Karina rindu rumahnya yang lama. Dia merasa nyaman mendaki ratusan tangga yang kerap membuatnya tergelincir kala musim dingin. Dia rindu sapaan teman sepermainan ataupun tetangga yang lain. Dia rindu bergelantungan di loteng untuk kabur kala ibunya melarang Karina keluar rumah.
Dia rindu kebebasannya. Namun, sekarang Karina punya jadwal ketat yang harus ditepati. Kapan bangun tidur, kapan makan, kapan main dan kapan dia bisa tidur lagi. Karina harus melakukannya secara sistematis sesuai jadwal. Jika tidak, Heesung bakal menceramahinya habis-habisan.
Sudah hampir lima belas tahun dia tinggal satu atap di kondominium milik ayah tirinya. Kehidupannya yang serba sederhana berubah drastis. Gaya tampilan Karina masih tetap kasual. Namun, dengan label merek yang membuatnya sedikit wah daripada orang lain.
Karina jelas benci tampilan semacam ini. Ini bukan hartanya. Ini harta Heesung dan ayah tirinya. Bahkan Karina tidak mengakui dia punya ayah tiri. Seandainya boleh memilih, Karina lebih suka tinggal bersama ayah kandungnya nun jauh di pulau terpencil. Tapi dia tak bisa meninggalkan ibunya seorang diri diawasi oleh Heesung.
Karina melangkah masuk dengan enggan. Gadis itu menekan tombol lift yang menuju lantai rumahnya. Kemudian pintu lift berdentang lagi. Muncul seseorang berwajah sangat tampan dengan hidung mancung. Pemuda itu mengangguk sopan lalu menekan tombol yang sama dengan lantai Karina.
Pemuda itu sibuk memainkan ponsel. Karina melirik sekilas. Dia tak pernah melihat pemuda itu. Barangkali penghuni apartemen yang baru. Atau mungkin si pengunjung yang kebetulan ada urusan dengan penghuni apartemen sebelah.
Setengah menit kemudian mereka keluar bersamaan menuju lorong pendek. Karina langsung berbelok ke kanan, mengabaikan si pemuda yang bingung mencari pintu. Setelah menekan pintu password rumah, Karina masuk ke dalam rumah.
Langkahnya terhenti seketika. Dia menyadari ada sepasang sepatu putih yang amat familier. Dulu Karina pernah membantu suami baru ibunya belanja sepatu di kawasan Apgujeong. Karina yang memilihkan sepatu itu. Dan seandainya dia tahu untuk siapa sepatu itu, tentu saja Karina tak sudi mendampingi Lee Sangyeob keliling toko. Dan sepatu itu jelas milik Heesung.
Karina memutar mata, lalu melepas sepatunya. Dia mendesah jengkel. Baru saja Karina membicarakan Heesung di taman, pemuda itu muncul begitu saja.
Hebat!
Banjir ceramah bakal menerpa telinganya.
"Aku pulang," sapa Karina ogah-ogahan naik ke lantai dua. Dia ingin secepatnya masuk kamar. Menyembunyikan dirinya sendiri di balik selimut tebal.
Tetapi aroma sup ayam menggugah perutnya kembali lapar. Badannya mengkhianati pikirannya untuk main petak umpet dari Heesung.
"Kau sudah pulang, Karina-ya?" tanya ibunya riang. Tangannya sibuk menyendok nasi di mangkuk Sangyeob.
"Iya. Aku sudah pulang," balas Karina penuh harap ke meja makan. Setengah lingkaran burger tidak cukup mendongkrak tenaganya selama beberapa jam ke depan. Perutnya masih saja lapar.
Hanya Heesung yang bisa menahan kedua kaki Karina bertahan untuk tidak mendekat. Karina tak perlu melihat bahwa Heesung mengacuhkan dirinya. Bahkan ibu Karina pun tak dianggap keberadaannya.
Tetapi Karina dan ibunya sudah terbiasa diperlakukan seperti itu.
"Tidak bergabung makan malam, Sayang?" Ayah tirinya mengajak Karina makan malam bersama.
"Aku sudah makan. Hari ini aku ingin tidur awal."
"Setidaknya, makanlah bersama kami. Heesung baru pulang dari Jepang. Masa kau tidak mau bergabung?" desak Sangyeob melambaikan tangannya.
Meski pun hati Karina gamang, dia tetap saja takhluk dengan permintaan Sangyeob yang kebapakan.
"Aku sudah kenyang."
Heesung meletakkan sumpit di sebelah mangkuk. Nasinya tak sampai setengah yang dihabiskan. Semestinya ini sudah kelewat parah untuk membuat Karina tak enak hati. Paling tidak kesannya Karina sudah mengusir Heesung di acara makan malam bersama keluarga.
"Aboji, setelah makan malam, aku akan pergi ke Gyeonggi. Temanku mampir sebentar untuk memberimu oleh-oleh." Heesung bangkit berdiri. Dia melirik layar ponsel yang berkedip. Kemudian diangkat panggilan yang masuk.
"Kenapa lama sekali? Ah... Tekan saja nomor 602." Heesung segera mematikan ponsel. Lalu terdengar suara pintu berdering. Buru-buru ibu Karina membukakan pintu.
Karina benci berada dalam situasi canggung semacam ini. Hanya bertiga dengan ayah dan saudara tiri. Dia merasa seperti ditelantarkan.
"Aboji, aku sudah makan malam sebelumnya. Maafkan aku. Sepertinya aku tak sanggup makan sesuap lagi." Karina bangkit dari kursinya. Dia tak mau merusak hubungan antar anak dan ayah yang jarang sekali tampak.
"Ibunya susah payah memasak, malah keluyuran tak jelas dan pesta makan di luar." Gumaman Heesung terdengar nyaring di telinga Karina. Meskipun suaranya pelan, tetap saja seperti Heesung berteriak dengan mikrofon di lubang telinga adik tirinya.
Karina berkedip satu kali. Matanya menatap lurus kedua tangan yang terkepal di atas pahanya. Dia ingin marah, menghamburkan makian kasar untuk Heesung. Kata-kata pria itu keterlaluan sekali. Apa Heesung tak tahu kenapa Karina berusaha menahan napas selama berada di rumah ini?
Pria ini....
Heesung lebih sering di luar rumah. Menghabiskan banyak waktu untuk bidang akademis. Sesekali dia kelayapan di berbagai pub.
Buru-buru Karina menyingkir. Dia tak ingin diketahui sebagai bagian keluarga Lee. Apalagi sebagai adik tiri Heesung. Hanya tunggu waktu saja kalau Jake membongkar rahasianya. Karina bergegas naik ke lantai dua. Dia menutup pintu pelan-pelan.
Di bawah, tampak ribut ketika teman Heesung disambut hangat oleh Sangyeob. Apalagi Heesung berteriak kesal karena temannya membawakan daging hanwoo yang mahal untuk ayahnya.
Karina iri. Tentu saja. Dia ingin berteriak heboh. Mengenalkan teman-temannya pada ibunya. Mengajak bermalam di kamarnya atau mengundang mereka makan malam. Tapi dia tak bisa. Ibunya dengan tegas melarang Karina melakukan itu.
"Ah... Bahkan, bernapas pun susah," gumam Karina meringkuk di balik selimut. Dia semakin lapar dan ingin keluar rumah untuk membeli kimbab segitiga berisi daging tuna. Tapi selama Heesung dan Chansung masih di apartemen, Karina tak akan bisa melakukan apapun.
Perut Karina semakin melilit. Dia mencari obat hijau pereda asam lambung. Satu butir pun tak ada di berbagai laci. Karina tak sanggup menahan laparnya. Kemudian dia merebahkan diri di ranjang, mengganjal perut dengan kedua tangan.
Biji-biji keringat menetes di sekujur tubuh. Karina menguatkan diri untuk tidak berteriak. Apalagi samar-samar Sangyeob masih mengobrol dengan tamu Heesung di bawah.
"Ya Tuhan, kapan mereka keluar?" batinnya meronta.
Kemudian tanpa perhitungan panjang lagi, Karina meraih dompet. Dia membuka pintu, keluar dengan terburu-buru tanpa pamit ke anggota keluarga lain. Kecepatannya setara angin tornado. Sebab rasa lapar membuat Karina lebih suka terjun dari ketinggian gedung berlantai 10 untuk santap malam di depan minimarket.
~~~~
Vote jangan lupa ya, Gaesssss. 😚😚😚😚
Bwi, 04 Agustus 2021
~~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Way Back Home || ENHYPEN AESPA [End]
FanfictionKarina ingin pulang ke rumah, tetapi dia malah tersesat dalam liku keluarga. Perpisahan menggores banyak luka di antara keluarga. Tiga pria berebut perhatiannya. Siapa yang sangka, salah satunya sangat menginginkan Karina lebih dari sekadar adik. Ap...