Bagian 3 Kotor, Takut, Dan Jijik

90.9K 2.8K 43
                                    


Raka ambruk menimpa Asya. Sesaat setelah ia sadar barulah beralih ke sampingnya. Ia tersenyum puas dengan nafas yang tersengal-sengal, sembari memandangi wajah kekasihnya yang masih tak berdaya.

Raka melihat kaki Asya masih dalam posisi tertekuk. Ia meluruskannya perlahan. Sangat pelan karena tangan gadis ini meremas sprei, menahan sakit, setiap kali ia membenarkan kakinya. Kemudian ia menarik selimut dan menutupkannya pada tubuh mereka berdua.

Raka kembali merebahkan tubuh di samping Asya, yang benar-benar tak berdaya. Gadis itu memejamkan mata antara sadar dan tidak. Lemah. Rasa bersalah Raka kian muncul dan memaksanya memimiringkan tubuh untuk merengkuh Asya dalam peluknya.

"Akh!", Asya melenguh pelan. Ia menahan sakit di pangkal pahanya saat Raka mengeratkan pelukan. Namun ia tak sanggup menolak. Tak sanggup bergerak.

Raka membelai rambut belakang gadis di pelukannya. Dalam. Sedang lengan kirinya mengambil alih peran bantal untuk kepala Asya. Sekalipun ia merasa bersalah, sesekali masih nampak senyum tipis di wajahnya. Hingga malam semakin larut dan melepaskan kesadaran keduanya.

***

Aku merasa mataku begitu berat. Kedua kelopak mataku seolah ditindih dengan batu. Merekat satu sama lain, sulit untuk membuka.

Perlahan aku mulai dapat melihat sekelilingku. Aku melihat tanganku yang menjulur sejajar dengan mataku. Aku belum menyadari di mana ini. Hingga ketika aku mencoba untuk menelentangkan badan, ku sadari sesuatu. Ya, sesuatu.

Kuharap aku sedang bermimpi. Aku sadar. Aku telah sadar. Meskipun aku memejamkan mata menahan rasa nyeri di pangkal pahaku. Aku sepenuhnya sadar. Tapi tak punya daya. Telapak tanganku meremas selimut yang menutupi tubuhku. Aku tahu tak ada yang kupakai lagi dibalik selimut ini.

Aku kesakitan, sakit yang sangat dalam. Tak dapat bergerak. Aku ingin bergerak tapi jijik. Aku jijik dengan kakiku yang lembab. Lengket. Aku benci ini. Aku benci! Aku telah menghianati mama. Keluargaku. Aku gagal melindungi hal paling berharga itu. Aku gagal menjaga kesucianku. Aku kotor.

Air mata ku mengalir tanpa isakan. Mengalir dengan sendirinya. Kau tahu, sungguh air mata yang mengalir tanpa isakan adalah yang paling menyakitkan.

Ada derap langkah yang menghampiriku. Ya Tuhan! Tolong! Tiba-tiba saja ia sudah duduk di sampingku. Semakin kutarik selimut ini. Lelaki brengsek ini mengulurkan tangannya hendak menyentuhku.

"Pergi! Akh!", ya Tuhan mengapa sakit sekali. Terasa sangat nyeri di bagian itu. Aku hanya berusaha duduk menghindari lelaki ini.

"Jangan banyak gerak. Pasti masih sakit." Aku benci mendengar suaranya. Benci. Benci sekali. Jika ia tahu ini sakit lalu mengapa sengaja membuatku sakit?

"Pakai ini!", ia mengulurkan lipatan kain putih tebal. "Aku ambil mobil dulu."

Dia benar-benar jahat. Bajingan ini berkata seolah tak terjadi apa-apa. Padahal aku masih mengingat dengan jelas apa yang ia perbuat padaku semalam. Mungkin aku tak sanggup melupakannya seumur hidup. Bahkan aku mungkin akan menyimpan setiap centi bagian kamar ini dalam memori jangka panjang.

Ia beranjak pergi. Aku? Aku tidak tahu harus apa. Aku melihat sinar matahari mulai menyelinap di sela-sela tirai kamar ini. Dan aku masih begini. Meringkuk telanjang dibalik selimut. Aku melihat kain putih yang diberikannya tadi. Handuk. Aku meraihnya. Tapi kepalaku masih ingin pasrah pada dinding ranjang ini. Aku mendekatkan handuk itu ke pelukanku. Meremasnya. Sanggupkah handuk ini membersihkan noda di tubuhku?

Entah berapa lama aku dalam posisi ini. Mungkin sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, atau satu jam. Waktuku sudah berhenti sejak semalam. Ia telah kembali. Mungkin ia mengawasiku dari balik pintu. Karena tak lama kemudian ia datang lagi. Duduk lagi.

Aku menghindar.

"Mau pulang?"

Seketika aku menoleh ke arahnya, kemudian ragu dan membuang muka darinya. Menghindar lagi.

"Dalam keadaan begini?"

Kali ini aku tidak menolehnya lagi. Berhenti bergerak. Aku menunduk mengintip tubuhku dibalik selimut. Keadaan yang membuatku memejamkan mata dalam. Menyakitkan. Membuatku tak sanggup melakukan apapun selain menggigit bibir menyesali semuanya.

Tiba- tiba ia menarik handuk di tanganku. Menarik tanganku. Membuatku berdiri tepat di depannya tanpa sehelai benang pun menutupi. Aku hanya mendelik tak percaya dengan degup jantung yang berlari maraton. Aku takut. Malu. Kaget. Hingga aku lupa akan rasa nyeri di bagian itu.

Ia menamatkan tubuhku. Mungkin kagum dengan karyanya semalam. Kemudian memandang wajahku.

Plakk!

Aku menamparnya. Ya benar, aku menamparnya. Aku berani menamparnya. Dengan wajah yang sangat ketakutan aku menamparnya.

Kepalanya terbuang ke kanan karena perbuatanku. Ia hanya berhenti sejenak. Tak peduli. Kemudian melilitkan handuk pada tubuhku. Jadi ini maksudnya menarik ku tadi.

Aku benar-benar takut. Ia melakukannya tanpa ekspresi sedikitpun. Bahkan setelah kutampar dengan keras ia tak menampakkan ekspresi apapun.

Tiba-tiba lagi. Aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang mengalir dari pangkal pahaku. Banyak. Aku melihat cairan keruh yang mengalir di kaki. Aku jijik. Lemas.

Brukk!

Aku jatuh terduduk. Sesenggukan. Dengan badan ibu jari, berusaha kuhapus cairan kotor lelaki itu dari kakiku. Aku menghapusnya dengan cepat dan penuh emosi. Aku benci. Ini menjijikkan.

Ia sudah membawa tisu, menyingkirkan tanganku. Kemudian menyeka kakiku yang basah dengan lembaran tisu. Cairan ini benar-benar mengumpulkan kebencianku padanya. Apalagi setelah kulihat ada warna merah yang tercetak di tisu itu. Ah! Aku benar-benar kehilangan.

Plakk!

Aku menamparnya lagi. Kepalanya terbuang lagi. Dan ia tak peduli lagi. Melanjutkan menyeka kakiku. Aku benci. Aku ingin membunuh lelaki ini.

Aku mengangkat tangaku hendak menamparnya kembali. Ia menyadarinya dan menatapku. Aku takut. Matanya seolah mengatakan Tampar saja lagi dan lihat apa yang akan kulakukan padamu.

Aku mengurungkan niatku menamparnya. Kuturunkan tanganku.

Tak ku duga dia membopongku. Aku kaget setengah mati. Memberontak tapi tak kuat. Dan kudapati tubuhku sudah duduk di toilet. Kepalaku masih menoleh ke kanan kiri mencoba memahami situasi tak terduga ini.

"Mandilah. Kamu tahu apa yang terjadi jika aku memandikanmu?", suruhnya sambil berjongkok di hadapanku. Kemudian pergi meninggalkanku sendiri di kamar mandi yang dingin. Sedingin perkataannya yang seram itu.

Butuh waktu agak lama bagiku memahami keadaan ini. Aku masih lama terdiam. Hingga kuputuskan untuk membuka handuk ini. Menyalakan shower kemudian menangis sejadi-jadinya. Aku tak peduli jika ada yang mendengar tangisanku.

Aku membersihkan tubuhku yang kini memiliki banyak tanda merah. Aku benci. Jijik sekali. Aku menyabuni tubuh yang bersamaku hingga dua puluh tahun ini dengan kasar. Kubasuh. Ku sabun lagi hingga entah sudah berapa kali terulang. Dan yang paling kubenci aku harus membersihkan bagian yang sakit itu. Aku takut menyentuhnya. Aku takut.

Aku keluar dari kamar mandi dan menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Dia terlihat serius dengan ponselnya. Mengapa pandanganku harus sampai pada bajingan itu.

Aku menemukannya. Pakaianku ada di atas ranjang. Tunggu! Tadi tidak ada. Dia pasti sudah memungutnya satu per satu. Pakaian yang kemarin ia lepas dengan kasar tanpa aturan. Lupakan Asya!

Aku mengambil pakaianku. Tapi tak mungkin kupakai di sini. Aku bisa jadi ikan segar bagi kucing yang kelaparan. Lalu aku berbalik hendak ke kamar mandi. Dan betapa kagetnya ketika mendapati dia telah berdiri di belakangku.

"Aku tunggu di mobil. Mmuch!", ia berlalu setelah meraih bagian belakang kepalaku dan meninggalkan kecupan di kening. Brengsek! Dia mencuri kecupan itu. Tak puaskah ia semalam?

***

Halo hai, di bagian ketiga ini banyak mimin tulis dari sudut pandang Asya. Biar lebih dapat rasa sakit yang dialami gadis ini. Masih ditunggu vote and comment untuk pejuang amatir ini ya. terima kasih.

Scratched-ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang