Dua Puluh Tiga

345 80 8
                                    

Yong Hwa menepikan mobilnya di Sungai Han. Ia perlu seseorang untuk ia tanya tentang masalah kepala butler Seoul Hotel, tapi tidak tahu harus kepada siapa? Kim Dong Il mungkin akan membiaskan lagi fakta, Yong Hwa sudah tidak mempercayainya. Apa Choi Woo Jin Ajhussi bisa menjelaskan itu tanpa ada yang ditutupi kepadanya? Dia juga salah satu yang sangat dipercaya ayahnya, pasti akan menutupinya. Lalu siapa jaksa yang akan bersikap netral, tidak memihak pada ayahnya?

Tanpa dapat ditahan matanya terasa perih. Hal yang paling ditakutkannya sejak awal adalah ayahnya melakukan penyimpangan untuk menggapai apa yang telah diraihnya saat ini. Menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan, terlebih dengan jabatan strategis seperti jaksa agung, tentu bukan tanpa kompetiter. Dan setiap kompetiter tentu juga bukan hanya orang biasa saja, melainkan orang-orang luar biasa dengan prestasi membanggakan. Dan ayahnya berada pada posisi puncak yang tentu juga diinginkan banyak orang.

Yong Hwa menghela napas dalam. Angin di sekitar sungai Han yang bertiup kencang seperti menampar-nampar wajahnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Siapa yang harus ia temui yang bisa menjelaskan padanya tentang apa yang sebenarnya terjadi?
📎

Shin Hye menekan lagi nama pada layar smartphone-nya, membuat panggilan. Tapi seperti sebelumnya tidak ada sahutan. Sepertinya pemilik nomor kontak yang ia panggil itu tidak mendengar atau sengaja mengabaikannya. Setelah berkali-kali, Shin Hye akhirnya bosan. Apa yang terjadi? Biasanya Yong Hwa tidak pernah membiarkan hingga panggilan ketiga. Baru 1-2 kali panggil pun akan langsung disahutinya. Apa dia sangat sibuk?

Shin Hye menatap layar smartphone-nya. Akhirnya ia menulis pesan :

Mwo-hae? Sibuk?

Jika sibuk, telepon aku begitu tidak sibuk!

Smartphone Yong Hwa tampak tidak mati tapi juga tidak aktiv. Shin Hye akhirnya memasukan benda slim itu ke dalam saku coat-nya. Sudah 4 hari berkas rekam medis ibunya dibawa Yong Hwa, dari janjinya yang hanya 3 hari. Terang ini sangat mencemaskannya. Yang paling ia khawatirkan Yong Hwa tidak mengembalikan rekam medik itu karena suatu alasan. Bagaimana jika Yong Hwa hanya menipunya? Shin Hye meremas rambutnya gemas dengan kecerobohannya. Harusnya salinannya saja yang ia berikan kepada Yong Hwa. Tapi semoga bukan itu alasan Yong Hwa belum mengembalikan rekam medis itu. Semoga karena Yong Hwa sedang sibuk saja.
📎

Yong Hwa memacu roda empatnya dengan kecepatan tinggi menembus malam yang pekat. Tiba-tiba saja dalam benaknya melintas sosok Tetua Cha Jae Ok. Guru besarnya di fakultas Hukum dan sosok yang sangat dihormati ayahnya. Mereka pun cukup dekat. Cha Jae Ok yang juga pernah menjadi dosen ayahnya itu untuk waktu yang cukup lama pernah menjadi tempat ayahnya berkonsultasi, atau bahasa kerennya menjadi penasehat ayahnya. Yong Hwa berpikir, meminta nasehatnya mungkin akan sangat membantu.

Cha Jae Ok atau Halabeoji Yong Hwa memanggilnya, sudah lama pensiun. Dan menikmati masa purna baktinya di sebuah desa dekat Vihara. Yong Hwa menuju tempat itu sejak matahari condong ke barat, sekembalinya dari sungai Han. Dan belum setengahnya perjalanan kala smartphone-nya berdenyit menginformasikan ada panggilan masuk. Ia tidak mempedulikannya. Lalu nada notifikasi pesan masuk, ia pun tidak bergeming. Ia ingin segera tiba di tujuan.

Dan tepat dengan turunnya kabut, Yong Hwa tiba di halaman sebuah rumah. Halabeoji tampak kaget dengan kedatangannya yang mendadak tanpa kabar berita sebelumnya itu. Tapi juga tidak menyembunyikan raut bahagianya.
"Aigo... Nugu-ya? Yong Hwanie?" sambutnya setelah jelas dipenglihatannya siapa yang datang.
"Halabeoji, annyong-hasmikha?" Yong Hwa langsung memeluknya.
Cha Halabeoji tinggal berdua dengan istrinya yang juga sudah sepuh. Keduanya orang-orang yang berkecimpung di bidang hukum meski berbeda profesi. Karena Harmeoni seorang hakim.

Harmeoni pun sama menyambutnya dengan suka cita. Yong Hwa membawa oleh-oleh makanan kesukaan pasangan lansia itu. Yakni sop ayam ginseng dengan hottoek. Malam itu Yong Hwa tidak membicarakan apa pun, hanya menyampaikan kondisi kedua orang tua dan tempat kerjanya. Setelah itu ia tidur dengan sangat nyenyak setelah menempuh perjalanan cukup jauh dan suhu yang rendah membuatnya sangat nikmat berada di bawah selimut tebal.

Saat matahari naik sepenggal di langit belahan timur, sambil menikmati kopi panas dan ubi rebus, Yong Hwa pelan-pelan menyampaikan apa yang membuatnya datang ke tempat itu.
"Halabeoji pasti tahu kejadian 14 tahun lalu bukan? Saat Abeoji menjabat jaksa kepala wilayah." tanya Yong Hwa.
"Pembunuhan chaebol di hotel maksudmu?"
"Nde. Ada anak seorang kepala butler hotel yang ingin menguak lagi kasus itu. Sebab kematian ibunya ia dengar tidak wajar. Dan lewat pengakuan seorang saksi kunci kasus itu, Dong Il Samchun pun terlibat. Aku sudah konfirmasi hal itu kepada Samchun, Dong Il Samchun membenarkan. Bagaimana kasus itu sebenarnya, Halabeoji? Aku harus tahu kebenarannya meski itu akan menyakitkan sebab aku adalah penerus Abeoji." tatap Yong Hwa penuh harap orang tua itu akan mau membuka mulut atas apa yang terjadi.

Terlihat Cha Halabeoji menghela napas dalam. Berat untuk menceritakannya. Orang tua itu justru sangat suka ketika mendengar Yong Hwa tidak menunjukan kinerja yang baik. Suka Yong Hwa tidak menunjukan minatnya di dunia peradilan dan ambisius seperti ayahnya. Sebab saat Yong Hwa ingin bekerja dengan baik, hal seperti ini pasti terjadi. Tetua Cha tahu karakter Yong Hwa yang polos dan jujur. Kesukaannya terhadap musik menunjukan pribadinya yang sangat menjunjung tinggi kejujuran. Karena musik elemen kejujuran yang tidak dapat dimanipulasi oleh alasan apa pun.

Seperti kata pepatah, bermusiklah! Maka kau akan jujur terhadap dirimu sendiri. Jujur terhadap lingkungan dan jujur terhadap Sang Pencipta. Dan cobalah bermusik namun tidak jujur, kau tidak akan mendengarkan melodi indah nan harmonis mengalun. Musik ejawantah dari apa yang kau rasakan. Refleksi dari pikiran dan hatimu.

Yong Hwa membeku diam usai Tetua Cha bercerita. Ia bahkan menolak makan siang yang telah disediakan tuan rumah. Telinganya terasa sakit seperti yang disambit benda tajam. Dan hatinya jauh lebih sakit lagi. Ia malah pamit untuk berjalan-jalan sambil menenangkan hatinya yang bergolak. Smartphone-nya yang ia tinggalkan di rumah Halabeoji menjerit-jerit memintanya menjawab panggilan itu. Cha Harmeoni hanya menatap tanpa mengerti benda itu harus diapakan supaya tidak berisik.

"Seharusnya masalah itu jangan diceritakan oleh kita. Biar ayahnya saja yang mengatakannya." Harmeoni menyesalkan tindakan suaminya.
"Untuk membuat dia semakin terluka?" tatap sang tetua dengan sorot menyesal, tapi ia tidak punya pilihan. Jika ia tetap membungkam pun Yong Hwa akan terus mencarinya kesana kemari sampai apa yang diinginkannya dia dapatkan. "Aku hanya mempercepat waktunya saja mengatakan kebenaran padanya, sebab cepat atau lambat kebenaran tetap akan terungkap. Darimana pun dia mendapatkannya." tandasnya membenarkan tindakannya itu.
"Dia masih muda untuk memahami semua yang dilakukan ayahnya." bantah Harmeoni. "Dia juga masih belum punya pengalaman cukup untuk melihat masalah ini dengan kedewasaan."
"Justru dia sudah dewasa makanya mencari tahu, jika dia masih berpikir seperti anak kecil dia tidak akan penasaran dan tidak akan peduli tentang insiden itu."

Harmeoni yang menghela napas sekarang. Untuk setiap keberhasilan selalu dibutuhkan pengorbanan. Baik diri sendiri yang berkorban, atau orang lain yang terpaksa menjadi korban. Sedari dulu sejak jaman nenek moyang, tidak ada yang gratis untuk mendapatkan tampuk kekuasaan. Bahkan sejak jaman Adam dan Hawa. Pasangan manusia pertama yang berada di muka bumi itu pun harus menebusnya dengan sangat mahal untuk menjadi penguasa bumi meski tanpa ada kompetiter. Dan pertikaian putra-putri Adam dan Hawa seperti mengajarkan manusia, bahwa sah adanya mengorbankan orang lain demi meraih ambisi pribadi.

TBC

Ubi. Kenapa camilannya mesti ubi ya...?

Justice of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang