Tes Beasiswa

8.1K 359 3
                                    

Farhan terdiam seketika. Merasa terbungkam dengan perkataan sang Umi. Beliau uminya. Umi yang selama ini dikenal Farhan sebagai sosok yang baik dan bertutur kata lembut. Tak pernah sekalipun Farhan mendengar umi meng-ghibah layaknya ibu rumah tangga lain. Tapi, saat ini, kenyataan itu malah membuat Farhan merasa marah.

"Astaghfirullah! Atas dasar apa umi membandingkan Zulaikha dengan Nisa? Derajat seorang manusia itu diukur dari ketaqwaannya. Bukan berarti orang yang menghafal Al-qur'an itu adalah sebaik-baiknya insan. Hanya Allah yang tahu. Hanya Allah, Mi!" Nada suara Farhan meninggi. Sesuatu yang tidak pernah ia ucapkan pada Uminya. Seketika, tasbih terucap dari bibir Farhan...
"Maaf, Mi. Farhan sekarang benar-benar tidak tahu jalan pikiran Umi. Umi dan Abi menyuruh Farhan untuk menghalalkan Nisa. Maka dengan mantap hati, Farhan mengutarakan niat khitbah ini. Lalu, sekarang. Apa tujuan Umi mengatakan ini semua? Umi tentunya lebih paham isi hati Farhan lebih dari siapa pun"
Farhan duduk di kursi taman. Memijat pelipisnya dengan gusar. 

"Ibu mana yang tidak ingin yang terbaik untuk anaknya? Umi hanya takut kamu menyesal nantinya. Umi takut kalau kamu terlambat menyadari bahwa cinta yang kamu rasakan itu hanya nafsu belaka. Jujur, Han. Umi mendambakan menantu seperti Zulaikha. Wanita seperti itu yang bisa menemanimu ke Jannah" kata Umi.

"Tidak ada yang tahu rahasia Allah, Mi. Sebagai manusia biasa, Umi maupun Farhan sendiri hanya bisa menilai apa yang tampak oleh mata. Farhan telah memantapkan hati untuk menghalalkan Nisa. Maka tidak ada alasan yang pantas untuk membatalkan niat Farhan tersebut. Maaf, Mi. Kali ini Farhan tidak menuruti keinginan Umi. Tentang menantu idaman, biarlah nanti Farhan yang akan membentuk Nisa sesuai keinginan Umi. Insyaallah..."

Di seberang sana, sang Umi menghela nafas. " Terserah kamu saja, lah Han!" lalu terdengar suara gemerasak dari seberang. Suara Abi menyahut kemudian...

 "Bagaimana ?" Tanya Abi. Farhan diam saja. Melihat tak ada sahutan, seketika Abi mengerti pembicaraan tadi berakhir kurang baik.

"Kalau begitu, sudah kau tentukan tanggal lamarannya, Han ?"

Ditanya seperti itu, Farhan sedikit terkejut. "Beri waktu 1 bulan, Bi. Agar Nisa mengikuti tes beasiswa dulu. Baru Farhan akan melamarnya"

"Baik. Setelah melamar, Abi tidak akan memberimu tenggang waktu lebih lama. Kalian harus secepatnya menikah. Silahkan bicarakan ini juga dengan calon mertuamu. Kalau ada waktu, insyaallah Abi dan Umi akan berkunjung langsung kesana"

Farhan meng-iyakan saja. Setelah percakapan singkat setelahnya, telpon ditutup. Farhan kembali merenung. 'Menikah secepatnya' adalah mantra yang kembali diulang oleh memori laki-laki itu...

              *************

Tak terasa. Hari bergulir lalu menggumpal menjadi minggu. Hari ini adalah hari besar untuk wanitanya. Ya. Nisa akan melaksanakan tes beasiswa di Auditorium megah kampus tempat Farhan kuliah. Dan selama semenjak hari itu- hari saat Abi dan Uminya menelepon- ia bersikap di luar kebiasannya di depan Nisa. Lebih menjaga jarak tapi juga dalam waktu yang sama lebih menyayangi gadis itu. Ia tahu, akan ada kekecewaan yang mendalam di hati gadis yang masih genap berusia 18 tahun 2 bulan yang lalu ini. Ia melihat beberapa hari sebelum tes, Nisa bukannya lebih rajin belajar. Gadis itu malah lebih sering membaca Al-qur'an hingga sudah beberapa kali khataman. Bahkan ia kerap kali tertidur dengan Qur'an yang masih berada dalam genggaman. Trenyuh hati Farhan seketika. Bidadarinya berdo'a kepada Allah setelah segala ikhtiar yang dilakukannya sudah maksimal. Seperti kata ulama 'Do'a tanpa Ikhtiar itu Sia-sia. Ikhtiar tanpa Do'a itu sombong'

Farhan menunggu di depan gedung dengan was-was. 5 menit lagi ujian seleksi dimulai. Tapi belum terlihat mobil Nissan milik Bunda. Apa terjadi sesuatu di perjalanan?

Farhan menepis pikiran buruk yang terlintas dalam benaknya. Ia tetap husnudzon kepada takdir Allah. Selang beberapa detik, terdengar derap langkah tergesa-gesa dari arah parkir belakang. Farhan mengucap syukur. Rasa lega membanjiri hatinya saat melihat sosok Bunda yang bergamis navy dengan kerudung pashmina senada. Di belakang Bunda ada Nisa, dengan tas punggung florist kesayangannya.

"Assalamu'alaikum, nak Farhan. Ya allah. Maaf. Mobil bunda tadi bocor. Jadi harus ditambal dulu"

Dengan tergesa-gesa suara nafas bunda berkejaran.
"Waalaikumsalam. Alhamdulillah bunda dan Nisa sampai dengan selamat. Ujiannya baru saja dimulai. Ayo cepat-cepat ke auditorium atas"

Farhan berjalan terlebih dahulu. Ia ingin memuntahkan kelegaannya. Tapi ia sadar. Tak ada waktu untuk hal tidak berguna seperti itu. Setelah menandatangani daftar hadir, Nisa digiring sendiri ke dalam ruangan. Pendamping diharuskan menunggu di luar. Farhan tak berkata apapun untuk menyemangati Nisa karena ia tahu, Nisa tidak butuh ucapan semangat yang sharih (jelas). Ia hanya butuh do'a dari orang-orang yang menginginkan kesuksesannya.

Dengan senyum lebar, ia mengantarkan langkah Nisa untuk menghadapi perang yang sesungguhnya di dalam sana...

                **************

Tiap sujud rakaat terakhir baik dalam sholat wajib maupun sunnah, Farhan selalu berlama-lama untuk bermanja ria dengan munajatnya. Karena salah satu waktu mustajab adalah ketika sujud rakaat terakhir sholat. Ia masih ingat fadlilah tersebut yang ia dapat dari maqalah sang kyai. Sembari menunggu Nisa, ia menghabiskan waktunya di masjid kampus untuk melaksanakan sholat dhuha. Entah sudah berapa jam Farhan disana. Menunduk sembari melantunkan dzikir paginya. Ia meninggalkan Bunda di ruang tunggu pendamping peserta. Beliau tadi bilang akan menyusul ke Masjid.

Farhan menyudahi dzikirnya dengan gerakan sujud syukur. Ia bersyukur atas kehidupan yang masih Allah berikan. Serta bersyukur bahwa rasa cinta masih dipatrikan dalam hatinya. Saat melangkah keluar masjid, Farhan tak sengaja menoleh ke arah kiri tempat pintu masuk untuk para jamaah akhwat. Ia melihat seorang gadis dengan gamis ungu muda berdiri di tengah pintu masuk. Anehnya, gadis itu tak berniat masuk ataupun keluar. Dia hanya... berdiri di sana sembari memandang lurus ke arah depan.

Farhan mengucap tasbih sebab tanpa sadar ia telah memandang wajah luar biasa cantik itu begitu lama. Ia mengalihkan pandangan. Lalu bergegas memakai sepatunya. Sebelum menuruni tangga masjid yang tinggi, ia menoleh lagi ke belakang. Gadis itu masih di sana. Berdiri di tengah pintu masuk para akhwat. Memejamkan matanya khusyuk seolah ia tengah menyerap memori-memori yang ia lalui dalam masjid tersebut. Beruntung, pintu masuknya lebar. Tapi anehnya gadis itu tidak merasa malu saat para jamaah memandanginya aneh. Tentu saja. Siapa yang tidak merasa aneh ketika melihat seorang ukhti cantik berdiri di tengah pintu masuk masjid tanpa adanya suatu hajat yang berarti?

Tanpa niat ingin tahu lebih jauh, Farhan meninggalkan Masjid universitas dengan langkah cepat. Mungkin saja Bunda sudah menunggunya.

Gadis bergamis ungu itu membuka matanya. Bola mata coklat nan bening itu bersinar penuh wawasan. Ia mengambil Al-qur'annya lalu melangkah keluar masjid. Sudah lewat 5 menit dari waktu yang diberikan oleh panitia. Ia berlari kecil agar bisa cepat sampai di ruang ujiannya tadi. Melewati Farhan yang juga tengah berjalan di arah yang sama. Tetapi, keduanya sama-sama tak menyadari karena mereka sibuk dengan tujuan di pikiran masing-masing....

**********

Bersambung...

Nikah Muda (Bukan Perjodohan) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang