Tamu Bulanan

20.3K 985 2
                                    

Maris

Setelah selesai sarapan, aku segera menuju ke kamar untuk beres-beres. Gak nyangka keadaan kamar berantakan kaya abis terguncang gempa bumi.

Aku jadi ngebayangin gimana liarnya kami semalam hha!
Aku menyibak selimut, ada bercak darah menempel disana menembus ke dalam kasur.

Aku hampir menitikkan air mata, aku udah gak perawan lagi?

"Kenapa Ris?" Tanya Arbi tiba-tiba.

"Gak pa-pa! Itu darahnya, aku gak yakin bisa ilang pas dicuci." Jawabku sembari menunjuk ke arah bed dan selimut.

"Justru gak usah dicuci, disimpen aja. Buat kenang-kenangan!" Arbi mengambil alih selimut yang tadinya mau ku lipat.

"Mau kamu apain?" Tanyaku penasaran.

"Disimpen di lemari jangan dibersihin."

"Dasar gila!" Gerutuku,

"Apa?"

"Ah, enggak kok cuma aneh aja sama sikap kamu!" Sarkasku celingukan.

***

"Kamu gak berangkat kerja?" Tanyaku pada Arbi yang tengah asyik main PS. Padahal sudah hampir jam sepuluh.

"Enggak, males."

"Dasar! Se-enaknya jadi orang!" Aku mendengus sembari duduk di sampingnya, membuka pesan dari Nian tentang ijin cutiku hari ini. Aku sengaja ijin tidak masuk kantor karna mendadak perutku sakit.

"Gak pa-pa aku kan bosnya."

"Sombong bener!" Aku mencibir,

"Kamu kenapa bolak balik ke kamar mandi?" Tanya Arbi.

"Perut aku sakit,"

"Kenapa? Mual? Diare? Kembung apa jangan-jangan kamu hamil? Masa udah hamil aja perasaan baru tadi malam aku investasi saham di rahim kamu." Celetuk Arbi Sembari panik mengelus ke arah perutku.

"Sembarangan banget sih kalo ngomong!" Ucapku sembari menarik tangannya dari perutku.

"Geli Bi, aku pengen ke kamar mandi lagi nih!" Baru mau beranjak tiba-tiba Arbi menarik tanganku.

"Apaan lagi sih?!"

"Itu di celana kamu kayaknya ada darah," Ujar Arbi sembari memperhatikan sekilas celanaku.

"Kamu datang bulan ya?"

"Ah iya deh kayaknya Bi,"
Jawabku panik sembari berlari ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Gak papa kan Ris? Apa perlu ke rumah sakit? Masih sakit perut kamu?"

"Gak pa-pa, udah biasa aja. Tiap bulan juga ngalamin kaya gini," Arbi menuntunku ke arah sofa.

"Minum dulu Ris,"

"Makasih ya," Aku meraih gelas yang Arbi bawa.

"Aku boleh minta tolong gak?"

"Apa Ris?"

"Aku gak punya stok pembalut, beliin ya. Di toko depan situ," Arbi melongo.

"Ya udah, tunggu bentar. Yang kaya apa modelnya?"

"Terserah, aku gak pilih-pilih semua merek aku pake deh."

"Oke, aku berangkat dulu."

***

Arbi

Bingung banget cari pembalut buat istri. Panik melihat Maris keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sangat pucat.

"Mbak, pembalut yang biasa dipake buat cewek kaya gimana ya?" Tanyaku kepada mbak-mbak pramuniaga yang sedang berjaga.

Mereka melirik geli ke arahku,

"Yang ini mas," Tunjuknya kemudian.

"Oke makasih mbak." Setelah membayar, aku langsung beranjak pulang.

"Ini Ris pembalutnya," Aku menyerahkan plastik belanjaan.

"Ini?" Tanyanya heran.

"Iya, itu pembalut kan?"

"Ya ampun Bi, kamu beli banyak banget. Semua kenapa merek ada?!"

"Hha... Gak pa-pa Ris, buat stok."

"Parah kamu! Ini bisa dipake selama enam bulan. Btw thanks ya!"

"Iya sama sama istri,"

"Istri?" Dia mengernyitkan alisnya. Aku menatapnya tak kalah heran.

“Kenapa? Bener kan istri?”

"Eh iya, kita kan suami istri!" Ucapnya gagu sembari cekikikan sendiri, mungkin masih merasa aneh dengan status kita yang sekarang.

In Fine WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang