri..."
"Tapi, gimana kalau kamu nggak lolos? Kamu terlalu terobsesi dengan tes beasiswa ini, Nis"
Sebenarnya Farhan tak tega berucap seperti itu. Kata-kata itu hanya akan membuat Nisa down.

Tanpa diduga, Nisa malah tersenyum "Nggak apa-apa kalau seandainya aku nggak lolos. Yang penting aku kan udah coba. Dengan begitu, usahaku nggak sia-sia. Sebenernya, poin dari ini semua bukan tentang lolos atau enggaknya. Tapi tentang gimana aku melakukan yang terbaik dalam prosesnya. Kakak kan pernah bilang. Meraih bintang itu bukanlah poin dari sebuah mimpi. Tapi bagaimana cara kita meraih bintang itulah yang menjadi titik fokusnya. Entah akhirnya kita terjatuh atau kita berhasil. Itu semua hasil di belakang. Dengan begitu, kita akan kuat untuk memiliki sejuta mimpi lagi"

Farhan terdiam. Kata-kata itulah yang ia ucapkan saat akan melakukan tes PTN. Tak ia sangka Nisa masih mengingatnya.
"Kok pinter banget sih" ucap Farhan dengan tawanya yang pahit. Ia menutupi hatinya yang seolah tersentuh karena kata-kata Nisa.

Ya. Ia tidak akan menghancurkan mimpi gadisnya. Ia akan membiarkan Nisa mencoba. Setidaknya biarkan Nisa tahu hasil dari usahanya selama ini.

Tentang Hasilnya bagaimana, akan Farhan pikirkan esok....

*****************

Bersambung

Nikah Muda (Bukan Perjodohan) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang