Bagian 41 Bukan Kompetisi

27.1K 1.1K 131
                                    

Thor kok ga ada mulmed di header? Kayak bukan thor banget. Intinya thor bingung mau kasih ilustrasi apa. Ya sudah biarkan headernya suci dan putih seperti Snow White, tokoh yang memiliki kemiripan 99,99% akurat dengan thor, ga terima? Maklum penyakit hati emang gitu, wajar hohoho

Jangan lupa vote and comment nya.

***

Asya memutar gagang pintu kamar Ranti, mengumpulkan niat untuk melakukan hal lebih. Ia tahu akan banyak pertanyaan menakutkan yang Ranti ajukan untuknya. Ia harus siap, toh dia sudah siap untuk menyingkir dari kehidupan Raka. Tantenya tak mengharapkannya.

Tidak perlu ada tanggung jawab, tidak perlu ada pernikahan. Semua hanya ilusi kebahagiaan. Semu. Nyatanya ia tak pernah bahagia bersama Raka, tak akan bahagia jika lelaki itu masih mengedar di sekelilingnnya.

Asya masuk, menjumpai wajah sepasang suami istri yang tersenyum kalut padanya. Ia masih mematung, berdiri dalam tundukan yang meragukan.

"Kemarilah, Nak.", Ranti menyeru.

Asya mendekat ke ranjang dengan langkah ragu. Mengikuti intruksi Ranti untuk duduk di tepi ranjang, di dekatnya. Masih menunduk antara malu dan canggung, terutama karena keberadaan lelaki yang berdiri di sisi lain ranjang, Darius.

Ranti menoleh pada suaminya, memberikan isyarat agar meninggalkan mereka berdua ketika menyadari kekakuan Asya. Segera dituruti oleh suaminya.

Ranti meringkus kesepuluh jari tangan Asya yang sedari tadi tak berhenti memainkan buku-bukunya, membuat Asya dengan berani menatap wajah Ranti yang tersenyum padanya meskipun masih takut-takut.

"Berapa usianya?"

Asya sudah dibuat mati otak oleh pertanyaan pertama Ranti, melempar tanya pada Ranti dengan sorot matanya.

"Usia kandungan kamu.", Ranti mengimbuhi.

Bingung lagi. Asya tak tahu harus menjawab apa, dia tidak pernah peduli dengan usia kandungannya. Sejak ia tahu sedang berbadan dua, tak pernah sekalipun ia mencari tahu tentang usia kandungannya. Raka pun tak pernah memberitahunya. Ibu macam apa aku ini? 

Asya menggeleng ragu.

"Kamu tidak tahu?"

Asya mengangguk pelan.

"Raka tidak memberitahumu?"

Asya menggeleng kembali.

Ranti mengamati wajah keponakannya yang ketakutan. Ia tahu Asya sangat tidak nyaman berhadapan dengannya dalam keadaan ini. Terlebih kalimat-kalimat penolakan yang ia lontarkan saat Raka memberikan pengakuan tadi. Ranti berusaha menyamankan keadaan.

"Kamu mencintai Raka?"

Asya tersentak. Ia harus menjawab apa? Apa cinta itu masih ada? Atau sudah sirna sebagaimana kehangatan ciuman Raka yang hambar di bibirnya?

"Sya.. Kamu mencintai Raka?", Ranti mengulang tanya dengan remasan yang lebih kuat.

Asya reflek dan tak bisa berpikir, ia menggeleng dengan cepat, mungkin spontanitas itu cukup mewakili perasaannya.

"Kamu membencinya?"

Air mata Asya jatuh setetes. Benarkah ia membenci Raka? Apakah tidak mencintai itu berarti membenci? Setelah semua yang mereka lewati bersama, bencikah ini namanya? Tapi ia juga tidak memungkiri kesakitan batinnya karena perlakuan Raka yang sudah melewati batas kesabarannya.

"Tante berharap kamu tidak membencinya."

Asya kembali menatap Ranti sekilas. Namun semakin Ranti menemukan wajah Asya semakin nampak kesakitan yang diderita gadis itu. Matanya kuyu, tak berenergi sama sekali, bergelimang penderitaan pada air yang mengkacakannya.

Scratched-ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang