Bagian 32 Sepatu Biru

31.7K 1.2K 55
                                    

Adik-adik yang usianya di bawah 21 tahun, please jangan baca ya. Ini cerita untuk orang dewasa.

Terima kasih untuk semua pembaca yang selalu mantengin cerita ini.

Ditunggu baget vote and comment nya untuk motivasi author.

***
Pukul 11.30.

Matahari mulai menghujani bumi dengan terik. Panas luar biasa hingga keringat terasa nyelekit laksana omongan tetangga.

Raka memarkir mobilnya di sebuah gedung. Lagi-lagi ia menuruti keinginan Asya. Kali ini pergi ke mall. Katanya karena sudah lama tidak jalan ke mall layaknya anak muda seusianya. Mendengar alasan itu membuat Raka merasa merenggut masa muda Asya saja.

Raka tak perlu punya alasan untuk menolak keinginan Asya karena memenuhinya adalah wajib. Baginya semua itu bahkan belum sepadan dengan apa yang telah Asya korbankan untuk dirinya.

Keperawanannya, maafnya, senyumnya, ketulusan hatinya, semua telah ia rebut. Terlebih lagi cintanya. Raka menyadari betapa ia sangat beruntung masih mendapat cinta dari gadis yang berulangkali dilukainya itu.

Mereka berjalan kesana-kemari. Tentu Asya pemimpinnya. Raka sendiri heran bisa-bisanya gadis yang tadi pagi mengeluh kelelahan itu sekarang terlihat begitu powerfull. Padahal ia hanya sarapan sandwich, setelah ketoprak Bang Joni dimuntahkan. Walaupun memang selama di jalan mulutnya tak berhenti mengunyah donat keju kesukaannya.

Yah mau hamil atau lelah, faktanya wanita dan mall memang berjodoh. Berjalan kesana kemari, keluar masuk toko tanpa harus membeli, ah itu sudah biasa. Yang penting Raka bahagia menyaksikan keceriaan Asya hari ini. Ia menyadari bahwa membuat Asya bahagia adalah bagian dari tanggung jawabnya.

"Aku lapar, Kak.", Asya mulai menggelayut di lengan Raka, pertanda menginginkan sesuatu.

"Oke kita ke lantai 4, ke foodcourt."

Asya mematuhi saja perintah lelaki yang digelayutinya. Rupanya ia tak lagi risih menempel-nempel di tubuh Raka. Bahkan suka jika kulit mereka bersinggungan. Raka sendiri sangat menikmati tubuhnya digelayuti dengan hangat. Aroma tubuh Asya yang membuatnya gila itu kini bisa dihirupnya setiap saat.

Tiba-tiba Asya menghentikan langkahnya, menggeleng.

"Ingin bakmi yang di bawah saja, Kak.", gelayut Asya semakin manja.

Kenapa tidak bilang dari tadi? Ini sudah di lantai tiga. Bersabarlah Raka.  

"Oke kita turun lagi ke lantai dasar."

Asya tersenyum girang karena Raka memenuhi keinginannya. Ia mendongak untuk memeriksa wajah Raka berulang kali, takut ada kekesalan di wajah tampan itu karena ulahnya. Tingkah yang membuat Raka tak kuasa menahan senyum. Asya membalasnya dengan senyum pula.

Raka menggenggam telapak tangan Asya, lagi-lagi mencium punggungnya. Ia tak ingin kebersamaan dan kebahagiaan ini cepat berakhir, tak mau kehilangan waktu bahagia bersama Asya sedetikpun.

"Aku sangat mencintamu, Asya.", bisik Raka yang membuat pipi Asya merona.

"Aku tidak bisa membalasnya, Kak."

Raka mengernyitkan dahi. Kenapa?

"Aku tidak tahu cara mengungkapkan cintaku pada dokter Raka. Karena ini sangaaat banyak."

Raka gemas sekali mendengarnya. Ia menarik pinggang Asya agar menempeli dirinya. Sungguh rasanya seperti digombali oleh anak ingusan, tapi ia sangat suka.

Mereka masuk disebuah resto bakmi yang sudah terkenal. Tempatnya bersih, mewah, dan sangat nyaman.

 Tempatnya bersih, mewah, dan sangat nyaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Scratched-ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang