Tiada Ujungnya
"Aku gak masalah kamu masih mau tinggal di rumah mama, gak pa-pa sebetah kamu. Tapi yang jelas kita nggak akan pernah cerai!" Ucap Arbi sembari mengambil tas kerjanya.
Setelah pertengkaran semalam, aku dan Arbi bermalam di rumah mama. Meskipun Arbi akhirnya tidur di kamar tamu, pagi ini dia masuk kamarku untuk mandi. Aku baru saja bangun setelah dia selesai bersiap untuk berangkat ke kantor.
"Aku berangkat dulu, jaga kondisi kamu," Ucapnya lagi. Aku masih diam tak bergeming. Saat aku bersiap-siap beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba Arbi kembali lagi masuk kamar.
"Mama nunggu kamu di bawah, bangunlah kamu belum sarapan." Serunya sembari menutup kembali pintu kamar.
Aku merasa bersalah dengan situasi ini, bingung harus bagaimana. Tapi aku tetap teguh pada pendirian ku untuk bercerai, aku nggak mau nyakitin Arbi lebih dari ini.
***
"Ris, mama mau bicara sama kamu," Celetuk mama saat aku sampai di ruang makan.
"Ada apa sih ma, aku mau sarapan nih!" Jawabku malas.
"Kamu yang kenapa, kok bias-bisanya kamu sembarangan minta cerai gitu aja. Kamu harusnya denger dulu dong penjelasan Arbi!"
"Ma aku udah tau semuanya, gak ada yang perlu dijelasin lagi."
"Ris, pernikahan kamu sah dimata agama dan negara, jangan main main sama pernikahan ini!" Tegas mama.
"Mungkin dengan bercerai semua akan baik-baik aja ma," Air mataku akhirnya berjatuhan.
"Gak, mama gak setuju! Apapun yang terjadi, pernikahan kamu harus tetap utuh, gak ada perceraian dan mama mau, nanti sore kamu pulang sama Arbi."
"Mama ngusir Maris?"
"Iya mama gak mau kamu di rumah ini, kamu sudah punya rumah sendiri kan sama Arbi. Pulang ke rumah kamu sendiri! Selesaikan masaah kalian dengan baik." Bentak mama sembari pergi dari ruang makan.
***
Sore harinya, Arbi benar-benar menjemputku di rumah mama. Aku terpaksa ikut karna mama gak mau Aku tetap di rumahnya, perasaan bingung semakin membuncah.
"Ma, Pa. Arbi dan Maris pamit pulang dulu ya, maaf sudah banyak merepotkan kalian," Ucap Arbi sopan saat kami sampai di garasi.
"Gak pa-pa Bi, kalian baik-baik ya di rumah. Jangan berantem mulu! Tolong jaga anak mama yang egois banget ini ya." Celetuk mama sembari memberi lirikan maut ke arahku.
"Baik ma,"
"Hati-hati Bi, jangan ngebut." Pesan papa. Arbi mengangguk pelan lalu bergegas melajukan mobil untuk pulang.
***
Arbi
Di mobil, kami hanya saling diam tidak ada yang memulai pembicaraan, sampai akhirnya aku gak tahan dengan situasi yang membosankan.
"Mau mampir cari makan dulu gak?" Tanyaku basa-basi sekedar berusaha memecah keheningan.
"Gak usah aku mau langsung pulang," Jawab Maris singkat.
"Aku mau proses perceraian kita diurus secepatnya, apapun yang terjadi." Ucap Maris tiba-tiba.
"Kenapa kamu tetap keras minta cerai dari aku?" Tanyaku semakin bingung dengan tingkahnya.
"Dari awal, kita memang tidak seharusnya menikah!" Jawabnya ketus.
"Nggak akan ada perceraian diantara kita, apapun yang terjadi aku tetap akan mempertahankan rumahtangga ini." Ucapku dingin, yang semakin menciutkan nyali Maris untuk bicara.
***
Maris
Sudah seminggu ini, aku kembali tinggal dengan Arbi di rumah kita berdua, entah mengapa aku merasa banyak perubahan dari dalam diri Arbi. Tentunya yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dia jauh lebih sabar, pengertian, dan tidak pernah marah dalam hal apapun. Meskipun aku seringkali membuat dia jengkel.
Semakin dia baik, semakin aku merasa sangat bersalah dengannya. Karena itu, aku tetap menuntut cerai dari Arbi. Aku merasa bukan perempuan baik-baik untuk bersanding dengannya.
"Ris, kamu nggak makan malam?" Tanya Arbi tiba-tiba, Aku masih diam, tak menjawab pertanyaannya. Aku menatap Arbi dari pantulan cermin meja rias. Dia tampak berjalan ke arahku.
"Ayo makan dulu, aku udah pesenin soto babat permintaan kamu. Kata mama kamu pengen soto babat kan?" Ucapnya sembari menyentuh pundakku.
"Aku gak mau makan sebelum kamu proses surat perceraian kita,"
"Ya Tuhan, Ris. Mau sampai kapan kamu kaya gini? Gak akan pernah ada perceraian di antara kita!" Jawab Arbi masih dengan nada sabar.
"Aku pokoknya ingin cepat cerai dari kamu akhh aw sakit...!" Belum selesai aku bicara tiba-tiba perutku terasa kram.
"Maris kamu gak papa kan?" Arbi mencoba meraih pergelangan tanganku, namun aku menampik sampai butiran-butiran obat yang aku genggam sedari tadi jatuh berhamburan.
Arbi terkejut melihat beberapa butir obat terjatuh dari genggamanku.Aku mencoba meraih tapi Arbi dengan cekatan segera memungut obat-obat tadi.
"Apa apaan ini?" Bentaknya.
"Segitu bencinya kamu sama aku Ris, segitu jijiknya kamu sama aku? Apa segitu gak maunya kamu hamil anak aku?? Itu alasan kamu ambil cara kaya gini?" Aku sangat terkejut melihat Arbi yang semarah ini. Dia bahkan tidak sampai seperti ini saat aku meminta putus dulu.
"Arbi, Aku aku.."
"Gak ada yang perlu dibicarakan lagi, detik ini juga aku turuti kemauan kamu. Kamu minta cerai kan? Oke aku ceraikan kamu! Akan aku proses secepatnya semua keperluan perceraian kita puas!" Bentak Arbi sembari keluar kamar dengan membanting pintu.
Aku udah gak tau lagi harus gimana, air mataku tidak bisa ditahan. Rasanya dunia mendadak hancur berkeping-keping!

KAMU SEDANG MEMBACA
In Fine Wedding
Romance[READY EBOOK😍] Ini tentang masa lalu, yang sempat kau tolak takdirnya bersamamu. Ini tentang kesalahanmu, memilih yang tidak pasti padahal itu bukan yang seharusnya denganmu. Karna jodoh tak pernah salah tempat, apalagi keliru alamat. Sejauh apapun...