Nisa mengintip keluar kamar mandi. Memastikan jika Farhan belum ada di kamar. Saat kamar pengantinnya kosong, ia mendesah. Luar biasa lega...
Kakinya melangkah keluar. Ia mengenakan baju tidurnya yang berbahan satin. Nisa tak memiliki baju tidur lain yang lebih tertutup. Hanya ini baju tidurnya yang berlengan panjang. Selama ini, ia tak pernah berpikir sedikitpun untuk memperhatikan penampilan sebelum tidur. Toh hanya ia dan bundanya saja yang melihat.
Tapi... ekspektasi hanyalah ekspektasi. Ia sempat berpikir akan tidur dengan gamisnya saja. Tapi, bukannya akan terlihat aneh?
Tiba-tiba Nisa merasa risih saat menyadari bahwa Farhan akan melihatnya tidur tanpa memakai jilbab. Ini hal yang baru. Juga.... pertama baginya. Gadis itu berjalan mondar-mandir di dalam kamar dengan rambut panjangnya yang masih basah. Berkali-kali memakai lalu melepas jilbab instan miliknya.
'Nisa. Dia suamimu...' kata hatinya berulang kali menyadarkan. Mereka sudah halal. Bahkan Farhan bisa saja menuntut hak lebih dari sekedar melihat rambutnya. Nisa menggelang pelan. Memegang pipinya yang memanas. Farhan tak akan meminta haknya malam ini, kan? Ia tadi sudah bilang belum siap!
Banyak pikiran yang mengganggunya. Salah satunya tentang ciuman tadi. Ciuman pertamanya seharusnya bisa lebih dari itu. Iya, kan? Jangan bilang kalau pikirannya salah karena terlalu vulgar...
"Ya allah. Bagaimana aku bisa tidur malam ini" rengek Nisa. Ia mengkhawatirkan sesuatu yang 'belum' mungkin terjadi. Jika dipikir-pikir lagi, Nisa seharusnya merasa sedih. Ini malam pertamanya. Dan ia sudah ditinggal pergi oleh Farhan...
Pengantin normal mana yang malah lega dengan kenyataan itu?
Sebuah pikiran tiba-tiba muncul. 'Apa ia sudah keterlaluan pada suaminya ?'
Di lain tempat, Farhan masih menunggu. Entah apa yang ia tunggu. Ia hanya mengulur waktu agar tidak memasuki kamar pengantinnya terlalu cepat. Ia berusaha memahami permintaan Nisa.
"Nak Farhan. Udah malam kok masih disini? belum ganti baju, lagi..." tegur seseorang dari belakang. Farhan memutar badan lalu tersenyum saat melihat Bunda.
"Nggak papa, Bun. Farhan lagi cari angin. Kebun bunga bunda kalo malem jadi 2 kali lebih indah" kata laki-laki itu kemudian tertawa sendiri. Bunda ikut tertawa. "Nggak takut ada jurig (hantu) nih ? Biasanya ada noni-noni belanda kelihatan di sekitar tanaman bunga bunda"
Farhan menoleh. Tapi laki-laki itu tidak menunjukkan wajah ketakutan. Dari ekspresinya, ia seakan berkata "Bunda serius lagi nakut-nakutin Farhan ?"
Kemudian Bunda terkekeh pelan. Beliau mengeratkan sweater coklatnya agar angin malam tak membuatnya masuk angin.
"Dulu, surga Nisa ada di telapak kaki Bunda. Hari ini, Nisa adalah pelengkap agamamu dan selamat tidaknya ia di akhirat ada di telapak tanganmu, Nak..." Bunda menatap lurus ke depan. Berucap tenang. Setenang angin malam yang berhembus di sekitar mereka. Sebenarnya, Bunda tidak perlu berkata seperti ini karena ia tahu betul menantunya telah paham tentang fiqih munakahat (hukum2 dalam pernikahan).
"Bunda hanya meminta, jadilah surga yang mudah dijangkau oleh Nisa..."
Farhan menoleh. Merasa bingung. Apa maksud dari 'surga yang mudah dijangkau'?
"Jika istrimu salah, tegurlah dia. Beritahu kesalahannya. Jika istrimu tidak sengaja melukai hatimu, maafkanlah dia. Cairkanlah rasa sakit di antara kalian dengan cinta. Jika dia tidak bisa menyenangkan hatimu, jangan berpura-pura senang sedangkan hatimu menyimpan rasa nelangsa. Ungkapkan. Lalu beri dia kesempatan memperbaiki. Hal-hal kecil seperti itu dapat mendatangkan Ridlo dari Allah. Begitupun murka dari-Nya..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Muda (Bukan Perjodohan) [END]
Romance[REVISI] 18++ "Maaf Nis" ujar Farhan lirih. Keheningan seperti ini sangat berbanding terbalik dari kehangatan mereka saat pacaran dulu. Ya. Mereka saling mencintai. Bahkan sudah menjalin hubungan spesial sejak kelas 1 SMA. Tapi, kenapa pernikahan i...