Keputusan Kita

20.5K 376 12
                                    

Arbi

Seminggu ini, aku berusaha sabar menghadapi sikap Maris yang di luar batas. Dia tetap bertahan pada keputusannya untuk bercerai.

Dengan maksimal aku berusaha untuk tetap mempertahankan pernikahan.

Tapi dengan kejadian tadi malam, rasanya aku sudah tidak bisa mengendalikan diri untuk tetap sabar. Aku bukan orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.

Yang digenggam Maris semalam benar-benar membuatku muak, bagaimana mungkin dia membawa pil anti hamil, aku sempat bertanya-tanya apakah dia sudah meminumnya sejak awal kami menikah? Segitu bencinya kamu sama aku Ris? Sampai-sampai kamu senekat ini?

"Woi bro, mau sampe kapan lo kek gini?" Tanya Irkaz membuyarkan lamunanku.

"Berisik lo!"

"Udah lama banget gue gak liat lo kaya gini, bahkan lima tahun lalu saat lo diputus Maris. Lo juga gak sampe segininya." Aku menghela nafas berat.

"Semua permintaan lo udah gue proses, tinggal tanda tangan aja. Lo yakin mau cerai?"

"Kalo belum yakin, mending lo amanin dulu deh keadaan hati sama pikiran lo. Jangan mendadak gila gini!" Celetuk Irkaz.

Lagi-lagi aku hanya diam membeku. Aku menerawang jauh ke arah masa lalu yang pernah aku alami. Hingga kini, Maris adalah satu-satunya orang yang mengisi penuh ruang dalam hatiku. Aku selalu berusaha membahagiakan dia. Apa mungkin menerima permintaan cerainya adalah hal yang membuat dia bahagia? Mungkin kata Irkaz ada benarnya juga. Aku harus memikirkan ini matang-matang.

__________

Maris

Hampir dua minggu ini hidupku terasa hampa, aku hampir tidak tau lagi harus bagaimana. Arbi tidak memberi kabar sampai detik ini, aku juga belum mendapat konfirmasi dari pihak pengadilan tentang pengajuan perceraian.

Hal yang paling membuatku bingung dan hampir ingin menyerah adalah saat aku menemukan tespack yang sempat aku pakai sebulan lalu, hasilnya membuatku tercengang.

Karna tanda yang ada disana justru menunjukkan strip dua. Yang artinya aku positif hamil.

Aku dibuat frustasi saat itu, dua hari kemudian aku segera ke dokter untuk cek agar lebih akurat. Dan ternyata aku benar-benar hamil.

Ini sungguh membuatku bimbang, bagaimana dengan anakku nanti jika aku bercerai, sebelumnya aku tidak berfikir sampai ke arah ini. Karna setahuku aku memang tidak hamil, aku sempat sedikit curiga karna tidak mendapati tamu bulanan, aku juga sering pusing dan mual. Apalagi setelah dua minggu hidup di apartement, aku sering tiba-tiba kepengen makan yang asam-asam.

Drttt...drrrttt!

Bunyi dering ponsel membuyarkan lamunanku.

"Hallo ma," Sapaku, ternyata yang telfon mama mertua.

"Maris kamu lagi apa sayang? Semenjak berselisih dengan Arbi, kenapa kamu gak ada kabar?" Pertanyaan mama membuatku sedih. Kedua orangtuaku dan kedua orangtua Arbi sudah sama-sama tau tentang permasalahan kami, mereka sepenuhnya melimpahkan perselisihan rumah tanggaku dengan Arbi untuk kami tangani sendiri, mereka tidak mau ikut campur. Tapi tetap banyak membantu apapun yang kami butuhkan.

"Maafin Maris ya ma," Ucapku lemah.

"Sayang main dong ke rumah, mama kangen banget sama kamu." Ucap mama di balik telfon, aku tau mama sedang berusaha menahan tangis.

In Fine WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang