Hening yang ada
Biarkan cukup aku yang merasakannya
Tak perlu kamu menanggung segalanya
Cukup aku yang memikul beban tak bernama.Kesunyian yang ada
Biarlah aku yang mengetahuinya
Tak perlu kamu gelisah karena sebuah rasa
Cukuplah aku yang menjunjung segala nestapa.Mencintai itu sederhana
Jangan kau buat beban berat
Biarlah rasa itu mengalir tanpa sekat
Diam Dalam gerak
Dan tak terbendung karena jarak.Imran berjalan menuju ke arah masjid, di dalam hatinya tak pernah ia lupa memuji Allah dengan bacaan tasbih, di bibirnya tercetak jelas bacaannya.
Imran hanya menunduk penuh tawadhu, seolah dia malu dengan Segala dunia dan isinya. Ia terlalu bersembunyi dibalik diam yang seolah membungkam bibirnya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu," salam Salim dari belakang.
"Waalaikumsalam warohmatullaahi wabarokatu," jawab Imran menghentikan langkahnya. Ia lalu membalikkan badan dan menatap sosok teman seperjuangan.
"Ke masjid?" tanya Imran sambil menjabat tangan. Bukankah sunnah nabi kala bertemu sesama muslim mengucapkan salam dan berjabat tangan.
"Iya."
Kemudian keduanya berjalan bersamaan, lalu tiba-tiba Salim mengeluarkan suara dengan rentetan kalimat yang mungkin mampu membuat orang lain tak percaya.
"Tifa dilamar oleh Afkar."
Imran sempat berhenti dari langkah kaki, terdiam sejenak sebelum kembali melangkah mengikuti Salim.
"Kenapa hanya diam?" tanya Salim.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Imran dengan nada lembut. Imran memang lelaki lemah lembut dan sopan jadi wajar saja kalau ia begitu disegani.
"Kamu tak ingin melakukan hal yang sama?" tanya Salim membuat bibir Imran tertarik ke atas, ia tersenyum.
"Bukankah sebuah larangan meminangnya gadis yang Di pinang saudaranya." Imran mengatakan itu dengan tegas.
"Iya kamu benar." Salim menjawab dengan pelan tapi tak yakin karena dari nada suara ada hal lain yang sedang lelaki itu pikirkan.
---
Aku,
Aku kah pemenang sebenarnya
Yang nyatanya tak mendapat apapun dalam diamnya.
Ya, itu aku,
Sosok pengecut yang hanya diam tanpa usaha
Kau tak perlu memperjuangkanku
Karena aku tak layak untuk itu.Imran sedikit heran kala Zaid, yang merupakan kakak sepupunya memanggil untuk datang ke rumah. Ia sempat was-was karena bisa jadi ini adalah pembahasan tentang seluk beluk pernikahan keponakannya.
Ya, pada akhirnya diam kalah dengan tindakan. Itu yang terjadi, kalaupun ia berdoa selalu tapi jika tak melakukan usaha maka semuanya akan sia-sia.
"Kamu melamun Imran," tegur Zaid.
"Bagaimana Mas?" tanya Imran bingung. Dia tidak fokus selama Zaid menjelaskan.
"Salim, jelaskan kepada Imran."
Imran menoleh ke arah Salim dan Farhan yang saat ini duduk tak jauh darinya. Lalu Salim menjelaskan bahwa lusa Imran yang akan menggantikan Zaid untuk mengisi kajian rutin lingkungan perumahan. Ternyata apa yang ada di pikiran Imran salah, tak sedikitpun ada pembahan pernikahan keponakannya.
Hening tercipta kala Imran tak jua memberi jawaban, sudah banyak lelaki soleh yang melamar Tifa tapi entah sebab apa ia merasa bahwa Zaid akan menerima pinangan dari Afkar.
"Kapan kamu akan meminangnya anakku, Imran?" tanya Zaid membuat Imran yang terdiam hanya diam.
"Imran," panggil Zaid sekali lagi.
"Iya Mas," jawab Imran dengan tergagap.
"Kapan kamu hendak melamar anakku?" Zaid dengan sabar mengulang pertanyaannya.
"Saya," kata Imran sulit lalu seolah baru menyadari dengan pertanyaan yang dilontarkan ia langsung mendongak.
"Apa Mas?" tanya Imran membuat Farhan dan Salim hanya menggelengkan kepalanya.
Imran lelaki yang cerdas, tapi entahlah apa yang membuat lelaki itu tampak lamban dalam urusan cinta.
"Kamu mau menikah dengan Tifa?"
"Iya Mas," jawab Imran dengan tegas.
"Kapan?" tanya Zaid.
"Saya tidak tahu." Imran menjawab dengan pelan.
"Benda berharga apa yang kamu miliki?" tanya Zaid membuat Imran bingung.
"Saya hanya punya cincin peninggalan Ibu." Imran menjawab dengan tenang.
"Kamu mau menjadikan itu mahar?"
"I ya," jawab Imran dengan tak yakin.
"Kunikahkan engkau Imran dengan anak gadisku satu-satunya Anisatul Latifa dengan mahar cincin emas."
"Saya terima nikahnya Anisatul Latifa." Jawab Imran dengan nada tegas.
"Baiklah, putriku sekarang adalah istrimu." Zaid mengatakan dengan tegas.
"Tapi Mas, bagaimana bisa?" Imran seolah tersadar dengan segala ucapan.
"Kamu memanggil mertuamu dengan panggilan 'Mas'?" tanya Zaid dengan nada geli.
"Segera umumkan pernikahanmu dan urus surat-surat yang dibutuhkan untuk didaftarkan ke KUA."
Seolah mendapat cahaya setelah kegelapan, bibir Imran mengukir sebuah senyuman dengan tulus dan i dah. Sedangkan dua orang yang sejak tadi menjadi saksi kedua matanya berkaca-kaca.
Sungguh, sesederhana itu cinta. Meski dalam diam ia menyapa tapi pada kenyataannya doa adalah pelantara keduanya. Mungkin terkesan naif karena merasa bisa, tapi bukan sebuah harapan semu jika Allah dilibatkan dalam segala perkara.
End
----
Yeeee......
Tifa menikah....
Yes... Yes.....Hehehe....
Siapa yang tembakannya benar???Hayo jujur....
Kediri, 8 Oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Diam Dalam Cinta (end)
Espiritual#diamseries Cover cantik dari @venusyura Mencintai itu hakikatnya memberi tanpa pamrih. Menerima segala takdir yang sudah ditentukan oleh-Nya, bukankah Allah sudah menciptakan manusia secara berpasangan. Maka, setiap orang pasti memiliki jodohnya s...