Delapan

211 33 2
                                    

Bomin masih belum bisa terlelap, padahal Daeyeol sudah menyetel musik yang menenangkan. Jaehyun dan Jibeom jadi merasa iba pada anak itu.

Jibeom naik ke atas ranjangnya dan mengecek ponsel. Ia lupa, barusan ia telah menerima beberapa pesan masuk yang belum sempat ia balas.

Dua panggilan tak terjawab dari eommanya dan tujuh kali dari Appa. Jiibeom menghela napas sejenak, kemudian beranjak dari tempatnya menuju luar kabin.

"Ke mana?" tanya Jaehyun.

"Menelpon Eomma dan Appa," balas Jibeom singkat.

Jaehyun mengernyit sejenak. Tumben anak itu menjawab pertanyaannya dengan benar.

"Ck, dasar anak Eomma Appa!" ledeknya, dan Jibeom tidak memberikan reaksi apa pun. Aneh, pikir Jaehyun.

Beralih kembali pada Jibeom. Ia berjalan menuju ujung beranda, menatap lautan lepas yang gelap. Angin malam menerpa wajahnya, menimbulkan hawa dingin yang kentara.

"Jibeom-ah, Appa menelponmu sejak tadi!" pekikkan keras itu yang pertama kali terdengar setelah panggilannya diangkat sang Appa.

"Maaf, Appa. Aku sedang berada di kapal, dan temanku..."

"Kapal? Kamu mau ke mana!?" Appa berteriak keras di seberang sana, membuat Jibeom menghela napas panjang seraya menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Appa, aku hanya berlibur sebentar. Lagi pula..."

"Berlibur katamu!?" teriakkan Appa semakin keras, dan Jibeom bergeming. "Kamu baru saja gagal dari kompetensi kemarin, sekarang kamu bilang kamu sedang berlibur, Jibeom? Di mana otakmu? Seharusnya kamu latihan dengan giat. Contohlah hyungmu, Myungsoo, dia selalu menjadi yang terbaik!"

"Appa, aku tidak gagal. Aku mendapatkan posisi kedua terba..."

"Berhenti beralasan! Menjadi kedua itu adalah kegagalan, Jibeom-ah. Kamu harusnya jadi nomor satu!"

Jibeom memegangi dada kirinya yang sakit. Appa benar-benar tidak pernah mengerti dan tidak pernah mau mengerti dirinya. Appa hanya ingin Jibeom jadi yang terbaik, tanpa mau menghargai setiap usahanya. Jibeom lelah. Jibeom hanyalah anak berusia 18 tahun, Jibeom bukan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati, Jibeom bukan robot yang bisa disetting manual. Jibeom manusia!

"Setidaknya, Appa, aku sudah berusaha," gumam Jibeom pelan.

"Usaha katamu? Kalau kamu berusaha, kamu pasti menang!"

"Appa, mengertilah! Aku manusia. Aku tidak bisa jadi sesempurna yang Appa inginkan. Kenapa Appa tidak mau mengerti?"

"Berani kamu..."

"Berhenti, Appa. Dengarkan aku sekali saja, untuk yang terakhir kalinya," Jibeom menyela. "Appa, selama ini, apa Appa pernah bertanya bagaimana perasaanku? Appa, aku lelah. Aku berusaha belajar sebaik mungkin. Aku berlatih dan mengerjakan soal setiap hari, siang dan malam, untuk Appa. Aku juga les vocal, les akting, dan kegiatan lain untuk membanggakan Appa. Tapi Appa tidak pernah puas dan tidak pernah menghargai usahaku."

Hening.

"Apa Appa tahu, aku juga butuh kasih sayang, Appa. Aku butuh dukungan dan motivasi dari Appa. Bukan teriakkan dan makian Appa yang membuatku down." Jibeom hampir menangis saat mengatakannya, ini benar-benar sesak. "Dan Appa tidak pernah tahu bagaimana susahnya jadi anak broken home sepertiku. Aku merasa sendiri, Appa. Aku merasa tidak punya siapa pun selain Myungsoo hyung. Appa tidak tahu itu karena Appa hanya mementingkan diri Appa sendiri. Appa hidup untuk kehormatan dan pujian dari orang lain. Pantas Eomma lari dari Appa."

"Jibeom, hentikan!" Appanya memekik keras. "Jangan ungkit wanita pengkhianat itu lagi!"

"Bagaimana pun buruknya Eomma, dia tetaplah wanita yang melahirkan aku."

Tuut.. Jibeom memutus panggilan sepihak, lantas terduduk di sana. Ia benar-benar lelah dengan Appanya. Udara dingin yang kian menusuk bahkan tak lagi terasa. Sebab, hatinya lebih dari dingin. Hatinya lebih dari sepi. Jibeom membenci ini. Benci.

Jibeom menatap kembali ponselnya. Saat ia seperti ini, hanya dua orang yang biasanya bisa membuat tenang, yakni hyung dan eommanya. Tapi menghubungi Myungsoo bukanlah pilihan. Jibeom tahu Myungsoo pasti sibuk seharian ini di Hongkong. Dia sedang mengadakan fanmeeting di sana. Dan malam adalah saatnya dia istirahat. Jibeom tidak ingin mengganggunya.

"Eomma..." Jibeom bergumam. Sudah lebih dari seminggu ia tidak bertegur sapa dengan eommanya meski via telepon. Semenjak perceraian Eomma dengan Appanya empat bulan lalu, Eomma langsung pergi dari rumah dan menetap di Malaysia. Eomma berjanji akan pulang sebulan sekali menemuinya. Namun hal itu tak kunjung terjadi. Eomma terlalu sibuk dengan bisnisnya, atau mungkin... keluarga barunya? Entahlah.

Setelah berpikir cukup lama, Jibeom akhirnya memutuskan untuk menghubungi Eomma. Ia juga rindu.

"Eomma?" ucapnya saat panggilannya diangkat Sang Eomma.

"Jibeom-ah, kamu di mana?" tanya Eomma, membuat Jibeom tersenyum. Ia memiliki kekuatan kembali hanya dengan mendengar suara Eomma yang memberinya sedikit harap. Jika Eomma bertanya Jibeom sedang berada di mana, itu pastinya Eomma akan datang ke Seoul, kan?

"Aku sedang berlibur, Eomma. Apa Eomma akan pulang ke Seoul?"

"Oh, wah, bersama teman-temanmu?" Eomma bertanya antusias. "Maaf, Jibeomie, Eomma tidak bisa pulang."

Jibeom bergeming. Harapannya tiba-tiba lenyap, beserta senyumnya.

"Kenapa, Eomma?" tanya Jibeom lesu.

"Eomma benar-benar sibuk, Sayang. Apalagi suami baru Eomma saat ini sedang banyak wawancara berkat produk baru yang diluncurkan kemarin. Eomma harus menemaninya."

Jibeom mendesah pelan. "Bagaimana kalau bulan depan, Eomma? Di hari ulang tahunku?" Jibeom antusias lagi. Berharap kali ini eomma bisa.

Hening beberapa saat, hingga jawaban Sang Eomma benar-benar membuat Jibeom patah hati. "Maafkan Eomma, Jibeomie. Bulan depan juga sepertinya tidak bisa. Ulang tahunmu dan ulang tahun adik tirimu, Yoo Mi, hanya berbeda satu hari. Eomma tidak mungkin pulang pergi Korea-Malaysia dengan waktu singkat."

"Apa Eomma lebih memilih anak tiri Eomma?" tanya Jibeom lirih. Ia merasa tersakiti. Ini ulang tahun pertamanya setelah Eomma dan Appa berpisah. Keluarganya selalu lengkap menghadiri pesta, meski sering terjadi cekcok sebelumnya. Dan ternyata rasanya semenyesakkan ini.

"Bukan seperti itu, Jibeom-ah. Kamu sudah dewasa sekarang, mengertilah..."

"Jikalau dengan dewasa aku harus kehilangan kasih sayang, selamanya aku tidak ingin dewasa, Eomma." Jibeom bergumam, memegangi dadanya yang terasa begitu sesak bagai terhimpit beton keras dari semua sisi.

"Jibeom-ah..."

"Aku tutup, Eomma. Jaga diri baik-baik. Aku menyayangi Eomma."

Klik. Jibeom memutus sambungan begitu saja. Lantas menatap langit yang gelap, tanpa bintang mau pun bulan. Gemuruh ombak pasang membuat suasana begitu pas bagi orang patah hati sepertinya.

"Aku benar-benar merasa sendiri," gumamnya, "bahkan bulan mau pun bintang enggan untuk menemaniku."

Setitik air mata luruh. Jantungnya berdenyut hebat, sangat sakit. Seandainya Jibeom dapat terlahir kembali, Jibeom tidak ingin dilahirkan di dalam keluarga seperti ini lagi. Tidak untuk kedua kalinya.

***

Last Holiday▪️Golden Child✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang