Di hari pertama aku menginjak kota Tarim, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak kembali lagi ke tanah air sebelum semua studi dan impianku tercapai. Entah harus berapa kali aku mengucapkan syukur kepada Allah karena diberikan seorang istri yang sangat mengerti kebutuhanku. Tiap harinya, aku menjalani rutinitasku yang sangat padat dengan keyakinan bahwa suatu saat, ketika aku pulang, Nisa akan menyambut kepulanganku dengan wajah berseri dan bahagia. Dengan adanya ilmu, gelar, dan seorang Istri seperti Nisa, semua terasa begitu pas dan sempurna. Aku tau di Dunia fana ini tidak ada yang benar-benar sempurna karena kesempurnaan hanyalah milik sang Khaliq.
Tahun pertama…
Semua terasa sangat sulit. Semester pertama tahun ini, kami sudah diberikan tugas menerjemah karya-karya para ulama’ besar beserta tafsir kasarnya. Aku mulai melanjutkan hafalanku yang dulu sempat berhenti di juz ke-12. Tiap harinya, aku melihat ponsel dengan keinginan menelfon yang menggebu-gebu. Aku ingin melihat wajah istriku barang sejenak. Percobaan pertama, aku gagal menahan.
“Halo, kak. Assalamu’alaikum…” aku ingat setiap note suara istriku bahkan saat suaranya belum terdengar. Tiba-tiba rasa lelahku hilang. Rinduku mulai muncul ke permukaan…
“halo, dek. Waalaikumsalam. Lagi apa ?”
“baru pulang dari kampus. Udah lama ya kakak nggak nelfon. Hehe…”
Aku terkekeh sebentar. Tapi tidak mengucapkan kata maaf. Kurasa yang dibutuhkan Nisa itu bukan hanya ‘kata’ tapi sebuah pembuktian. “Iya. Kakak kangen kamu…”
Percakapan seperti itu tidak akan berlangsung lama karena aku membatasi diriku sendiri. Aku tidak ingin konsentrasiku terbagi. Jika sampai studi ku disini terlunta-lunta, otomatis aku akan butuh waktu lebih lama dari 10 tahun untuk bisa kembali ke Indonesia.Tahun Kedua…
Semester ini, aku sudah lulus dari program Markaz Lughoh Arabiyah. Sebuah tawaran tak terduga datang dari syaikh Baihaqi, yang merupakan tangan kanan Prof. Habib. Di suatu siang, Syaikh datang ke Pondok Pesantren Ribath Alawiyah tempatku bermuqim selama di Tarim. Beliau mengajakku berbincang santai di bawah naungan pohon Qat.
“Farhan, kapan anda rencananya akan kembali ke Indonesia ?”
Syaikh Baihaqi ini merupakan tipe orang yang supel dan mengayomi tiap muridnya. Tapi beliau lah yang paling keras jika berhubungan dengan Akhlak. Di Markaz Lughoh, Syaikh Baihaqi yang bertugas mengisi pelajaran Maharotul Kalam (Speaking). Jika beliau sudah melangkah memasuki kelas, maka seluruh kepala murid akan otomatis menunduk.
“Jika Tholabul Ilmi disini sudah selesai, Syaikh. Saya harus mengambil beberapa sanad keilmuan lagi”
Syaikh tertawa lirih. “Anda itu seperti saya di waktu muda. Saya punya ambisi besar terhadap fan ilmu. Apalagi kota Tarim sudah terkenal dengan karomah para wali. Pada saat itu, saya hanya berfikir untuk menyerap segala ilmu disini hingga tak menyisakan apapun”
“lalu ? Syaikh kan sudah Al-‘Alimu Al-‘Allamah (Alim sekali) dengan pengalaman 30 tahun Tholabul Ilmi di Tarim ini”
Syaikh menggeleng. “Tidak Farhan. Saya ini hanya mengikuti apa yang sudah diperintahkan Guru saya. Saya berhenti mengejar gelar fan ilmu saat Guru saya memerintahkan saya berhenti. Waktu itu beliau berkata bahwa saya harus pulang ke rumah. Menemui ibu saya dan bersujud di kakinya. Saya mendengarkan beliau. Dan setelah satu minggu saya tiba di kampung halaman, Ibu saya meninggal. Saat itulah saya sadar. Saya tidak bisa ‘mengambil’ semuanya. Yang bisa saya lakukan adalah ‘mengambil’ apa yang saya mampu. Kamu cukup berhenti jika kamu merasa belum mampu”
Waktu itu aku benar-benar tidak paham dengan segala ucapan Syaikh Baihaqi. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“ah, Ya Allah. Saya sampai lupa tujuan saya kemari…” ucap beliau dengan kekehan khasnya.
“Prof Habib meminta anda mengajar di Markaz Lughoh mulai Lusa. Besok, anda, Farhan, bisa ke kantor untuk menandatangani kontrak tertulis”
Saat itu aku hanya menganga tak percaya. Bagaimana bisa aku yang masih lulusan kemarin sudah diangkat sebagai tenaga pengajar ?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Muda (Bukan Perjodohan) [END]
Romance[REVISI] 18++ "Maaf Nis" ujar Farhan lirih. Keheningan seperti ini sangat berbanding terbalik dari kehangatan mereka saat pacaran dulu. Ya. Mereka saling mencintai. Bahkan sudah menjalin hubungan spesial sejak kelas 1 SMA. Tapi, kenapa pernikahan i...