Pernikahan

8.6K 330 10
                                    

#3 hari sebelum pernikahan

Sejak hari lamaran itu, tidur Nisa tidak benar-benar nyenyak. Tasbih tak pernah lepas dari tangannya. Ia takut, saat ia jauh sedikit saja dari Allah, hatinya tidak akan kuat. Dan mungkin saja ia bisa mengambil keputusan gila yang akan membuat semuanya hancur. Seharusnya ia tak harus berpikir sejauh itu. Tapi, sekali lagi. Seorang wanita SANGAT MUNGKIN melakukan hal-hal gila. Ya,kan?

Oke. Kembali ke sebuah realita pahit. Apa yang bisa dilakukan dalam waktu 2 Minggu?

Nisa berpikir bahwa koneksi Abi tentulah luas. Sebuah pernikahan tentu saja sangat bisa dilaksanakan dalam tenggat waktu sesingkat itu. Tapi, sejak hari lamaran itu, tak ada kabar apapun dari keluarga mempelai pria. Nisa hanya sekali bertanya kepada Bunda kenapa tak ada persiapan apapun untuk pernikahan. Ia tentu saja tak akan berani bertanya lebih jauh karena dalam hatinya sendiri juga ada sedikit keinginan untuk kabur dari pernikahan ini. Hanya sedikit....

Tapi, bukannya setitik noda akan terlihat jelas di atas kain putih?

Ia dapat melihat raut tak enak dari wajah Bunda beberapa hari ini. Ia tahu, Bundanya tengah bingung. Tapi, Nisa memang tak ada niatan untuk masuk dalam pusaran kekalutan itu.

Sementara Farhan telah berada di rumahnya, di Jawa Tengah. Ia mengambil cuti dari kampus untuk persiapan pernikahan dan segalanya. Ia memang mengambil keputusan itu sendiri tanpa sepengetahuan orang rumah. Saat tiba di rumah, Abi terkejut melihat putranya yang sudah duduk di meja makan untuk ikut makan siang bersama.

"Loh. Kapan pulang, Han ?"

"Tadi pagi. Tiba-tiba sudah nongol saja di depan pintu. Nasihati anakmu ini, Bi" Umi berucap dengan mata yang tidak menatap Farhan sama sekali. Umi menyibukkan diri dengan piring nasi untuk Abi.

"Kuliahmu bagaimana?" Tanya Abi lagi. Farhan mendudukkan dirinya di atas kursi.

"Farhan ambil jatah cuti dari kampus 2 minggu. Abi sama sekali nggak pernah ngomongin masalah persiapan pernikahan dengan Farhan. Ini sudah H-3 bi. Farhan nggak mau pangku tangan leha-leha sedangkan Abi yang kesusahan. Jadi ya Farhan ambil jalan sendiri kayak gini"

Abi diam. Umi hanya melirik dan tetap melanjutkan makan...

"Setelah makan, temui Abi di ruang kerja"

Itulah kalimat terakhir dalam percakapan itu. Setelahnya, makan siang tersebut hanya diisi oleh suara dentingan alat makan yang terasa kering kerontang tanpa suka cita di dalamnya....


Dengan antipati, Farhan mengetuk pintu jati ukir di depannya. Menyusul sebuah salam kemudian. Itu ruang kerja Abi. Setelah salam dijawab, Farhan memutar gagang pintunya. Abi sudah duduk di sofa dengan buku Ensiklopedi Pembangunan Islam- yang mungkin tebalnya 2 kali ukuran Ensiklopedi sains- di tangan. Farhan tahu itu buku kesukaan Abi.

Suatu hari, Abi pernah bilang seperti ini "Waktu Abi mengaji kitab ta'lim muta'alim dulu, ada sebuah maqolah yang menjelaskan bahwa ilmu itu harus diikat seperti buruan. Diikat yang dimaksud disini adalah ilmu itu harus ditulis. Abi bukan keturunan orang 'Alim. Begitupun kamu, Han. Jadi tidak ada istilahnya Abi bisa mengingat ilmu hanya dengan 1 kali ucapan. Jadi semua Ilmu, semua mauidloh hasanah, amalan-amalan, semua Abi tulis. Semua masih Abi simpan. Tapi, Abi mulai berfikir. Bukannya ilmu dari ucapan orang lain itu saja tidak cukup? Jadi Abi mulai mencari sumber ilmu lain. Dengan apa? Ya tentu saja dengan membaca. Abi ingin kamu tau bahwa ilmu itu penting kedudukannya. Tapi ingat juga. Al-'adabu fauqo bil 'Ilmi. Adab itu di atas ilmu. Utamakan akhlakmu baru ilmu yang kamu dapat bisa barokah"

Sejak kecil, memang Farhan sudah dididik dengan berbagai macam pelajaran Akhlak. Baik itu teori maupun praktiknya. Abi adalah panutan Farhan. Karena dengan melihat Abi, ia tahu. Orang yang benar-benar berilmu adalah orang yang istiqomah dalam menjaga akhlaknya. Tutur kata maupun tindakan.

Nikah Muda (Bukan Perjodohan) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang