Sembilan

207 31 0
                                    

Kapal begitu hening. Mungkin semua orang sudah terlelap. Tapi di kamar itu, Jaeseok tidak bisa tidur, ia merasa bahunya begitu nyeri. Padahal seingatnya, ia tidak terjatuh atau apa. Ia mengubek isi tasnya, mencari minyak angin. Mungkin setidaknya, dengan mengolesi minyak angin ke sana, rasa nyerinya akan berkurang.

Angin berembus begitu kencang. Padahal, semua jendela tertutup rapat. Begitu pula dengan pintu.

Ia mengeratkan mantel, kemudian masuk ke dalam selimut. Tepat pada saat ia hendak terlelap, suara air menyala di toilet terdengar. Ia membuka mata lebar-lebar, kemudian menatap ranjang Sungyoon. Lelaki itu ada di ranjangnya, sudah terlelap sejak beberapa waktu lalu. Lantas, siapa yang menyalakan air di toilet? Jaeseok mengernyit. Apa mungkin Sungyoon barusan pergi ke toilet dan lupa mematikan air? Tapi, Jaeseok belum sampai satu menit menutup mata.

Ah, ia bingung sendiri. Akhirnya, meski enggan, ia beranjak dari tempat tidur, berjalan ke toilet dan mematikan air. Baru saja ia keluar dari toilet dua langkah, air kembali menyala. Bulu kuduknya meremang seketika. Ia berjalan, mematikan kembali air itu dan segera berlari ke atas ranjang. Air menyala lagi, membuat Jaeseok berpikir hal-hal aneh.

Ini sudah tidak wajar. Sungguh.

"Sungyoon-ah, bangun!" ia mengguncang tubuh teman sekamarnya.

Sial, Sungyoon hanya menggumam tak jelas. Sepertinya anak itu tidur begitu nyenyak.

"Sungyoon-ah. Bangun! Ayolah!" Ia semakin kuat mengguncang tubuh Sungyoon saat terdengar suara orang tengah mandi di toilet. Suaranya amat jelas.

"Apa? Aku ngantuk," balas Sungyoon serak. Memeluk gulingnya erat-erat.

"Sungyoonie!"

"Uhm, tidurlah, Jaeseok. Ini masih malam," sekali lagi Sungyoon menggumam, membuat Jaeseok kesal. Seandainya orang ini bukan temannya, sudah pasti ia akan meninju Sungyoon dan menendangnya keluar dari kabin. Tapi, sendirian juga bukan hal yang baik. Itu hanya memperburuk keadaan.

"Aku tahu ini sudah malam, Sungyoon-ah. Makanya bangunlah!" Jaeseok menarik Sungyoon hingga lelaki itu terduduk.

"Aigo, Jaeseok, kau kenapa?" Sungyoon menggerutu, setengah memejamkan mata karena kantuk.

"Toilet!" pekik Jaeseok, "ada yang menyalakan air di toilet berkali-kali, tetapi tidak ada siapa pun di sana."

"Mungkin kamu lupa mematikannya saat ke toilet. Atau mungkin... aku?" Sungyoon bergumam bodoh. Jaeseok menggeplak kepalanya, sehingga Sungyoon membuka mata lebar-lebar sekarang.

"Ihhs, kau ini!" ketus Sungyoon kesal.

"Dengar, ada orang mandi di toilet!" desis Jaeseok.

Sungyoon mengerucutkan bibir, dengan mata berputar malas. "Aku tidak mendengar suara apa pun selain dari suaramu yang mengganggu!" ketus Sungyoon.

Jaeseok mengerjap bodoh. Lantas mendengarkan kembali lamat-lamat suara sekecil apa pun di ruangan itu. Dan benar saja, suara gemericik air di toilet sudah tidak ada. Bulu kuduk Jaeseok meremang.

"Aihhs, horror!" gumamnya. Lantas memeluk Sungyoon erat-erat dan terlelap di sana.

***

"Jibeom-ah!" Bomin memekik lega saat Jibeom masuk ke dalam kamar. "Akhirnya, kamu masuk. Aku tidak bisa tidur. Daeyeol hyung sudah pergi ke kamarnya dan Jaehyun sudah tidur."

Jibeom mengernyit. "Lalu? Kenapa kamu tidak tidur saja?" tanya Jibeom.

"Tidak bisa. Aku tidak bisa tidur."

"Apa kamu trauma karena kejadian tadi?" tanya Jibeom, duduk di sisi Bomin. Bomin dengan senang hati bergeser, memberi ruang bagi Jibeom untuk duduk di ranjangnya.

Bomin mengangguk. "Tadi benar-benar nyata, Jibeom-ah. Aku tidak mungkin berhalusinasi."

Jibeom tersenyum kecil. "Aku mengerti. Sepertinya itu karena tadi siang kamu menonton film horror bersama Jaehyun dan Youngtaek."

Bomin mengangguk-angguk. "Mungkin... mulai sekarang aku tidak ingin lagi menonton film hantu," balas Bomin jenaka. Meski nada ngeri masih tersirat kentara.

"Dan kamu akan jadi seperti Jangjun," Bomin tertawa pelan mendengar penuturan Jibeom.

Hening beberapa saat.

"Bomin-ah, bagimu keluarga itu seperti apa?" Jibeom tiba-tiba bertanya dengan suara memelan.

"Keluarga?" gumam Bomin, membenarkan posisi duduknya sebentar, kemudian tersenyum, menatap pemandangan di hadapannya--yang hanya berupa pintu, lurus. "Keluarga itu tempat terbaik untuk pulang. Tempat kenyamanan yang sesungguhnya berada."

"Lalu?"

"Keluarga tempat kita menemukan cinta dan kehangatan. Satu-satunya tempat berbagi yang terbaik. Dan satu lagi, keluarga adalah mereka yang tidak akan meninggalkan kita dalam keadaan apa pun."

"Bomin-ah," Jibeom menggumam pelan. Bomin menoleh, "kata-katamu sangat puitis." Jibeom tertawa pelan. Mata besarnya terlihat hampa, namun Bomin tidak menyadari itu.

"Sepertinya aku cocok jadi penyair. Ya, kan?"

"Ya, ya. Tidurlah, sudah malam," ucap Jibeom. Menepuk pundak Bomin seraya tersenyum.

"Ya, kurasa setelah berbicara denganmu, aku jadi mengantuk. Tapi, bolehkah kamu tidur di sisiku?" Bomin menatap Jibeom dengan mata kucingnya yang menggemaskan.

Jibeom tertawa. "Tentu saja," balasnya, lantas ikut berbaring di sisi Bomin. Dan pada saat itu juga, Bomin memeluknya. Menggelikan.

"Tubuhmu dingin, Jibeomie."

"Aku terlalu lama di luar tadi," balas Jibeom, memejamkan mata. Nyatanya, hatiku jauh lebih dingin. Aku bersembunyi di balik senyum dan setiap celotehanku, Bomin-ah. Aku kehilangan diriku sendiri. Aku tak bisa menunjukkan sisi rapuhku. Aku tidak bisa menunjukkan air mataku. Entah aku sok kuat, atau terlalu pecundang untuk menunjukkan ketidakberdayaanku melawan takdir.

***

Last Holiday▪️Golden Child✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang