Sedan hitam itu baru saja bergerak meninggalkan sebuah bangunan kos tiga lantai. Tentu setelah menurunkan gadis bermata sembab yang kini setengah berlari menaiki tangga menuju kamar kosnya.
Nampak sebuah kamar kos yang cukup luas setelah pintu itu terbuka. Cukup untuk mendudukkan sebuah sofa kecil yang berpandangan dengan televisi dinding dalam jarak dua setengah meter. Sementara sebuah ranjang berukuran dua orang terlihat lapang di belakangnya.
Elan, kakaknya, yang memilihkan kamar itu untuk Asya. Bahkan ia pula yang membayar uang sewanya. Sebuah harga yang tak ada artinya jika dibandingan dengan nominal-nominal besar hasil bisnis properti yang digeluti keluarga mereka.
Elan merasa harus memberikan hadiah yang layak untuk adiknya, yang berhasil menaklukan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri. Terlebih jurusan yang dipilih memiliki grade yang luar biasa mentereng. Karenanya memilih sebuah kos yang nyaman untuk di tempati saudaranya adalah hal yang wajib ditunaikan. Sebuah kos mewah lengkap dengan dapur kecil agar adiknya bisa menyalurkan hobi baking di sela-sela jenuhnya perkuliahan. Sungguh ia sangat menyayangi adik semata wayangnya.
Asya telah menghabiskan empat semester sebelumnya untuk kuliah di Bandung, di dekat rumah mereka. Kala itu, ia harus mengambil jurusan lain karena tak berhasil lolos seleksi kedokteran. Tahun kedua ia mencoba kembali, tapi masih gagal. Dan tahun ketiga ini adalah keajaiban.
Asya memang tak secerdas Raka hingga mampu masuk kedokteran tanpa tes. Namun komitmennya untuk tak menempuh jalur mandiri menjadi motivasi yang tak pernah melunturkan semangat pantang menyerah. Padahal orang tuanya bersikeras menempuh jalur tersebut. Ia adalah seorang gadis dengan komitmen kuat.
Sayang, dari sinilah mimpi buruk dimulai.
Asya masih membenamkan wajahnya pada bantal, hingga ia kesulitan bernafas. Selain karena tak ada akses udara, ingusnya pun memenuhi hidung sedang miliknya. Asya memang tak mancung, tapi juga tak pesek. Seperti Tuhan telah mencetak hidung itu pas dengan struktur wajahnya, hingga wajah manis tak bisa dielak lagi.
Ia masih tengkurap, kali ini dengan kepala miring. Rupanya rindu akan oksigen. Ia mencoba mengingat kembali apa yang sebenarnya menimpa dirinya. Barulah muncul setitik rasa sesal mengapa ia mengucapkan kalimat-kalimat keji pada lelaki yang semalam menodainya. Menodainya, menodainya, menodainya, tidak! Aku telah diperkosa?
Asya kemudian ingat bagaimana Raka memperlakukan tubuhnya semalam. Dimulai dari Raka yang mencium bibirnya dengan paksa. Lalu lehernya yang dihisap tanpa henti. Dan dadanya yang telah habis dicicipi Raka dengan rakus. Terasa sangat sesak jika diingat. Sakit di sela paru-parunya.
Asya mengacak rambutnya ketika ingatan itu jatuh pada perlakuan Raka pada miliknya. Sakitnya bahkan masih sangat terasa hingga sekarang. Lalu bagaimana mungkin Raka masih bisa tertawa sedang ia merasakan kesakitan yang luar biasa. Hingga Asya keluar dari mobilnya pun tak ada sepotong kata maaf yang meluncur dari bibir Raka. Sifat aslinya kah ini?
Mungkin lelaki jahat itu telah puas, telah mendapat apa yang diincar selama ini. Dia baru menyadari sesuatu. Bahwa Raka mungkin telah sering melakukan hal itu dengan pacar-pacarnya terdahulu. Dan aku? Hanya anak kecil yang jadi mainan sementara. Yang akan ia buang setelah mendapat kesenangannya.
Tidak! Asya merasa harus bangkit. Ia bukan gadis lemah. Ia tak bisa dibeginikan. Sekalipun kelebat bayangan kejadian itu akan selalu melemahkan rasa percaya diri dan keberaniannya. Atau rasa sakit saat Raka memaksakan miliknya akan selalu membayangi hingga membuat gemetar seluruh tubuhnya.
Aku harus kuat.
Tapi kemudian ia melemah kembali. Menangis lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Scratched-END
Romance"Kamu tidak butuh aku lagi? Kamu tidak butuh laki-laki yang telah mengambil 'perawanmu'? Jangan salahkan aku kalau membuatmu membutuhkanku lagi mulai sekarang. Aku sudah seminggu menantikan tubuhmu, sayang." -Raka- "Aku sudah melupakan semuanya. Aku...