20. Masa Sulit

5.8K 216 14
                                    


Setelah sampai di kosan, Subhan memarkirkan motornya di lahan parkir tepat depan kamar. Ia melepas jaket bombernya yang sudah berat akibat hujan. Tak ada lagi yang kering di tubuh Subhan. Laki-laki itu basah kuyup dari ujung kepala hingga kaki...
Andai tadi ekor matanya tak melihat Nisa yang tengah berdiri sendirian di depan fakultas, pastilah Subhan sudah sampai di kos sejak hujan belum sederas tadi. Tapi, ia ingat tanggung jawabnya untuk menjaga istri sahabatnya satu itu. Farhan telah memberi amanah kepadanya. Yang bisa Subhan lakukan hanyalah menepati itu hingga Farhan kembali dari tholabul ilminya di Tarim. Entah sampai kapan.
Angin dingin mulai berhembus. Subhan bergidik dan segera mengeringkan tubuhnya dengan handuk yang tersampir di depan kamar. Belum sempat beranjak, smarthphone nya berdering nyaring tanda ada telfon yang masuk. Subhan merogoh waist bag miliknya-yang sudah setengah basah- yang ia letakkan di depan kursi selasar depan kamar kosan. Semua isi di dalam waist bag itu kering. Pertanda jika waist bag yang digunakan Subhan memang tahan air. Melihat nomor abuya - ayah Subhan- ia segera berdehem gugup sebelum mengangkat telefon.
"Halo. Assalamu'alaikum..." sapa Subhan lebih dulu.
Suara dalam dan berat menyahut dari sana "Waalaikumsalam, mas..."
"wonten nopo nggeh, buya ? (Ada apa ya buya?)" Tanya Subhan halus.
"mas kapan wangsul ?(pulang)"
Subhan terdiam sebentar. Jika Buya sudah bertanya seperti ini, sebenarnya itu bukan benar-benar sebuah pertanyaan. Itu merupakan ultimatum bahwa Subhan memang diharuskan untuk pulang.
"Apa ini masih menyangkut perihal masalah waktu itu, buya ?"
Subhan memberanikan dirinya untuk bertanya. Ia sebenarnya sangat takut jika harus bertanya sesuatu yang sudah diputuskan oleh abuya nya tersebut.
Subhan mendengar gumaman menyahut di seberang sana. Ia menghela nafas berat...
"sebelumnya, Subhan minta maaf sekali karena lancang memberikan opini Subhan ini kepada njenengan. Subhan belum siap, Buya. Kenapa ndak Mas Wazir saja yang Buya bebankan amanah sebesar ini. Sebenarnya dari beberapa bulan lalu Subhan ini ingin bertanya. Tapi Subhan takut akan menyinggung Buya..."
Buya di seberang sana berdehem sebentar. "Yang penting mas pulang dulu. Lusa ada pertemuan keluarga ndalem. Pertemuan rutin. Kita bicarakan disana saja untuk lebih jelasnya"
Karena merasa tak akan dapat jawaban sekarang, Subhan hanya menurut saja. Telfon ditutup setelah sama-sama mengucapkan salam. Tiba-tiba pikirannya terlempar pada beberapa bulan lalu saat ia mengantarkan kepergian Farhan. Laki-laki itu teringat pernyataan yang dilontarkan sahabatnya itu.

"sebenernya aku itu masi penasaran tentang kepulanganmu ke Banyuwangi 1 bulan lalu" Farhan berucap sambil menyenggol lengan Subhan kasar. Ia sengaja mencuri percakapan di tengah forum 'guyonan' mereka.
"oh. Urusan pribadi..." ucap Subhan pendek. Seolah tak ingin membahas lebih jauh.
"biar tak tebak. Kowe dijodohkan to ?"

Waktu itu Subhan menyangkalnya dengan cepat. Hatinya tersenyum getir. Farhan terlalu cepat pergi sebelum ia siap untuk menceritakan semuanya. Sebelum Subhan tau bahwa calon istri yang dipilihkan Abuya adalah orang yang benar-benar tidak pernah ia bayangkan untuk ia jadikan istri...
**********

**********

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nikah Muda (Bukan Perjodohan) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang