19

4.5K 202 12
                                    

Farhan menggendong tubuh telanjang istrinya ke kamar. Nisa dengan malu-malu menyembunyikan wajahnya dibalik dada sang suami. Farhan sendiri hanya bertelanjang dada dengan celana yang masih menggantung rendah di pinggul. Diturunkannya tubuh Nisa dengan lembut. Ia pandangi sebentar sambil tersenyum nakal...
"ih. Apasih Kak. Kok diliatin terus..." Gadis itu memerah. Bahkan warna merahnya menjalar sampai ke permukaan dada.
"Kamu cantik" Farhan berbisik rendah di telinga istrinya. Bibirnya turun hingga sampai kedua belahan surgawi itu. Nisa mendesah saat nafas panas sengaja dihembuskan Farhan...
Seperti kesetanan,tubuh Nisa melengkung tak tentu arah karena terpaan gairah yang seakan menggulungnya. Farhan tak ingin berlama-lama melakukan istimta' (Foreplay). Siang itu, akhirnya ranjang Farhan yang seminggu ini diam mulai bergoyang tanpa suara.
**********
Setelah kegiatan yang melelahkan itu, Farhan berbaring dengan mata nyalang menatap langit-langit. Sudah hampir adzan ashar, tapi farhan tidak segera mengangkat tubuhnya ke kamar mandi untuk mandi junub. Ia menoleh ke samping. Istrinya sedang tertidur pulas dengan posisi membelakanginya. Punggung polos gadis itu menjadi pemandangan indah di sore hari Farhan. Tiap selesai melakukan jima', istrinya pasti akan langsung jatuh tertidur. Orgasme menyebabkan fisik Nisa lemas dan mudah mengantuk. Farhan mendekat. Ia sejajarkan dadanya ke punggung Nisa. Ia peluk erat istrinya dari belakang. Ia serap wangi rambut itu dalam-dalam. Tingkahnya sudah mirip seperti kekasih yang akan meninggalkan pujaan hatinya untuk pergi ke tempat yang jauh...
Merasa dipeluk terlalu erat, Nisa membuka mata coklat indahnya. Ia melihat tangan kekar melingkar tepat di bawah payudaranya. "Kak.." panggil gadis itu pelan...
"hmmm" gumam Farhan sebagai jawaban.
"Susah nafas ni..." cicit Nisa pelan. Farhan terkekeh lalu mengendurkan pelukannya. Hanya mengendurkan saja tanpa niat untuk melepas.
"jam berapa sekarang" Nisa membalikkan tubuhnya untuk menghadap Farhan. Tak lupa selimutnya ia naikkan sampai ke dada. Meskipun sudah beberapa kali melakukannya, Nisa tetap merasa malu.
Farhan menyelipkan rambut ke belakang telinga istrinya. "setengah 4 sore"
"nggak mau mandi ? bentar lagi adzan Ashar lo"
Farhan menjawab dengan senyumnya. "iya. Habis ini. Tadi lagi pengen peluk kamu aja"
Menyadari ada sesuatu yang mengganggu suaminya, Nisa memberanikan diri untuk bertanya. "kakak ada masalah ? sini cerita..."
Dengan sendu, Farhan menjawab "terakhir kali kakak cerita, malah bikin kamu berakhir di Rumah Sakit" akhirnya topik itu diangkat kembali ke permukaan. Selama seminggu Farhan memendamnya dalam diam. Berniat tak ingin membahas hal itu lagi dengan istrinya.
Nisa terdiam. Diamnya Nisa seolah menjadi jawaban di benak Farhan. Ia elus rambut istrinya. "kakak akan batalin semuanya, sayang. Kakak nggak bakal pergi ninggalin kamu disini. Maaf karena kemarin nggak Tanya pendapat kamu dulu. Malah kakak memutuskan semuanya sepihak. Maaf ya..."
Tetap hening. Bahkan Nisa hanya diam menatap suaminya dengan bola mata polos nan lebar itu. Ia selami segala raut wajah Farhan. Gadis itu menelisik jauh di dasar hati suaminya bahkan hanya lewat pandangan mata. Sungguh hebat kemampuan seorang wanita...
"Jangan..." hanya satu kata itu yang terucap dari bibir Nisa sebagai respon ucapan panjang lebar Farhan. Farhan menaikkan sebelah alisnya tanda bertanya 'kenapa?' tanpa suara.
Nisa beringsut mendekat. Memeluk suaminya erat dan meletakkan pipinya di dada bidang Farhan. "Jangan ambil keputusan sendiri lagi kak. Kakak belum Tanya aku, kan? Jadi kakak gaboleh bilang apa-apa dulu"
"kakak kira kamu diem karena nggak mau diskusi masalah ini lagi..."
Nisa mengelus punggung Farhan dengan tangannya. "Diam nya seorang istri bukan berarti 'iya' dan bukan berarti 'tidak'. Akan ada penjelasan yang seharusnya kakak tanyakan. Bukan kakak simpulkan sendiri"
Farhan balas memeluk istrinya. "menurut kamu, kakak harus ambil beasiswa ke Tarim itu atau enggak ?"
"kakak di Tarim nanti tinggal dimana ?" Tanya Nisa lirih.
"di Flat khusus dengan para tholabul ilmi yang lain"
"untuk biaya hidup disana ? siapa yang menyediakan ?"
"sudah disediakan oleh lembaga disana. Sama seperti beasiswa akademik kamu disini"
"apa kakak nantinya ketika lulus juga akan dijadikan tenaga pengajar dan riset di lembaga itu ? sama kayak aku ?"
Farhan terdiam sebentar. "kemungkinan iya. Akan dilanjutkan dengan pengambilan-pengambilan sanad keilmuan yang lain"
"kakak butuh waktu berapa lama ? 10 tahun ? 20 tahun ? 30 tahun ?" saat mengucapkan itu, Nisa makin mengeratkan pelukannya.
"sampai kakak rasa cukup..."
Nisa mengangkat kepalanya. Ada sesuatu yang berkobar di mata gadis itu. "apa kakak perlu baca lagi perjanjian pernikahan ini ? apa kakak udah lupa apa tanggung jawab seorang suami ?"
Mendengar itu, Farhan terdiam.
"aku tau. Tholabul ilmi itu sama hal nya dengan berjihad di jalan Allah. Aku harus siap melepas kakak kapanpun dan dimanapun. Bahkan harus rela ditinggal yang tidak tau kapan kembalinya. Tapi dalam kasus ini kakak punya pilihan. Kakak punya kewenangan untuk membuat keputusan akan disana berapa lama. Setidaknya kakak bisa memberi harapan untuk seorang istri yang menunggu disini..."
"tapi kakak takut nggak bisa nepatin janji, Nis"
"kalo gitu gausah janji. Cukup bilang kakak bakal disana berapa lama. Dan aku bakal menjalani tiap harinya dengan keyakinan itu..." seolah begitu yakin dengan ucapannya, Nisa menatap tepat di manik mata Farhan. Meyakinkan laki-laki itu bahwa ia tidak sedang bercanda.
"10 tahun..." ucap Farhan lirih.
Nisa memejamkan mata sejenak lalu kembali menghela nafas. "kalau begitu, silahkan berangkat. Nisa bakal tunggu kakak disini dan Nisa gabakal ngelakuin yang aneh-aneh biar nggak bikin kakak khawatir disana"
Air mata Farhan hampir saja mengalir jika ia tidak menyembunyikan wajahnya di lebatnya rambut Nisa. " makasih, sayang. Tolong sabar nungguin kakak pulang..."

Nikah Muda (Bukan Perjodohan) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang