Gara-Gara Dipingit

20.2K 1K 5
                                    

Tiga bulan aku berharap tidak akan datang secepat ini, tapi beruntunglah orang tuaku karna nyatanya waktu berjalan tidak sesuai harapanku.

Tepatnya tiga hari lagi aku akan melaksanakan pernikahan bersama Arbi, pernikahan aneh!

Terjadi dengan awal yang tidak jelas bahkan terkesan dipaksakan, dan sepertinya hanya aku yang merasakan hal itu.

Setelah tepat seminggu lalu mama dan tante Finda kompak memaksaku untuk segera meminta ijin cuti, dengan alasan harus dipingitlah, banyak persiapan lah, biar nanti kalau pas hari H manglingi lah.

Terserah! Aku bahkan nggak peduli sama hal itu.

Ceklek,

"Ris kamu ngapain sih nyuruh-nyuruh aku kesini?" Teriak Nian sembari masuk ke dalam kamarku.

"Temenin aku lah Ni, bosen nih di rumah kaya orang sakit pake acara pingit-pingitan." Jawabku malas.

"Ya udah namanya juga ngikutin adat, jalanin aja nikmatin tuh apa yang harus dilewati kali aja berkah!" Jawabnya sok bijak.

"Ajak keluar dong Ni. Kemana gitu nonton yuk!" Ucapku sedikit memaksa.

"Gak bisa Ris, ntar malah aku yang abis di ceramahin nyokap lo!"

"Enggak, aku jamin kamu aman kok tenang aja!"

Akhirnya Nian setuju setelah melewati masa-masa pemaksaan, untungnya papa dan mama lagi nggak ada di rumah, jadi dengan lancar jaya kita bisa keluar!

***

"Akhirnya aku bisa ngeliat dunia luar lagi!" Aku menghirup udara pagi dengan riang.

"Lebay dah!" Nian menepuk pundakku.

"Awas aja ya kalo sampai aku yang disalahin!"

"Enggak tenang aja, nggak bakal ada ta..." Ucapanku terhenti saat seseorang menepuk bahuku. Sontak aku dan Nian langsung menoleh ke belakang.

"Ngapain kamu di sini?" Aku benar-benar terkejut.

"Ar.. Arbi kok ka.. Kamu ada di sini?" Tanyaku gagu,

"Kalo ditanya mending langsung jawab aja deh, nggak usah membuat pertanyaan baru!" Ujarnya sadis.

"Ya terserah aku dong," Jawabku cuek sambil mencoba beranjak dari hadapan Arbi.

"Eitt tunggu dulu!" Arbi menarik tanganku.

"Apaan sih Bi, kamu belum jadi suami aja udah over banget!"

"Aku harap kamu belum pikun, inget kan kamu lagi dipingit?"

"Kamu juga kan, terus ngapain kamu pergi-pergi pake ngelarang aku keluar rumah. Mau kamu apa?!" Aku mulai emosi.

"Ni mending paksa dia pulang deh." Ucap Arbi ke arah Nian.

"Dari tadi aku emang udah nyuruh dia buat balik, tapi dianya nggak mau." Nian mencoba menjelaskan.

"Dasar keras kepala, pulang sama aku sekarang gak ada tapi-tapian!" Arbi menarik tanganku.

"Arbi lepasin! Sakit, aku kan pergi sama Nian. Aku pulang aja sama dia." Arbi menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arah Nian.

"Ni, gak pa-pakan Maris pulang sama aku? Kamu pulang sendiri ya," Aku melongo mendengar ucapannya.

"Iya deh Bi gak pa-pa, hati- hati!" Jawab Nian dengan girang, kok kayaknya Seneng banget dia nggak jadi pergi sama aku?

"Udah ayo pulang!" Arbi kembali menarik tanganku.

"Bi lepasin dong, sakit tau nggak! Aku bisa jalan sendiri gak usah narik-narik." Arbi sedikit melonggarkan genggamannya, meskipun dia masih tetap menggandeng tanganku.

"Ngapain kamu keluar rumah? Inget kan kamu dipingit." Tanyanya saat kami sudah duduk di dalam mobil.

"Aku tuh bosen di rumah, seminggu ini yang aku tau cuma kamar, dapur, kamar, dapur aja. Jenuh!" Jawabku.

"Oh." Dan jawaban dia hanya  'oh'!

***

"Ya ampun Maris, kamu itu dari mana aja sih?" Mama langsung menabrakku dengan beragam pertanyaan padahal aku baru saja turun dari mobil.

"Loh kok kamu sama Arbi? Kalian kan lagi dipingit. Gak sabaran banget sih mau barengan! Sabar dong sayang, tinggal tiga hari lagi menikahnya, setelah itu kalian puas-puasin deh barengannya!" Protes mama.

"Mama apaan sih, Maris capek! Mau tidur." Aku langsung beranjak pergi ke kamar meninggalkan mama dan Arbi yang tengah melanjutkan bincang-bincangnya.

***

Arbi

Pagi ini tiba-tiba klien ku mengajak bertemu untuk membahas proyek baru sebuah perusahaan pengembang di Batam.

Karna kebetulan seminggu ini aku tidak pergi ke kantor untuk mempersiapkan pernikahan, ku putuskan untuk menemuinya di sebuah mall.

Selesai bertemu, aku berencana segera pulang, namun tiba-tiba langkahku terhenti saat melihat Maris dan Nian di sebuah eskalator sambil bercengkerama.

Aku mengambil langkah cepat untuk menghampiri mereka.

"Ngapain kamu disini?" Tanyaku sambil menepuk bahu Maris.

"Ar.. Arbi kok ka.. Kamu ada di sini?" Tanya Maris, terlihat jelas dia gugup.

"Kalo ditanya mending langsung jawab aja deh, Nggak usah membuat pertanyaan baru." Jawabku.

"Ya terserah aku dong," Maristia justru berkilah dan beranjak dari hadapanku.

"Tunggu dulu." Aku menarik tangannya,

"Apaan sih Bi, kamu belum jadi suami aja udah over banget!"

"Aku harap kamu belum pikun, inget kan kamu lagi dipingit?"

"Kamu juga kan, terus ngapain kamu pergi-pergi pake ngelarang aku keluar rumah. Mau kamu apa!" Aku mulai emosi.

"Ni mending paksa dia pulang deh." Ucap ku ke arah Nian.

"Dari tadi aku udah nyuruh dia buat balik, tapi dianya nggak mau!" Nian mencoba menjelaskan.

"Dasar keras kepala! Pulang sama aku sekarang gak ada tapi-tapian!" Aku kembali menarik tangannya.

"Arbi lepasin! Sakit. Aku kan pergi sama Nian, pulangnya sama dia juga dong." Aku menghentikan langkah, dan menoleh ke arah Nian.

"Ni, gak pa-pa kan Maris pulang sama aku? Kamu pulang sendiri ya,"

"Iya deh Bi, gak pa-pa hati- hati!"
"Udah ayo pulang!"

"Bi lepasin dong, sakit! Aku bisa jalan sendiri gak usah narik-narik." Aku sedikit melonggarkan genggamanku saat ku lihat pergelangan tangannya agak memerah.

"Ngapain kamu keluar rumah, inget kan kamu lagi dipingit?" tanyaku saat kami sudah duduk di dalam mobil.

"Aku tuh bosen di rumah, seminggu ini yang aku tau cuma kamar, dapur, kamar, dapur aja. Jenuh!" Jelasnya, aku hanya mengangguk sambil ber ‘OH’ ria.

Bisa ku tebak apa yang akan terjadi saat kami sudah sampai, dan ternyata hal itu benar adanya, aku seperti diinterogasi Tante Laria mama Maris.

Akhirnya aku menjelaskan semua yang terjadi. Tante Laria pun hanya geleng-geleng kepala saat mengetahui tingkah bodoh putrinya.

In Fine WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang