Anisatul Latifa

16K 701 20
                                    

Kala Sang Pencipta mewarnai langit dengan jingga dan membuat burung-burung terbang kembali ke sarang, semburat mega mulai menyelimuti sebelum datangnya sang petang yang ditemani dengan bulan dan serangkaian bintang yang bertebaran.

Suara kesunyian menjadi nada-nada kehidupan mulai berganti dengan kehidupan baru, pertanda pintu Rahmat siang telah ditutup berganti dengan pintu malam.

Anisatul Latifa atau sering dipanggil Tifa masih betah duduk di dekat jendela kamarnya. Dia masih mengamati lalu-lalang orang berkeliaran yang sedang melakukan aktivitasnya.

Tifa melebarkan matanya, menatap rumah yang berjajar di samping rumahnya, seolah sedang menunggu kedatangan seseorang yang begitu dia nantikan. Tak lama beberapa pemuda berhamburan masuk melalu gerbang depan, sebersit senyum Tifa terbitkan. Dengan lincah tangan-tangannya segera menutup jendela kamar dan meninggalkan dalam diam.

Tifa duduk di atas ranjang lalu mulai merangkai setiap kata yang bersemayam dalam pikiran.

Jika mencintai adalah sebuah keharusan
Maka biarkan aku mencintaimu dalam diam
Mengabaikan segala kegundahan
Melukiskan nada-nada cinta dalam kegelapan

Melihat sudah lebih dari cukup untukku
Daripada berkata tapi abai menjadi balasan.

Tifa menutup bukunya lalu menyimpan di laci, bertepatan dengan suara adzan yang menggema dari segala penjuru mata angin di dunia.

"Tif, shalat dulu," kata sang ibu mengingatkan.

"Iya Bu, sebentar lagi." Tifa menjawab dengan suara yang tak kalah kerasnya, dia sekali lagi tersenyum lalu beranjak dari duduknya meninggalkan segala rasa yang tersimpan di dalam dada.

---

Sang purnama bersinar meski terlihat seperti sabit, lantunan lagu malam terdengar syahdu seirama dengan detak jantung yang mulai terdengar lebih nyata. Dengan hijab merah menutupi kepalanya, Tifa berjalan menuju salah satu kursi yang ada di taman depan rumahnya.

Duduk termenung menatap ribuan bintang yang bertebaran di langit dengan senyum penuh kehangatan dia menggerakkan tangan seolah-olah memetik bintang.

"Bintang tidak akan bisa dipetik." Tifa menoleh ke arah asal suara, lalu dia menerbitkan senyumnya.

"Paling tidak tangan ini sudah berusaha." Tifa kembali menatap langit tetapi tangannya mulai meremas buku yang ada di pangkuan.

"Aku akan ke toko, kamu mau titip sesuatu?" Lelaki yang berdiri tak jauh dari duduk Tifa kembali bersuara.

"Tidak ada, terima kasih."

"Baiklah, aku duluan. Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh."

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Tifa menatap dalam diam punggung salah satu anak kos di rumahnya yang tak lain adalah sepupunya, anak dari kakak ayahnya.

Tifa kembali membuka buku yang ada di pangkuan lalu menorehkan goresan tinta.

Rasa itu memang nyata
Tapi getaran dalam diam lebih terasa
Berdegup dengan nada kencang
Tapi mampu menghasilkan kedamaian.

Bila damai enggan datang
Lalu apa yang bisa kulakukan
Mampukah diri ini masih teguh pada pendirian
Menanamkan makna cinta dalam diam.

Menutup bukunya lalu dia beranjak dari duduk untuk kembali masuk ke dalam rumah, sebelum anak kos lainnya datang setelah pulang dari kuliah atau bekerja.

---

Huaaah......

Idenya gentayangan di pikiran minta dituangkan.

Bagaimana????
Tanggapannya dong...
Kalau ada beberapa tanggapan nanti akan saya lanjutkan...

Hehehe....

Kediri, 18 September 2018

1. Diam Dalam Cinta (end) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang